Saturday, November 9, 2019

√ Ajaran Filosof Wacana Pendidikan

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PEMIKIRAN FILOSOF ISLAM TENTANG PENDIDIKAN
Filosofi Pendidikan, yang kata itu dilekatkan pada kata islam didefinisikan secara berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Tetapi semua pendapat itu bertemu dalam satu pandangan, bahwa pendidikan ialah suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien.[1]
Selain mewariskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi untuk memelihara identitas masyarakat, pendidikan juga bertugas berbagi potensi insan untuk dirinya sendiri dan masyarakatnya.
Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, al-Ghazali memulai pandangannya dengan nada provokatif wacana keutamaan bagi mereka yang mempunyai ilmu pengetahuan dengan mengutip al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 11
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ {11}
Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (QS. Al-Mujadilah:11)
Di kutip dari salah satu tokoh pemikiran filosof islam wacana pendidikan Konsep pemikiran al-Ghazali wacana pendidikan lebih cenderung bersifat empirisme, hal ini disebabkan lantaran ia sangat menekankan pada imbas pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya, pendidikan seorang anak sangat tergantung kepada orang bau tanah yang mendidiknya. Lebih lanjut, sanggup dikatakan bahwa dalam peranannya, pendidikan sangat menentukan kehidupan suatu bangsa.
            Dengan melihat dan memahami beberapa karyanya yang berkaitan dengan pendidikan, sanggup dikatakan bahwa al-Ghazali ialah penganut asas kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia islam maka hukumnya wajib, tidak terkecuali bagi siapapun. Dapat dikatakan pula, bahwa ia ialah penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih), dimana pendidikanlah yang bisa mewarnai seorang anak yang bagai kertas putih tersebut dengan hal-hal yang benar. Hal tersebut tercermin dalam salah satu kitabnya, Ihya’ ’Ulumuddin yang menyampaikan bahwa seorang anak dikala lahir masih dalam keadaan fitrah (suci).[2]
B.     PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT PARA TOKOH
A.    Pemikiran Pendidikan Ibnu Rusyd
Sebelum mengetahui apa saja pemikiran pendidikan Ibnu Rusyd, ada sedikit biografi dari Ibnu Rusyd itu sendiri dimana Ibnu Rusyd lahir di Cordova, Spanyol pada tahun 520H dan wafat di Marrakesh, Maroko pada tahun 595H. Nama lengkapnya ialah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rushyd dan dikenal dengan nama Averroes di Barat. Dalam dunia ilmu pengetahuan, Ibnu Rusyd dikenal sebagai seorang perintis ilmu jaringan tubuh. Karya-karyanya dalam bahasa Arab, kira-kira berjumlah 78 buah, masih tersimpan rapi di perpustakaan Escorial, Madrid, Spanyol.[3]
Pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Ibn Rusyd ialah sebuah pemikiran pendidikan dalam perspektif teori pengetahuan, yaitu mewakili epistemologi burhani, bayani, dan Irfani. Hal itu telah terjadi semenjak masa keemasan hingga sekarang. Teori  pengetahuan dalam perspektif burhani dikemukakan oleh Ibn Rusyd. Sementara perspektif bayani dipresentasikan oleh para fuqaha, yang terlembaga dalam diri Al-Ghazali. Epistemologi irfani dihadirkan oleh para pemikir tasawuf falsafi semacam Al-Shuhrawardi.
1.      Pengetahuan Bayani
Epistimologi bayani ialah pendekatan dengan cara menganilis teks. Maka sumber epistemologi bayani ialah teks. Sumber teks dalam studi Islam sanggup dikelompokkan menjadi dua, yakni : teks nash (al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa karya para ulama. Adapun corak berpikir yang diterapkan dalam ilmu ini cenderung deduktif, yakni mencari (apa) isi dari teks (analisis content). 7
A.    Dalam epistemologi bayani dikenal ada 4 macam bayan:
1)   Bayan al-i'tibar, yaitu klarifikasi mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi: a) al-qiyas al-bayani; baik al-fiqh, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq;
2)   Bayan al-i'tiqad, yaitu klarifikasi mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muasyabbih fih, dan makna bathil;
3)   Bayan al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan
4)   Bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib lafz, katib 'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.
Pendekatan bayani akan memperkaya ilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.[4]
2.      Pengetahuan Burhani
Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argument (al-hujjah) yang terang (al-bayyinah; clear) dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris ialah demonstration, yang mempunyai akar bahasa Latin: demonstration (berarti member isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan).
