Thursday, June 15, 2017

√ Sejarah Kerbau Kyai Slamet Salah Satu Pusaka Keraton Kasunanan Surakarta

Sejarah Kerbau Kyai Slamet salah satu Pusaka Keraton Kasunanan Surakarta


Kerbau Bule milik Keraton Kasunanan Surakarta ini bukan sembarang kerbau, alasannya binatang ini termasuk pusaka penting milik keraton. Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule (Kerbau Kyai Slamet) yakni binatang klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, semenjak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.


Menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas, yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang berjulukan Kyai Slamet dikala dia pulang dari mengungsi di Pondok Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan yang memperabukan Istana Kartasura.


Sebagai catatan, hingga kini pihak keraton tidak pernah bersedia menjelaskan apa bentuk pusaka Kyai Slamet ini.


“Karena bertugas menjaga dan mengawal pusaka Kyai Slamet, maka masyarakat menjadi salah kaprah menyebut kebo bule ini sebagai Kebo Kyai Slamet,’’ kata Wakil Pengageng Sasono Wilopo Keraton Surakarta, Kanjeng Raden Aryo (KRA) Winarno Kusumo.


Konon, dikala Paku Buwono II mencari lokasi untuk keraton yang baru, tahun 1725, leluhur kebo-kebo bule tersebut dilepas, dan perjalanannya diikuti para abdi dalem keraton, hingga karenanya berhenti di tempat yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta –sekitar 500 meter arah selatan Kantor Balai Kota Solo.


 


Sekawanan kebo keramat ini selalu dikirab, menjadi cucuk lampah sejumlah pusaka keraton


Bagi masyarakat Solo, dan kota-kota di sekitarnya, menyerupai Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Wonogiri, Kebo Bule Kyai Slamet bukan lagi sebagai binatang yang asing. Setiap malam 1 Sura berdasarkan pengganggalan Jawa, atau malam tanggal 1 Muharam berdasarkan kalender Islam (Hijriah), sekawanan kebo keramat ini selalu dikirab, menjadi cucuk lampah sejumlah pusaka keraton.


 


Ritual kirab malam 1 Sura


Ritual kirab malam 1 Sura itu sendiri berlangsung tengah malam, biasanya sempurna tengah malam, tergantung “kemauan” dari kebo Kyai Slamet. Sebab, adakalanya kebo keramat gres keluar dari sangkar selepas pukul 01.00. Kirab pusaka ini sepenuhnya memang sangat tergantung pada kebo keramat Kyai Slamet. Jika saatnya tiba, biasanya tanpa harus digiring kawanan kebo bule akan berjalan dari kandangnya menuju halaman keraton. Peristiwa ini sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah di sekitar istana, juga di jalan-jalan yang akan dilalui kirab. Masyarakat meyakini akan menerima berkah dari keraton jikalau menyaksikan kirab.


 


Sejarah Kerbau Kyai Slamet salah satu Pusaka Keraton Kasunanan Surakarta √ Sejarah Kerbau Kyai Slamet salah satu Pusaka Keraton Kasunanan Surakarta

Sejarah Kerbau Kyai Slamet salah satu Pusaka Keraton Kasunanan Surakarta. Sumber foto: Situs Web Kepustakaan


 


Kawanan kerbau keramat akan berada di barisan terdepan


Mereka yang mengawal pusaka keraton Kyai Slamet yang dibawa para abdi dalem keraton. Dan yang menarik yakni orang-orang menyikapi kekeramatan kerbau Kyai Slamet sedemikian rupa, sehingga cenderung tidak masuk akal. Mereka berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah badan kebo bule.


Tak cukup menyentuh badan kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran. Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut mendapatkannya.


Tidak masuk nalar memang. Tapi mereka meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan memperlihatkan berkah, keselamatan, dan rejeki berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet.


 


Mengapa justru kawanan kebo bule tersebut yang menjadi tokoh utama dalam tradisi ritual kirab malam 1 Sura?


Menurut Kepala Sasono Pustoko Keraton Surakarta Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger, kirab pusaka dan kerbau bekerjsama berakar pada tradisi sebelum munculnya Kerajaan Mataram (Islam), pada prosesi ritual wilujengan nagari. Pusaka dan kerbau merupakan simbol keselamatan. Pada awal masa Kerajaan Mataram, pusaka dan kerbau yang sama-sama dinamai Kyai Slamet, hanya dikeluarkan dalam kondisi darurat, yakni dikala pageblug (wabah penyakit) dan peristiwa alam.


”Pusaka dan kerbau ini diperlukan memberi kekuatan kepada masyarakat. Dengan ritual kirab, Tuhan akan memberi keselamatan dan kekuatan, menyerupai halnya Ia memberi kekuatan kepada pusaka yang dipercaya masyarakat Jawa mempunyai kekuatan,” ungkapnya.


Sementara sejarawan dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Sudarmono, menuturkan, selain bersahabat dengan kehidupan petani, sosok kerbau memang banyak mewarnai sejarah kerajaan di Jawa dan juga kerbayu Kyai Slamet. Semasa Kerajaan Demak, misalnya, seekor kerbau berjulukan Kebo Marcuet mengamuk dan tak ada satu prajurit pun yang bisa mengalahkannya. Karena meresahkan, kerajaan menggelar sayembara: barang siapa bisa mengalahkannya akan diangkat menjadi senopati.


Secara mengejutkan, Jaka Tingkir atau Mas Karebet bisa mengalahkan Kebo Marcuet dengan tongkatnya. Mas Karebet kemudian mempersunting putri Raja Demak Sultan Trenggono, dan karenanya mengambil alih kekuasaan.


