Tuesday, June 6, 2017

√ Patirtan “Ngumbul Banyakbang” Bagaikan Kenangan Sejarah Atlantis Di Kecamatan Kalidawir - Tulungagung

Di daerah Tulungagung, bahwasanya masih banyak peninggalan sejarah leluhur yang belum terekspos keberadaanya. Meskipun Tulungagung merupakan kabupaten kecil apabila dibandingkan kabupaten-kabupaten sekitar di daerah Jawa timur, tapi di kabupaten ini banyak menyimpan kenangan masa kemudian berupa situs sejarah. Mulai dari ditemukannya Homo Wajakensis, fosil-fosil jenis gastropoda, situs Surontani, Bumi Lawadan Dandang Gendis, aneka macam goa baik berupa goa pahatan maupun alami, bangunan candi-candi, serta masih banyak peninggalan yang lain.
Peninggalan-peninggalan sejarah inilah yang telah menghiasi keindahan Tulungagung semenjak berabad-abad silam mulai dari pengunungan puncak Wilis hingga pegunungan kidul (pesisir Tulungagung selatan) yang menunjukkan bukti kenangan sejarah di kota Tulungagung.

Keberadaan Ngumbul Banyakbang
Di wilayah pegunungan Tulungagung selatan, tepatnya di wilayah pemangkuan hutan RPH Ngampel - Kalidawir, terdapat bangunan bersejarah atas kehidupan masa kemudian di zaman kerajaan. Tempat ini berdekatan dengan situs candi Ampel yang berlokasi di Desa Joho Kec. Kalidawir. Adapun bangunan ini, terletak sebelah timur candi Ampel sekitar satu kilometer.
 bahwasanya masih banyak peninggalan sejarah leluhur yang belum terekspos keberadaanya √ Patirtan “Ngumbul Banyakbang” bagaikan  Kenangan Sejarah Atlantis di Kecamatan Kalidawir - TulungagungDilihat dari sisa-sisa bangunan yang ada, situs ini terbangun dengan konsep peribadatan agama Hindhu yang mana di erat tempat peribadatan tersebut niscaya terdapat sumber mata air yang melimpah hingga memberkahi masyarakat sekitar dalam memakai air tersebut untuk kegiatan sehari-hari. Sehingga tempat ini alasannya yaitu debit air yang melimpah, masyarakat sekitar biasa menyebut tempat ini dengan “Ngumbul”, yakni air menyembul deras.
Sumber air Ngumbul ini merupakan sumber air terbesar di daerah Kalidawir. Airnya biasa digunakan untuk pengairan sawah dan disalurkan ke desa-desa yang rawan kekeringan. Selain itu, alasannya yaitu di daerah sumber Ngumbul ini terdapat kerikil bata kuno. Sangat kemungkinan, di daerah sumber Ngumbul ini merupakan peninggalan sejarah kerajaan Majapahit. Sebab kerikil bata yang berserakaan di sekitar sumber air termasuk yang masih berunduk ibarat membentuk candi kecil ukurannya sebesar 16x30 cm-an dg ketebalan 15 cm.
Konon (menurut pendapat salah seorang mangku) sumber air ini, dulunya yaitu satu serangkaian dengan candi Ampel yang terletak di sebelah barat sumber Ngumbul. Menurut dongeng sebagian masyarakat setempat, daerah sumber Ngumbul ini telah digunakan ratusan tahun oleh warga sebagai pertapaan dan budaya nyadran (selamatan tradisi Jawa untuk mohon terkabulnya hajat; red). Sehingga udara di lokasi ini sejuk dan airnya melimpah ruah. “Setiap candi yang bernuansa Hindhu, niscaya mempunyai Sumber air yang melimpah” Menurut pemangku Agama Hindhu Dharma, yg biasa disapa “Bunda His” pada hari Minggu, 24 Maret 2013 kemudian ketika ia berkunjung ke lokasi sumber air Ngumbul Banyakbang.
Menurut Manap (87), “Sebenarnya dulu di Sumber Ngumbul ada peninggalannya berupa 2 buah patung, yg ditempatkan di Punden (tempat sesaji di bawah pohon) dan pohon besar itu kini sudah tumbang dan tinggal gundukan tanahnya saja. Karena bencana GESTAPU (30 S PKI), patung yang laki-laki diceburkan ke luweng (pusaran air) dan satunya ( patung yg wanita), hilang entah kemana.” Tutur laki-laki yang kelahiran 1926.
“Dinamakan sumber Ngumbul alasannya yaitu debet air terlalu banyak yg keluar kayak semburan dari bawah. Sehingga orang Jawa menamakannya dg sebutan “ngumbul” (semburan air dari bumi). Tapi berdasarkan isu mitos, air ini ada hubungannya sumber-sumber besar sekitar Kalidawir dan mempunyai tembusan hingga pesisir Sine (pantai sine)”, tambah mbah Manap dengan santai. Selain dari pada itu, hal ini sanggup dibuktikan dengan didukung abjad struktur bebatuan gunung kapur wacana hal sungai bawah tanah.
 bahwasanya masih banyak peninggalan sejarah leluhur yang belum terekspos keberadaanya √ Patirtan “Ngumbul Banyakbang” bagaikan  Kenangan Sejarah Atlantis di Kecamatan Kalidawir - Tulungagung