Dalam perspektif nalar (al-mantiq), burhani adalah kegiatan berpikir untuk tetapkan kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya (badlihiyyah). Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah kegiatan nalar yang tetapkan kebenaran suatu premis.
Istilah burhani yang mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, dipakai oleh al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah system pengetahuan (nidlam ma’rifi) yang memakai metode tersendiri di dalam pemikiran dan mempunyai pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar kepada otoritas pengetahuan lain.
Jadi setiap ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhan bermula dari proses abstraksi yang bersifat aqli terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti, sehingga di sinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain, kata-kata ialah sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir di samping sebagai simbol pernyataan makna.
3.      Pengetahuan Irfani
Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode wangsit dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai; al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk memperbanyak makna. Kaprikornus pendekatan irgani ialah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan 'arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.
Pendekatan irfani ialah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi.[5]
B.     Pemikiran Pendidikan Ibnu Sina
 Sebelum mengetahui apa saja konsep pendidikan Ibnu Rusyd, ada sedikit biografi dari Ibnu Sina. Nama Lengkap ialah Abu Ali al Husayn Ibn Abdullah. Ibn Sina dilahirkan di desa Akhshanah, akrab Bukhara pada tahun 370H/ 980M. Ayahnya berjulukan ‘Abdullah, seorang sarjana terhormat. Sedangkan ibunya berjulukan Astarah.
Dalam sejarah pemikiran Islam Ibnu Sina Dikenal sebagai Intelektual Muslim yang menerima gelar.Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari ialah Al Qur’an . selain itu melanjutkan dengan mempelajari ilmu –ilmu agama Islam, seperti: tafsir, fiqih, ushuluddin dll.
Pemikiran Ibnu Sina mengenai pendidikan, terbagi menjadi beberapa bidang antara lain berkenaan menganai tujuan pendiidkan, kurikulum, metode pengajaran guru dan pelaksanaan eksekusi dalam pendidikan. Kelima aspek pendidikan yang dikemukakan Ibn akan dikemukakakn sebagai berikut:
a)      Tujuan Pendidikan
Ibn Sina mengemukakan bahwa tujuan pendidikan ialah “pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki oleh seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti.
Mengenai pendidikan yang bersifat jasmani, Ibn Sina menyampaikan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan training fisik dan segala suatu yang berkaitan dengannya, ibarat olahraga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan.
Ibnu Sina mengemukakan tujuan pendidikan bersifat keterampilan yang ditunjukan pada pendidikan bidang, perkayuan ,penyamlonan dsb. Sehingga akan muncul pekerja yang professional yang bisa mengerjakan pekerjaan secara professional.
Selain itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada pandangannya wacana insan kamil (manusia yang sempurna). Yaitu insan yang terbina seluruh potensi dirinya secar seimbang dan menyeluruh. Ibn Sina juga ingin tujuan pendidikan universal itu diarahkan kepada terbentuknya insan yang sempurna.
Melalui pendidikan jasmani atau olah raga, seorang anak diarahkan biar terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan pendidikan budi pekerti diharapkan seorang anak mempunyai kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dengan adanya pendidikan kesenian seorang anak diharapkan sanggup mempertajam perasaannya dan meningkat daya khayalnya.
b)                 Kurikulum
Ibn Sina merumuskan kurikulum didasarkan kepada tingkat perkembangan usia anak didik.  Berikut ini penjabaran kurikulumnya berdasarkan perkembangan usia anak didik:
1.      Usia 3 hingga 5 tahun.
Menurut Ibn Sina, diusia ini perlu diberikan mata pelajaran olah raga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian. Pelajaran Olah raga Pelajaran olahraga atau gerak tubuh tersebut diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik anak dan fungsi organ tubuh secara optimal. Hal ini penting mengingat fisik ialah kawasan bagi jiwa atau budi yang harus dirawat biar tetap sehat dan kuat.
Pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali anak didik biar mempunyai kebiasaan sopan santun dalam bergaul setiap harinya. Pelajaran budi pekerti ini sangat dibutuhkan dalam rangka membina kepribadian anak didik sehingga jiwanya menjadi suci, terhindar dari perbuatan buruk yang sanggup menjadikan jiwanya rusak dan sukar diperbaiki kelak di usia dewasa. Dengan demikian, Ibn Sina memandang pelajaran moral sangat penting ditanamkan kepada anak semenjak usia dini.
