Bismillah....
Hampir disetiap sendi kehidupan, kita selalu berafiliasi dengan nilai-nilai. Entah itu nilai yang bersifat kuantitatif dan ataupun nilai yang bersifat kualitatif. Sebuah teladan sederhana perihal pentingnya sebuah nilai sanggup kita narasikan ibarat ini:
Misalkan dalam sebuah perjalanan kita menemukan bongkahan watu kali besar yang di bawahnya terselip permata sebesar biji sawi, maka sanggup dipastikan kita akan abaikan bongkahan watu kali yang besar itu, dan kita akan mengambil permata yang terselip di bawahnya. Meskipun ia hanya sebesar biji sawi.
Hal ini sanggup dipastikan alasannya NILAI.
Maka, ternyata teramat pentinglah nilai dalam kehidupan kita, dan kita hidup menurut penilaian-penilaian orang lain. Anak dinilai oleh orang tua, orang renta dinilai oleh tetangga. Siswa dinilai oleh guru, guru dinilai oleh Pengawas. Pengawas, karyawan, dan pejabat dinilai oleh atasannya. Bahkan presiden sendiri dinilai oleh rakyatnya.
Dalam hal sekaitan dengan itu semua, ada sebagian orang yang tertipu daya oleh nilai-nilai semu yang sebetulnya tak bernilai. Semisal, jikalau seorang siswa akan menempuh ujian, maka ada sebagian siswa yang bersungguh sungguh mengerahkan segala kemampuannya dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang beliau miliki untuk sanggup meraih nilai terbaik dari hasil kerja kerasnya, kemandiriannya, keuletannya, kesabarannya, kejujurannya dan lain sebagainya. Namun disisi lain, ada juga sebagian siswa yang tak pernah berusaha mengasah dan menguji kemampuannya, bahkan sumberdaya dan potensi yang ada pada dirinya tak pernah ia gunakan dengan optimal, akan tetapi ia sangat ingin mendapat nilai baik, bahkan terbaik, tanpa bersusah payah. Mendapatkan nilai 100 dalam Ujian, itu penting. Tapi mengabaikan kejujuran, itu yakni pembodohan diri sendiri.
Oleh karenanya, menumbuhkan kesadaran perihal nilai yakni sangat penting, bahwa nilai yang akan dipakai dalam kehidupan nyata, bukanlah nilai dalam bentuk angka-angka yang diraih dalam setiap ujian setiap mata pelajaran di sekolah. Akan tetapi, nilai yang bahwasanya yakni nilai yang kita tumbuhkan, nilai kita kembangkan, nilai yang kita jadikan abjad dalam kehidupan kasatmata kita, yaitu, kerja keras, kemandirian, keuletan, kesabaran, kejujuran, dan lain sebagainya.
Kenapa demikian? Karena tetangga kita, bos kita, atasan kita, jarang sekali, atau bahkan mungkin takan pernah menanyakan nilai-nilai ujian setiap mata pelajaran yang sudah kita raih di sekolah. Namun jikalau nilai abjad semisal, kerja keras, kemandirian, keuletan, kesabaran, kejurujan, dan lain sebagainya sudah tertanam dan menempel pada diri kita sehingga menjadi karakter, maka saat tetangga kita, bos kita, atasan kita, melihat itu semua, tanpa paksanaan dan tanpa rekayasa, maka dengan sendirinya mereka akan menilai kita dengan predikat baik. Bukan angka-angka. Siapapun kita, dan apapun profesi kita, maka nilai-nilai kuantitatif dalam bentuk angka-angka gampang sekali di rekayasa. Faktor penyebabnya banyak sekali, bisa alasannya kasihan lah, alasannya hawatir tak naik kelas lah, alasannya takut tak naik pangkat lah, alasannya inilah, alasannya itulah, dengan seribu alasan, angka-angka itu bisa dibuat. Namun apabila nilai abjad yang menjadi standar evaluasi kita, maka abaikan saja angka-angka itu. Anggap saja nilai-nilai yang kita raih dalam bentuk angka-angka, itu adalah bonus.
Sejatinya nilai-nilai yang sudah, sedang dan akan kita raih, yakni buah dari kemauan dan kemampuan kita mengoptimalkan sumberdaya serta potensi-potensi yang ada pada diri kita. Apabila kamuan dan kemampuan yang kita miliki tidak kita optimalkan, maka sanggup dipastikan nilai dengan predikat jelek atau bahkan mungkin sangat buruk, yang akan kita terima. Namun sebaliknya, apabila kita mau dan bisa mengoptimalkan segala sumberdaya dan potensi yang sudah Allah SWT. sediakan dan berikan kepada kita, mulai dari potensi yang ada pada diri kita, lingkungan sekitar kita, waktu serta kesempatan yang kita miliki, dan lain sebagainya, maka nilai dengan predikat baik dan atau bahkan sangat baik, yang akan kita raih.
Oleh karenanya, menghakimi diri sendiri ndeso yakni tindakan bodoh. Hasil tamat sangat ditentukan oleh proses. Maka, apabila kita ingin mendapat hasil tamat yang baik, maka lakukanlah prosesnya dengan baik.
Sekarang, mari kita bertanya pada diri kita masing-masing, nilai-nilai apa yang sudah hilang dalam diri kita?
Ditulis oleh: Hasan Sanlawi,
Parungpanjang, 14 Maret 2018, 22:03 WIB
Sumber http://pabaiq.blogspot.com
EmoticonEmoticon