Sedangkan dongeng wacana proses hilangnya situs patung itu yaitu alasannya yaitu kerakusan seseorang yang ingin mempunyai benda bernilai harga tinggi. “Karena pada kedua mata patung itu, diberi permata merah. Sehingga ketika dilihat, patung itu seakan hidup dan mengeluarkan sinar merah ketika siang dan malam. Selain itu patung sosok dewi ini terlihat ada leletan emas yang melingkari leher patung dan seolah-olah patung tersebut menyambut tersenyum manis ketika dipandang”, berdasarkan dongeng Ibu Mulyati warga Desa Joho yang bertempat tinggal di sebelah barat lokasi.
Patung yang dimaksud oleh Mulyati ini yaitu sama dengan yang diungkapkan Manap, yakni di sana ada peninggalan patung perempuan yang merupakan yoni. Yoni yaitu simbol aspek perempuan yang juga merupakan penggambaran istri Dewa Siwa (dewa dalam agama Hindu) sangat kemungkinan candi ini  berlatar belakang keagamaan Hindu.
Tetapi realitas sekarang, bentuk batasan candi dan atributnya sudah hilang, tinggal kerikil bata yang awut-awutan dan kondisi Candi pun telah runtuh, tinggal menyisakan tumpukan bata merah serta beberapa komponen berbahan andesit terutama berupa umpak. Hanya relief yang tersisa. 
Keruntuhan serta berserakannya kerikil bata, semakin tragis. Tidak ada satupun warga yg riel peduli wacana situs itu. Sekarang, bangunan itu hanya tertinggal puing kerikil bata merah yang membentuk pondasi. Bangunan candi yang terdapat sempurna dibawah tebing kerikil yang digunakan untuk tempat patung-patung tersebut, telah dibongkar habis untuk tanggul beton sumber air yang digunakan untuk air minum oleh warga desa Winong Kec. Kalidawir.