Pendidikan kebersihan juga menerima perhatian dari Ibn Sina. Pendidikan ini diarahkan biar anak didik mempunyai kebiasaan mengasihi kebersihan yang juga menjadi salah satu anutan mulia dalam Islam. Ibn Sina mengatakan, bahwa pelajaran hidup higienis dimulai dari semenjak anak berdiri tidur, dikala hendak makan, hingga dikala hendak tidur kembali. Dengan cara demikian, sanggup diketahui mana saja anak yang telah sanggup menerapkan hidup sehat, dan mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
Pendidikan seni bunyi dan kesenian dibutuhkan biar anak didik mempunyai ketajaman perasaan dalam mengasihi serta meningkatkan daya khayalnya. Jiwa seni perlu dimiliki sebagai salah satu upaya untuk memperhalus budi yang pada gilirannya akan melahirkan moral yang suka keindahan.
 Dari keempat pelajaran yang perlu diberikan kepada anak pada usia 3 hingga 5 tahun, memperlihatkan bahwa Ibn Sina telah memandang penting pendidikan pada usia dini.
2.      Usia 6 hingga 14 tahun.
Pelajaran untuk anak usia 6 hingga 14 tahun berdasarkan Ibnu Sina ialah meliputi pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an, pelajaran agama, pelajaran sya'ir, dan pelajaran olahraga.
Pelajaran membaca dan menghafal al-Qur'an berdasarkan Ibn Sina berkhasiat disamping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat al-Qur'an, juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama Islam ibarat pelajaran tafsir al-Qur'an, fiqih, tauhid, moral dan pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya ialah al-Qur'an.
Pelajaran sya'ir tetap dibutuhkan di usia ini sebagai lanjutan dari pelajaran seni pada tingkat sebelumnya. Anak perlu menghafal sya'ir-sya'ir yang mengandung nilai-nilai pendidikan akan sangat berkhasiat dalam menuntun perilakunya, di samping petunjuk al-Qur'an dan Sunnah.
Pelajaran olah raga harus diubahsuaikan dengan tingkat usia ini. Dari sekian banyak olahraga, berdasarkan Ibn Sina, yang perlu dimasukkan ke dalam kurikulum atau rancangan mata pelajaran pada usia ini ialah olahraga laga kekuatan, gulat, meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta.45 Tentu semua ini berdasarkan kebutuhan anak didik dan diubahsuaikan dengan tingkat perkembangannya.
Maka pada usia 6 hingga 14 tahun telah diberikan pelajaran yang menyentuh aspek kognitif. Bahkan pada usia ini telah diajarkan al-Qur’an dengan membaca, menghafal, dan memahami tata bahasanya. Dengan demikian aspek afektif dan psikomotor sudah banyak menerima sentuhan. Hal ini beralasan mengingat pada usia ini, otak anak didik telah berkembang dan mulai bisa memahami problem yang abstrak.
3.      Usia 14 tahun keatas.
Pada usia 14 tahun ke atas, Ibn Sina memandang mata pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik berbeda dengan usia sebelumnya. Mata pelajaran yang diberikan pada usia ini sangat banyak jumlahnya. Namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan talenta dan minat anak. Hal ini memperlihatkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, anak akan mempunyai kesiapan untuk mendapatkan pelajaran tersebut dengan baik. Ibn Sina menganjurkan kepada para pendidik biar menentukan jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang sanggup dikembangkan lebih lanjut oleh anak didiknya.
Jadi, pada usia ini anak didik diarahkan untuk menguasai suatu bidang tertentu (spesialisasi bidang keilmuwan). Mata pelajaran yang dimaksud di atas dibagi ke dalam mata pelajaran yang bersifat teoritis dan praktis. Ibn Sina dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles yang juga membagi ilmu secara teoritis dan praktis. Adapun ilmu-ilmu apada masing-masing kelompok adalah:
1)      Ilmu teoritis: a) ilmu tabi’i (mencakup ilmu kedokteran, astrologi, ilmu firasat, ilmu sihir (tilsam) ilmu tafsir mimpi, ilmu niranjiyat, dan ilmu kimia), b) ilmu matematika, c) ilmu ketuhanan, disebut paling tinggi (mencakup ilmu wacana cara-cara turunnya wahyu, hakikat jiwa pembawa wahyu, mu’jizat, informasi ghaib, ilham, dan ilmu wacana kekekalan ruh, dan sebagainya).
2)       Ilmu praktis: ilmu moral yang mengkaji wacana tentang cara-cara pengurusan tingkah laris seseorang, ilmu pengurusan rumah tangga, yaitu ilmu yang mengkaji relasi antara suami istri, anak-anak, pengaturan keuangan dalam kehidupan rumah tangga, serta ilmu politik yang mengkaji wacana bagaimana relasi antara rakyat dan pemerintahan, kota dengan kota, bangsa dan bangsa.