 


Jaka Tingkir bekerjsama keturunan Kebo Kenongo


”Jaka Tingkir bekerjsama keturunan Kebo Kenongo, Raja Pengging Hindu yang dikalahkan Kerajaan Demak. Pemindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang, yang bersahabat Pengging, yakni upaya Joko Tingkir mengembalikan efek kekuasaan kerajaan ke pedalaman yang sarat tradisi agraris,” katanya.


Dari sejarah itu, lanjut Sudarmono, kerbau selalu dijadikan alat melegitimasi kekuasaan kerajaan. ”Dalam budaya agraris, kerbau simbolisasi kekuatan petani. Sosok kerbau dihadirkan dalam kirab, yang diikuti abdi dalem dan rakyat, bekerjsama ingin memperlihatkan legitimasi keraton atas rakyatnya yang sebagian besar petani.”


 


Kemunculan kebo bule Kyai Slamet dalam kirab


Kemunculan bule kebo Kyai Slamet dalam kirab, kata Sudarmono, yakni perpaduan antara legenda dan sage (cerita rakyat yang mendewakan binatang). Dalam pendekatan periodisasi sejarah, sosok kebo bule ditengarai hadir semasa Paku Buwono (PB) VI pada kurun XVII. PB VI merupakan raja yang dianggap memberontak kekuasaan penjajah Belanda dan sempat dibuang ke Ambon.


”Meski PB VI dibuang ke Ambon, namun semangat pemberontakan dan keberaniannya menghidupi rakyatnya. Dalam peringatan naik takhta, sekaligus pergantian tahun dalam penanggalan Jawa malam 1 Sura, muncul kreativitas menghadirkan sosok kebo bule yang dipercaya sebagai penjelmaan pusaka Kyai Slamet dalam kirab pusaka,” tambah Sudarmono.


 


Keraton Surakarta tidak pernah menyatakan tlethong (kotoran) kerbau bisa mendatangkan berkah


Keraton Surakarta tidak pernah menyatakan tlethong (kotoran) kerbau bisa mendatangkan berkah. ”Kalau tlethong dianggap menyuburkan sawah alasannya sanggup dibentuk pupuk, itu masih diterima akal. Namun kami memahami ini sebagai cara masyarakat membuat media untuk membuat permohonan. Mereka sekadar membutuhkan semangat untuk bangkit.”


Saat ini kebo bule keraton berjumlah 12 ekor. Namun kebo bule yang dipercaya sebagai keturunan orisinil Kyai Slamet sendiri hingga dikala ini hanya tersisa enam ekor. Mereka yakni Kiai Bodong, Joko Semengit, Debleng Sepuh, Manis Sepuh, Manis Muda, dan Debleng Muda. Yang menjadi pemimpin kirab biasanya yakni Kyai Bodong, alasannya dia sebagai jantan tertua keturunan murni Kyai Slamet. Disebut keturunan murni, alasannya mereka dan induk-induknya tidak pernah berafiliasi dengan kerbau kampung.”


 


Kyai Bodong sendiri mempunyai adik pria yang diberi nama Kyai Bagong


Namun, kata Winarno, kerbau tersebut kini ini berada di daerah Solo Baru, Sukoharjo, dan dengan alasan yang enggan disebutkan, kebo bule itu tidak bisa dibawa pulang ke Keraton Surakarta.


Sejak dulu, sekawanan kebo keramat tersebut memang mempunyai banyak keunikan. Kawanan kerbau ini, misalnya, sering berkelana ke tempat-tempat jauh untuk mencari makan, tanpa diikuti abdi dalem yang bertugas menggembalakannya. Mereka sering hingga ke Cilacap yang jaraknya lebih 100 km dari Solo, atau Madiun di Jawa Timur. Namun anehnya, menjelang Tahun Baru Jawa, yakni 1 Sura atau 1 Hijriah, mereka akan kembali ke keraton alasannya akan mengikuti ritual kirab pusaka.


 


Malam 1 Sura sangat berarti bagi orang Jawa


Malam 1 Sura sangat berarti bagi orang Jawa, alasannya tidak saja mempunyai dimensi fisik perubahan tahun, namun juga mempunyai dimensi spiritual. Sebagian masyarakat Jawa yakin, bahwa perubahan tahun Jawa mengambarkan babak gres dalam tata kehidupan kosmis Jawa, terutama kehidupan masyarakat agraris. Peran kebo bule Kyai Slamet yakni sebagai simbol kekuatan yang secara mudah dipakai sebagai alat pengolah pertanian, sumber mata pencaharian hidup bagi orang-orang Jawa.


“Kyai Slamet yakni sebuah visi Raja. Secara harfiah, visi Keraton Surakarta, yaitu ingin mewujudkan keselamatan, kemakmuran, dan rasa kondusif bagi masyarakatnya,” ujar Winarno.


Begitulah asal mula dari program kirab kebo bule.


Sumber: dari banyak sekali sumber


 



 



Unduh / Download Aplikasi HP Pinter Pandai


Respons “Ooo begitu ya…” akan lebih sering terdengar jikalau Anda mengunduh aplikasi kita!


Siapa bilang mau pandai harus bayar? Aplikasi Ilmu pengetahuan dan gosip yang membuat Anda menjadi lebih smart!



Sumber bacaan: Perpustakaan Nasional


                      


Pinter Pandai “Bersama-Sama Berbagi Ilmu”

Quiz | Matematika | IPA | Geografi & Sejarah | Info Unik | Lainnya









Sumber aciknadzirah.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)