Nuansa Eksotis Tersendiri dalam Mewujudkan Menjadi Wisata
Seiring perjalanan waktu, sekitar tahun 1900-an tempat ini berganti dengan area ritual sadranan bagi orang-orang yang mempunyai hajat besar serta tradisi selamatan syukur bumi. Selain itu, dalam area ini juga disarankan dilarang berkata kotor, berbuat keji dan sebagainya. Akan tetapi, kini tinggal dongeng dan yang tersisa hanyalah pecahan kerikil bata yang terpendam serta berserakan.
“Kawet jamanku isik bocah mbiyen, panggonan kui wes digawe nyadran karo wong-wong sing nduwe kajatan gedhe koyo wayangan lan sak panunggalane. Kabeh parane marang danyangan sumber ngumbul kui. Lan jarene mbah-mbahku mbiyen yo wes digawe ngunu kui”. (Red; semenjak dimasa saya masih kecil dulu, tempat tersebut sudah digunakan upacara nyadran oleh orang-orang yang mempunyai hajatan besar ibarat wayang dan sejenisnya. Semua diarahkan ke simbahureksa sumber air ngumbul itu. dan kata kakek-nenekku dulu ya sudah sipakai ibarat itu). ini merupakan cuplikan wawancara Mukhosis kepada Mbah Manaf pada tahun 2013 lalu.
Kemudian lambat laun sekitar tahun 1985-an, tempat ini digarap oleh beberapa cowok masyarakat setempat (karangtaruna desa Joho). Pemuda masyarakat, berupaya ingin menjaga lokasi tersebut. Hasil dari cita-cita itu, pohon sekitar sumber tinggal yang besar-besar saja, alasannya yaitu harus dijadikan lapangan pertunjukan semisal konser dangdut, jaranan dan sebagainya. Akan tetapi mengenai sampah dan pengelolaannya, belum terwujudkan sama sekali. Tidak usang kemudian alasannya yaitu panggung permanen yang dibuat anggota karangtaruna roboh bersamaan tumbangnya salah satu pohon besar di lokasi tersebut, dan simpulan dongeng kegiatan karangtaruna wacana pemanfaatan areal sumber mata air yang sakral ini, selesai hingga pada itu. Kemudian jadwal beralih hanya kegiatan olahraga kaum muda desa setempat, alasannya yaitu tidak ada dana dari desa untuk menggarapnya.
Sekitar 25-an tahun lamanya, lokasi terbiarkan dan selama itu justru dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga sekitar sehingga sampah di lokasi tersebut menebal hingga ketebalan 1 meter sekaligus lokasi itu digunakan tempat nyuci pakaian oleh warga. Akan tetapi tidak memperhatikan betapa pentingnya menjaga sampah dan limbah kimia semoga tidak mencemari sumber mata air tersebut.
Berawal dari keresahan kami melihat perkembangan itu serta melihat akseptor didik yang menaruh sampah sembarangan seakan tak peduli lagi dengan potensi alam terutama sumber mata air di mana erat dengan tempat mereka bermukim. Sehingga hal ini menciptakan Mukhosis (pemuda warga desa Pakisaji) berdiri untuk jadwal pengendalian lingkungan dari pencemaran sampah kimia. Lebih dari itu, warga sekitar bahkan termasuk forum sekolah yang membuang sampah di sekitar sumber mata air dengan per-harinya 1 hingga 2 gerobak sorong yang menimbulkan pemandangan mata air dan 3 (tiga) pohon trembesi yang besarnya berdiameter 2 meter rusak terkena sengatan api ketika memperabukan sampah dibawahnya. Sehingga akar pohon mulai lapuk dan 1 pohon terbakar hampir separuh batang.
“Saya sangat berterimakasih sekali kepada temen-temen cowok IPNU/IPPNU Kalidawir yang telah membantu mewujudkan lokasi ini bebas dari sampah kimia. Bagaimanapun yang terjadi, lokasi ini yaitu peninggalan nenek moyang kita dan sumber ini menjadi satu-satunya air penghidupan warga Desa Winong Kec. Kalidawir”. Ungkap Mukhosis ketika musyawarah kerjasama dengan IPNU/IPPNU di Yayasan Cendekia Nusantara
Selain tempat ini bekas patirtan suci Agama Hindhu pada kerajaan Majapahitan serta menjadi air penghidupan pada jaman dahulu hingga zaman kini yang tak pernah habis meskipun debet air agak surut, Sumber mata air yang berjulukan “Ngumbul Banyak Bang” ini sangat strategis khususnya dalam dunia penerapan pembelajaran terhadap kepedulian lingkungan. Lokasi yang strategis alasannya yaitu berada persis di belakang SDN 1 Joho - Kalidawir, 100 meter dari Pukestu desa Joho - Kalidawir, 300 meter dari Kantor Desa setempat, 300an meter dari Sekolah Menengah Pertama 3 Kalidawir, 600 meter dari pasar Joho - Kalidawir, serta 1 km dari tempat sejarah Candi Ampel Kalidawir.
Pada simpulan tahun 2010, telah terbentuk komunitas cowok Kalidawir dan telah tergali informasi dari aneka macam lapisan masyarakat untuk menemukan sejarah lebih tepatnya. Kemudian pada simpulan tahun 2012, cowok Kalidawir termasuk IPNU/IPPNU PAC Kalidawir yang bermarkas di Yayasan Cendekia Nusantara (YCN) bersepakat untuk menggabungkan diri dengan pengurus kehutanan setempat; RPH Ngampel (oleh Bpk. Mursito yang kini ditempatkan di kantor wilayah Blitar) dan bergabung dalam struktur dan di bawah naungan LMDH Wono Asri yang diketuai oleh Drs. H. Sulaiman. Sehingga kami menjadi leluasa ikut berpartisipasi dalam rangka pelestarian lingkungan setempat.
 bahwasanya masih banyak peninggalan sejarah leluhur yang belum terekspos keberadaanya √ Patirtan “Ngumbul Banyakbang” bagaikan  Kenangan Sejarah Atlantis di Kecamatan Kalidawir - Tulungagung
Tepat pada bulan April 2013, mereka bekerja sebagai relawan di bawah naungan LMDH setempat dengan mendirikan Pos dengan nama “Pos Leshutama” (Pos Peduli Pelestarian Hutan dan Penyelamatan Sumber Mata Air) di area sumber mata air. Markas kumpul itu merupakan bekas bangunan kotak mesin air yang hanya tersisa tembok keliling saja. Kini markas itu masih mentereng dengan atap sederhana pertama dari terpal kolam proteksi dari warga. Selanjutnya, alasannya yaitu atap terpal telah lapuk, kini beratap daduk (yang terbuat dari daun tebu).
Perjalanan demi perjuangan, telah terlalui seiring perjalanan waktu. Sehingga dari pembahasan yang telah terpaparkan pula, alangkah baiknya jikalau tempat ini sebagai pendukung mereka dalam proses pendidikan, sentra informasi serta refreshing warga, dan inisiatif ini dibentuk, dengan tanpa meninggalkan kearifan lokal yang ada yakni menjaga kelestarian lingkungan. Karena melihat lokasi geografis yang erat dengan pendidikan dan kesehatan warga.