Dari uraian pemikiran Ibn Sina wacana kurikulum di atas, sanggup dipahami bahwa konsep kurikulum yang ditawarkannya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Dalam penyusunan kurikulum harus mempertimbangkan aspek psikologi anak. Oleh lantaran itu mengenal psikologi anak sangat penting dilakukan dalam kajian pendidikan modern meliputi kiprah perkembangan pada setiap fase perkembangan, mengenal talenta minat, serta banyak sekali problem yang dihadapi pada masing-masing tingkat perkembangan. Dengan begitu mata pelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan akan gampang dikuasai oleh anak didik.
2.      Kurikulum yang diterapkan harus bisa berbagi potensi anak secara optimal dan harus seimbang antara jasmani, intelektual, dan akhlaknya.
3.      Kurikulum yang ditawarkan Ibn Sina bersifat pragmatis fungsional, yakni melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari sesuai dengan tuntutan masyarakat, atau berorientasi pada pasar (marketing oriented).
4.      Kurikulum disusun harus berlandaskan kepada anutan dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga anak didik akan mempunyai iman, ilmu, dan amal secara integral.
5.       Kurikulum yang ditawarkan ialah berbasis moral dan bercorak integralistik.
c)      Metode Pembelajaran
Dalam proses pendidikan, metode pembelajaran mempunyai kedudukan yang sangat signifikan untuk mencapai tujuan. Bahkan metode sebagai seni dan cara dalam menstransfer ilmu pengetahuan (materi pelajaran) kepada anak didik dianggap lebih signifikan dibandingkan dengan bahan itu sendiri. Sebuah unggapan dalam bahasa Arab menyatakan bahwa “al-Tariqatu Ahammu min al-Maddah”, artinya bahwa metode itu jauh lebih penting dibandingkan sebuah materi.
 Hal ini mengindikasikan bahwa metode yang dipakai dalam penyampaian pelajaran sangat berperan dalam keberhasilan mencapai tujuan pelajaran tersebut. Dari pernyataan di atas maka Ibn Sina merumuskan konsep metode pembelajaran dalam pemikirannya di bidang pendidikan. Bahkan Ibn Sina merumuskan metode yang berbeda antara bahan pelajaran yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini mempertimbangkan karakteristik dari masing masing bahan pelajaran dan juga mempertimbangkan tingkat perkembangan psikologis tiap anak didik. Berikut ini metode-metode yang di rumuskan oleh Ibn Sina:
a)      Metode talqin; dipakai dalam mengajarkan membaca al-Qur’an, mulai dengan cara memperdengarkan bacaan al-Qur’an kepada anak didik sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh memperdengarkan dan mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan
dilakukan berulang-ulang hingga jadinya anak didik tersebut hafal secara
keseluruhan.
b)      Metode demonstrasi; dipakai dalam proses pembelajaran yang bersifat praktik, ibarat cara mengajar dan menulis. Menurut Ibn Sina kalau seorang guru akan memakai metode demonstrasi ini dalam mengajar menulis abjad hijaiyah, maka terlebih dahulu guru mencontohkan goresan pena abjad hijaiyah sesuai dengan makhraj-nya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.
c)      Metode penyesuaian dan keteladanan; metode yang paling efektif, khususnya dalam mengajarkan moral kepada anak didik. Cara tersebut
secara umum dilakukan dengan penyesuaian dan teladan yang disesuaikan
denga perkembangan jiwa anak. Ibn Sina beropini adanya pengaruh
“mengikuti dan meniru” atau teladan tauladan baik dalam proses pendidikan di kalangan anak pada usia dini terhadap kehidupan mereka, lantaran secara tabi’iyah anak mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan menjiplak (mencontoh) segala yang dilihat, dirasakan dan didengar. suatu kewajiban bagi seorang guru ialah mendidik anak didik dengan sopan santun, membiasakannya dengan perbuatan yang terpuji, sebelu kebiasaan buruk mempengaruhinya.
d)      Metode diskusi, dilakukan dengan cara menyajikan pelajaran di mana anak didik dihadapkan kepada suatu maslah yang berupa pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. Ibn Sina memakai metode ini untuk mengajarkan pengetahuan yang bersifat rasional dan teoritis.
Pengetahuan model ini pada masa Ibn Sina berkembang pesat. Jika pengetahuan tersebut diajarkan dengan metode ceramah, maka para siswa akan tertinggal jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan tersebut.
e)      Metode magang, Ibn Sina memakai metode ini dalam mengajarkan ilmu kedokterannya. Ketika para muridnya berguru ilmu kedokteran ini, mereka dianjurkan biar menggabungkan teori dan praktik. Metode ini akan menimbulkan manfaat ganda, yaitu disamping mempermahir anak
didik dalam suatu bidang ilmu, juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja yang menghasilkan kesejahteraan secara ekonomis. Metode ini
disebut juga dengan metode Learning By Doing (belajar sambil bekerja).
f)       Metode penugasan; metode ini sanggup dilakukan dengan menyusun
sejumlah modul atau naskah kemudian memberikan kepada anak didik untuk dipelajarinya. Cara ini pernah dilakukan kepada salah satu muridnya yang berjulukan Abu ar-Raihan al-Biruni dan Abi Husain Ahmad as- Suhaili. Dalam bahasa arab, pengajaran dengan penugasan ini dikenal
dengan istilah al-ta’lim bi al-marasil (pengajaran dengan mengirimkan
sejumlah naskah atau modul).
g)      Metode targhib dan tarhib, dalam pendidikan modern dikenal dengan istilah reward yang berarti ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan dan merupakan salah satu alat pendidikan dan membentuk reinforcement yang positif, sekaligus sebagai motivasi yang baik. Tetapi dalam keadaan terpaksa, metode eksekusi (tarhib) atau punishment dapat dilakukan dengan cara diberi peringatan dan bahaya terlebih dahulu. Jangan menindak anak dengan kekerasan, tetapi dengan kehalusan hati, kemudian diberi motivasi dan persuasi dan adakala dengan muka masam atau dengan cara biar anak didik kembali pada perbuatan baik.
Tetapi kalau sudah terpaksa memukul, cukuplah satu kali yang menimbulkan rasa sakit, dan dilakukan sesudah memberi peringatan keras
dan menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan imbas yang
positif dalam jiwa anak.
Dari penjabaran banyak sekali metode di atas, ada empat karakteristis metode dari Ibn Sina, yaitu
1.      Pemilihan dan penerapan metode harus diubahsuaikan dengan karakteristik mata pelajaran.
2.      Metode juga diterapkan dengan mempertimbangkan psikologi anak didik, termasuk bakatdan minat.
3.      Metode yang ditawarkan tidaklah kaku, akan tetapi sanggup berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak didik.
4.      Ketepatan dalam menentukan dan menerapkan metode sangat menentukan keberhasilan pembelajaran. Dari seluruh metode dan karakteristiknya yang disampaikan oleh Ibn Sina, ternyata metode pendidikannya masih sangat relevan dengan pendidikan masa kini. Hal ini sanggup dilihat dari banyak sekali instansi atau forum pendidikan, baik forum pendidikan formal ibarat sekolah dan perguruan tinggi tinggi maupun non formal ibarat pondok pesantren yang menerapkan metode pendidikan Ibn Sina dalam mendidik anak didiknya.
d)     Konsep Guru[6]
Ibnu Sina guru yang baik dan ideal ialah guru yang berakal cerdas, beragama,mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, higienis dan suci.
Kemudian Ibn Sina juga menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya dari kaum laki-laki yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak-anak, adil, hemat dalam memakai waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri.58 Selain itu guru harus mengutamakan kepentingan umat daripada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari menjiplak sifat raja dan orang-orang yang berakhlak rendah, mengetahui etika dalam majelis ilmu, sopan dan santu dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.
Ibn Sina juga menekankan biar seorang guru tidak hanya mengajarkan ilmu dari segi teoritis saja kepada anak didiknya, melainkan juga melatih segi keterampilan, mengubah budi pekerti dan kebebasan anak didik dalam berfikir. Ibn Sina menekankan adanya perhatian yang seimbang antara aspek daypikir (kognitif) yang diwujudkan dalam pelajaran bersifat pemahaman aspek penghayatan (afektif) yang diwujudkan dalam pelajaran bersifat perasaan; dan aspek pengamalan (psikomotor) yang diwujudkan daalam pelajaran praktik.
Jika diamati secara secama, tampak bahwa potret guru yang dikehendaki oleh Ibn Sina ialah guru yang lebih lengkap dari potret guru yang dikemukakan para jago sebelumnya. Dalam pendapatnya itu, Ibn Sina selain menekankan unsur kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang guru sanggup mencerdaskan anak didiknya dengan banyak sekali pengetahuan yang diajarkannya dengan moral ia akan sanggup membina mental dan moral anak.
Guru ibarat itu, sepertinya diangkat dari sifat dan kepribadian yang terdapat pada Ibn Sina sendiri yang selain mempunyai kompetensi moral yang baik, juga mempunyai kecerdasan dan keluasan ilmu.