Fasilitas Pengunjung
Adapun kondisi lokasi yang kami jadikan sebagai wisata serta aplikasi pendidikan dalam praktik lapangannya, di area sumber mata air  “Ngumbul Banyak Bang” secara sekilas, lokasi ini terdapat beberapa kebutuhan.
 bahwasanya masih banyak peninggalan sejarah leluhur yang belum terekspos keberadaanya √ Patirtan “Ngumbul Banyakbang” bagaikan  Kenangan Sejarah Atlantis di Kecamatan Kalidawir - Tulungagung

Bagi para pengunjung, lokasi ini mempunyai beberapa potensi yang diantaranya;
§  Debit air; sumber mata air di lokasi ini tergolong paling besar di daerah Kalidawir yang airnya dimanfaatkan sebagai air minum warga yang mencapai 900 KK lebih penduduk desa Winong yang mencakup 6 dusun (Winong, Tumpak Joho, Ngambal, Mongkrong, Pakis, Branjang) dan ditambah desa Joho dan Pakisaji (wilayah setempat) yang dipergunakan untuk kebutuhan; mencuci pakaian, pengairan sawah dan sebagainya. Selain itu, air terlihat higienis dan di ketika kemarau air ini tetap deras seakan tanpa surut. Selain itu terdapat kedung kecil yang memudahkan pengunjung untuk bermain air, nyuci dan mandi.
§  Pepohonan; Sekitar 9 pohon besar dari puluhan pepohonan jenis pohon besar. Adapun dari 9 pohon itu, terdapat 4 pohon besar yang berdameter 2-3 meteran dan yang lainya berdiameter 1 meteran. Para pengunjung sanggup duduk-duduk di atas akar pohon besar untuk menikmati keteduhan di bawah pohon besar.
§  Luas wilayah; Lebar wilayah sumber ini 1,3 ha yang memang khusus untuk menjaga kelestarian alamnya. Sehingga sanggup digunakan diskusi santai, pesta taman, lokasi camping ground bagi para pelajar maupun umum dan sebagainya.

§  Bangunan; perpustakaan keliling setiap hari ahad oleh Yayasan Cendekia Nusantara yang ditempatkan di bangunan Pos Leshutama, MCK pengunjung yang sementara ini ikut dengan SDN 1 Joho – Kalidawir yang jaraknya 5 meter dari lokasi ini.

Oleh : Anonim (Tim Yayasan Cendekia Nusantara)

Tags : Ngumbul Banyakbang, Sumber Mata Air Kalidawir Tulungagung, Kenangan Sejarah Atlantis Kalidawir, Tulungagung, Wisata Sumber Mata Air, Wisata Alam Tulungagung, Leshutama, Peduli Mata Air, Cinta Lingkungan, Selamatkan Sumber Mata Air, Hijaukan Indonesia, Segar Alami Indonesia, 

Sumber http://www.pagunpost.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)