e)      Konsep Hukuman dalam pengajaran.
Ibn Sina intinya tidak berkenanmenggunakan eksekusi dalam kegiatan pengajaran. Hal ini didasarkan pada sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Namun, Ibn Sina membolehkan pelaksanaan eksekusi dengan cara yang ekstra hati – hati dan hal itu hanya boleh dilakukan dlam kegiaatan terpaksa dan tidak normal. Sedangkan dalam keadaan normal eksekusi dilarang dilakukan.[7]

C.     KONSEP PENDIDIKAN PARA TOKOH
a)      Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun
Sebelum mengetahui apa saja konsep pendidikan Ibnu Rusyd, ada sedikit biografi dari Ibnu Rusyd itu sendiri dimana Ibnu Khaldun mempunyai nama Lengkap ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabis ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Usman ibn Hani ibn Al-Khattab ibn Kuraib ibn Ma’dikarib ibn al-Haris ibn Wail ibn Hujr.[8]
Ibnu Khaldun lahir di Thunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732H/27 Mei 1332M. Dan meninggal di kairo tanggal 25 Ramadhan 808H/19 Maret 1406M. Khaldun pertama kali mendapatkan pendidikan pribadi dari ayahnya, semenjak kecil ia telah mempelajari ilmu tajwid, menghafal al-Qur’an, dan fasih dalam qiraat al-sab’ah. Disamping dengan ayahnya, ia juga mempelajari tafsir, hadis, fiqh (Maliki), gramatika bahasa arab, ilmu mantiq, dan filsafat dengan sejumlah ulama Andalusia dan Tunisia.
Ketenaran Khaldun sebagai ilmuan sanggup dilihat dari karya monumentalnya, Al-Muqaddimah. Kitab ini sesungguhnya merupakan pengantar bagi karya universalnya yang berjudul kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi ayyami al-Arab wa al-Ajam wa al-Barbar wa man ‘Asarahun min Dzami as-Sultan al-Akbar. Seluruh bangunan ilmunta dalam kitab al-muqaddimah memaparkan wacana ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah.[9]
Pandangan Khaldun wacana pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Melalui pendekatan ini, memperlihatkan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal dan praktis. Meski ia tidak mengkhususkan sebuah potongan atau pembahasan mengenai tujuan pendidikan Islam, namun dari uraiannya memperlihatkan kesimpulan terhadap arah tujuan pendidikan yang di inginkan. Menurutnya, paling tidak ada 3 (tiga) tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu :
1.      Pengembangan kemahiran (al-makalah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa mempunyai pemahaman yang sama wacana suatu problem dengan seorang ilmuan. Akan tetapi, potensi al-makalah tidak bisa dimiliki oleh setiap orang, kecuali sesudah ia benar-benar memahami dan mendalami satu disiplin tertentu.
2.      Penguasaan keterampilan profesional sesuai dengan tuntunn zaman (link and match). Dalam hal ini, pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh keterampilan yang tinggi pada profesi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta perbedaan umat insan di muka bumi.
3.      Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berfikir merupakan garis pembeda antara insan dengan binatang. Oleh lantaran itu, pendidikan hendaknya diformat dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis penerima didik.
Dalam melakukan tugasnya, seorang pendidik hendaknya bisa memakai metode mengajar yang efektif dan efisien. Dalam hal ini, Khaldun sebagaimana dikutip Scheleifer mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu di perhatikan pendidik, yaitu : (1) prinsip pembiasaan. (2) prinsip tadrij (berangsur-angsur). (3) prinsip pengenalan umum (generalistik). (4) prinsip kontinuitas. (5) memperhatikan talenta dan kemampuan penerima didik. (6) menghindari kekerasan dalam mengajar.[10]


b)     Konsep Pendidikan Al Ghazali[11]
Sebelum mengetahui apa saja konsep pendidikan Al Ghazali, ada sedikit biografi dari nama lengkapnya adalah, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad  Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi. Ia lahir dikota Thus, yang merupakan kota kedua sesudah Naysabur yang terletak di wilayah Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya ialah seorang sufi yang sangat wara’yang hanya makan dari perjuangan tangannya sendiri. Kerjanya ialah memintal wool dan menjualnya sendiri. Ia meninggal sewaktu anaknya itu masih kecil dan sebelum meninggal ia menitipkan anaknya pada seorang sufi lain untuk menerima bimbingan dan pendidikan.
Al Ghazali seorang yang banyak mencurahkan perhatiaannya terhadap pendidikan, sehingga tidak heran kalau ia mempunyai konsep pendidikan. Untuk mengetahui konsep pendidikan berdasarkan Al Ghazali dengan cara mengetahui dan memahamni pemikirannya dengan banyak sekali aspek yang berkaitan dengan pendidikan yaitu : aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru dan etika murid.
a)      Tujuan Pendidikan
Rumusan tujuan pendidikan berdasarkan hasil studi pemikiran yang dilakukan Al Ghazali sanggup diketahui dengan jelas, bahwa tujuan simpulan yang ingin dicapai dari pendidikan ada 2 macam diantaranya :
1.      Tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada kedekatan diri kepada Allah.
2.      Kesempurnaan insani yang bermuara kepada kebahagiaan dunia dan akhirat
Kecenderungan pandangan Al Ghazali bercorak tasawuf, maka target pendidikan berdasarkan Al Ghazali ialah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Menuju jalan yang akan menghantarkan kepada kebahagiaan dunia dan alam abadi ialah ilmu, dimana tak satupun yang bisa hingga kesana tanpa adanya Ilmu dan Amal. Al Ghazali melihat bahwasannya ilmu mempunyai keutamaan yang melebihi segala – galanya. Oleh lantaran itu menguasai ilmu merupakan termasuk dari tujuan pendidikan.
Dengan demikian, modal untuk mencapai kebahagiaan didunia dan diakhirat haruslah pula tercapai dari tujuan pendidikan yakni menguasai Ilmu yang merupakan amal yang terutama.
b)     Kurikulum
Konsep kurikulum berdasarkan Al Ghazali terkaitan erat dengan konsep ilmu pengetahuan, dan dalam pandangannya ilmu terbagi menjadi tiga bagian, yakni :
1.      Ilmu-ilmu tercela. Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali ialah ilmu yang tidak ada keuntungannya baik dunia maupun alam abadi dan terkadang hanya membawa mudharat bagi orang yang memilikinya.
2.      Ilmu-ilmu terpuji. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini ialah ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu: yang fardlu ‘ain, yaitu ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat pokok, hingga ilmu syari’at yang dengannya ia akan paham apa yang harus ditinggalkan dan apa yang harus dilakukan. Sedangkan yang fardlu kifayah ialah semua ilmu yang mustahil diabaikan untuk kelancaran semua urusan, ibarat ilmu kedokteran, ilmu hitung dan lain-lain. Menurutnya, kalau tidak ada yang mempelajari ilmu itu maka berdosalah seluruhnya, tetapi kalau telah ada seseorang yang menguasainya dan sanggup mempraktekkannya maka tuntutan wajibnyapun telah lepas dari yang lain.
3.      Ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela kalau mempelajarinya secara mendalam, lantaran dengan mempelajarinya sanggup mengakibatkan terjadinya kesemrawutan dan kekacauan antara keyakinan dan keraguan yang sanggup membawa pada kekafiran, ibarat ilmu filsafat. Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap orang, lantaran berdasarkan tabiatnya tidak semua orang sanggup mempelajari ilmu itu dengan baik. Ia beropini bahwa orang yang mempelajari ilmu tersebut bagai anak kecil yang masih menyusu, dan akan sakit apabila diberikan makanan yang bermacam-macam yang belum sanggup dicerna oleh perutnya.
Dengan demikian, sanggup dipahami bahwa pada prinsipnya, al-Ghazali lebih menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan kemaslahatan insan pada umumnya. Sehingga berdasarkan al-Ghazali, selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam pandangannya, lantaran ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia. Ia juga lebih menekankan pada segi pemanfaatan ilmu pengetahuan dengan berdasarkan pada tujuan keyakinan dan taqarrub pada Allah SWT. Hal ini menjadi masuk akal dengan melihat latar belakang kehidupan dia sebagai seorang sufi.
c)      Metode pengajaran
Perhatian Al Ghazali lebih ditujukan pada metode khusus bagi pengajar agama untuk anak – anak. Maka dari itu Ia mencontohkan metode keteladaanan pada mental anak-anak. Hal ini mendapatkan perhatian khusus dari Al Ghazali lantaran berdasarkan pada prinsipnya yang menyampaikan bahwa pendidikan ialah sebagai kerja yang memerlukan keterkaiatan erat antara dua individu yakni antara guru dan murid sehingga metode keteladanan menjadi metode utam yang sangat penting.
d)     Kriteria Guru yang baik
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi akrab dengan Khaliqnya. Sehingga Al Ghazali beropini bergotong-royong guru yang sanggup diserahkan kiprah mengajarnya ialah gulu yang selain cerdas dan tepat akalnya juga harus baik akhlaknya dan berpengaruh jasmaninya.
Seorang guru juga harus memilki sifat – sifat tertentusebagai berikut :
1.      Seorang guru mempunyai sifat kasih dan sayang untuk menimbulkan rasa kepercayaan diri dan rasa tentran antara murid dengan guru
2.      Seorang guru tidak menuntut upah dari jerih payahnya dalam mengajar.
3.      Guru sebgai pengarah dan penyeluruh hal – hal yang baik kepada muridnya.
4.      Guru mempunyai metode yang simpatik, halus tidak mengandung unsur kekerasan, cacian, makian dsb.
5.      Guru menjadi panutan dan teladan bagi muridnya
6.      Guru mengenal karakteristik kepribadian dan talenta yang dimilki muridnya.
7.      Memiliki kemampuan mendapatkan dan memahami kelebihan dan kekurangan murid
8.      Memiliki tanggung jawab atas keselarasan antara ucapan dan perbuatan.
e)      Etika murid yang baik
Dalam pandangan al-Ghazali, murid mempunyai etika dan kiprah yang sangat banyak, yang sanggup disusun dalam tujuh bagian, yaitu:
1.      Mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak.
2.      Mengurangi relasi keluarga dan menjauhi kampung halamannya sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu.
3.      Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan tidak terpuji kepada guru, bahkan ia harus menyerahkan urusannya kepadanya.
4.      Menjaga diri dari mendengarkan perselisihan diantara manusia.
5.      Tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga ia sanggup mengetahui hakikatnya.
6.      Mencurahkan perhatian terhadap ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat.
7.      Hendaklah tujuan murid itu ialah untuk mnghiasi batinnya dengan sesuatu yang akan mengantarkannya kepada Allah SWT.



BAB III
SIMPULAN
A.    SIMPULAN
a)      Filosofi Pendidikan, yang kata itu dilekatkan pada kata islam didefinisikan secara berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Tetapi semua pendapat itu bertemu dalam satu pandangan, bahwa pendidikan ialah suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien.
b)      Pemikiran Pendidikan Menurut Para Tokoh
1.      Pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Ibn Rusyd ialah sebuah pemikiran pendidikan dalam perspektif teori pengetahuan, yaitu mewakili epistemologi burhani, bayani, dan Irfani.
2.      Pemikiran Ibnu Sina mengenai pendidikan, terbagi menjadi beberapa bidang antara lain berkenaan menganai tujuan pendiidkan, kurikulum, metode pengajaran guru dan pelaksanaan eksekusi dalam pendidikan.
c)      Konsep Pendidikan Para Tokoh
1.      Pandangan Khaldun wacana pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Melalui pendekatan ini, memperlihatkan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal dan praktis.
2.      Kecenderungan pandangan Al Ghazali bercorak tasawuf, maka target pendidikan berdasarkan Al Ghazali ialah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Menuju jalan yang akan menghantarkan kepada kebahagiaan dunia dan alam abadi ialah ilmu,


B.      
BAB IV
DAFTAR ISI

Abidin, Zainal, Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Filosuf Islam terbesar di Barat, Jakarta: Bulan Bintang
Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998)
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Suatu Kajian Filsafat PendidikanIslam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003)
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002)
Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Suatu Pengantar, (Bandung: Yayasan PIARA, 1997.
Suharto,Toto Filsafat Pendidikan Islam. ( Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011).





[1] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hal 3.


[2] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002),hal 87
[3] Abidin, Zainal, Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Filosuf Islam terbesar di Barat, Jakarta: Bulan Bintang,
  1975.

[4] Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Suatu Pengantar, (Bandung: Yayasan PIARA, 1997.)

[5] Muhammad Khofifi dan Lilis Chusnul Chotimah, Pola Pemikiran Ibnu Ruysd wacana Pendidikan Agama
Islam dalam http://khofif.wordpress.com/2010/04/29/pola-pemikiran-ibnu-rusyd-tentang-pendidikan-agama
islam-2/ diakses tanggal 24/11/2013
[6] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Suatu Kajian Filsafat PendidikanIslam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),h77-78
[7] Abuddin Nata, h 78-79
[8] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam. ( Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011). Hal. 216
[9] Dr. H. Samsul Nizar, M.A, Filsafat Pendidikan Islam (Pendekatan Historis, Teoristis dan Praktis). ( Jakarta : Ciputat Press, 2002) hal.91-93
[10] Ibid, hal 93-95
[11] Ibid, h 81

Sumber http://umin-abdilah.blogspot.com


EmoticonEmoticon