Sunday, May 6, 2018

√ Cara Memberi Bimbingan Dan Konseling Untuk Mengatasi Kesulitan Mencar Ilmu Siswa

Cara Memberi Bimbingan Dan Konseling Untuk Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa_ Dalam mendidik dan mengajar siswa atau peserta didik tak jarang ditemui problem atau kesulitan berguru yang dialami siswa, mengatasi problem berguru siswa perlu memperhatikan beberapa hal semoga metode atau cara yang diterapkan dalam mengatasi problem berguru siswa bisa maksimal. Bimbingan dan konseling ialah salah satu metode yang biasa diterapkan di sekolah-sekolah dalam mengatasi siswa yang nakal, berperilaku menyimpang dan mengalami kesulitan belajar. Bagaimanakah baiknya dalam memperlihatkan bimbingan dan konseling kepada siswa yang bermasalah, berikut pemaparannya.


Cara Memberi Bimbingan Dan Konseling Untuk Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa √ Cara Memberi Bimbingan Dan Konseling Untuk Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa

A. Bimbingan terhadap anak lamban belajar
Pada anak lamban berguru (slow learning) ialah anak yang perkembangan belajarnya lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan rata-rata sobat seusianya dan tingkat kecerdasannya pun di bawah rata-rata. Mereka di sebut juga dengan anak sub normal, mentally reterted.

Baca juga:

Sedangkan tanda-tanda tingkah laris lambat berguru ialah : (1) kelemahan (lambat mendapatkan pelajaran, lambat bekerja, lambat membaca, lambat memahami dan lain-lain), (2) kekurangan kemampuan (kurang kosentrasi, berkomunikasi, kurang kreatif, kurang kemampuan memimpin), (3) Prestasi yang rendahn (baik belajar/kerja), (4) Kelainan tingkah laris (kebiasaan jelek,acuh tak acuh, apatis, kurang inisiatif)

Sebab-sebab/kemungkinan latar belakang anak lambat belajar.
a. Kecerdasan kurang
b. Kehidupan sosial dan ekonomi orang bau tanah kurang.
c. Perhatian orang bau tanah kurang sibuk
d. Keluarga yang terlalu besar dan banyak.
e. Pendidikan orang bau tanah rendah.
f. Hubungan sosial dengan sobat kurang.

Kemungkinan masalah
a. Lemah dalam pelajaran lantaran kurang kemampuan berguru dan kecerdasan.
b. Lemah dalam pelajaran lantaran kurang kecakapan pelajarannya.
c. Lemah dalam pelajaran lantaran dukungan belajardari orang tua
d. Lemah dalam pelajaran lantaran kurang imbas kesulitan mental sosial ekonomi orang tua
e. Lemah dalam pelajaran lantaran kurang imbas kekerabatan sosial dengan teman
f. Lemah dalam pelajaran lantaran kurang sikap orang bau tanah yang memanjakan
g. Lemah dalam pelajaran lantaran kurang biasa di bantu
h. Lemah dalam pelajaran lantaran gangguan penyakit.

Kemungkinan bimbingan
a. Penyuluh terhadap anak
b. Pertemuan dengan guru
c. Pertemuan dengan orang tua
d. Pemberian informasi
e. Sosiodrawa
f. Penempatan anak dalam acara ekstra kurikuler

B. Teknik konseling dalam mengatasi Kesulitan berguru siswa.

1. Pendekatan Trait and factor
a. Kondisi Pribadi tidak sehat (Bermasalah)
Ada beberapa model pengkategorian problem yang sanggup kita ikuti. Pengaktegorian problem yang selam ini banyak dikenal ialah pengkateforian sosiologis dan psikologis. Pengkategorian secara sosiologis ini, contohnya membagi macam-macam problem atas problem pendidikan. Keluarga, ekonomi, pergaulan dan sebagainya. Pengkategorian lain yang lebih banyak diikuti ialah pengkategorian secara psikologis. Pengkategorian secara psikologis yang populer dalam konseling trait and factor ada dua, yaitu modelnya Bordin dan modelnya Pepnsky. Pengkategorian problem berdasarkan Bordin ialah sebagai berikut :

a) Dependence (bergantung) contoh: “dalam setiap ulangan saya belum yakin kebenaran balasan saya kalau tidak melihat balasan sobat saya”.

b) Lack of information (kurang informasi), contoh: “saya tidak berani tiba kerumahnya Pak Ahmad, jangan-jangan dia nanti marah” (padahal bekerjsama Pak Ahmad orang yang baik dan ramah). Seorang siswa tetapkan untuk keluar sekolah lantaran tidak ada biaya, padahal bekerjsama ada kesempatan untuk mendapatkan beasiswa. Seorang siswa tidak mau masuk jurusan bimbingan dan konseling, padahal bekerjsama dia mempunyai talenta dalam jurusan tersebut.

c) Self-conflict (konflik diri), contohnya: “hari ini orang bau tanah saya menyuruh saya pergi ke Surabaya, tetapi hari ini juga saya ada komitmen dengan pacar saya, apa yang harus saya perbuat?”

d) Choice anxiety (cemas memilih), contoh: “Tahun ini saya mengikuti UMPTN dengan menentukan dua jurusan sesuai dengan ketentuannya, yaitu pilihan pertama dan pilihan kedua. Selain itu saya juga mendaftar di salah satu fakultas swasta (PTS) yang mutunya tidak kalah dengan PTN. Orang bau tanah saya menyerahkan kepada saya sepenuhnya untuk menentukan yang mana, tetapi hingga sekaran ini saya belum sanggup menentukan pilihan saya”.

e) No Problem (bukan masalah-masalah di atas), dalam arti individu mengalami problem yang tidak sanggup digolongkan pada masalah-masalah di atas, atau problem lain-lain.

Pengkategorian Pepinsky (dalam Andi Mapiare, 2004) yang dalam beberapa hal menyerupai dengan yang dikemukakan oleh Bordin, yaitu sebagai berikut : (1) Lack of assurance (kurang percaya diri sendiri), contoh: “teman-teman maupun sebagian bapak ibu guru telah mendorong saya untuk mengikuti lomba karya ilmiah remaja, tetapi saya kurang yakin apakah saya mampu”, (2) Lack of information (kurang informasi), (3) Lack of skill (kurang keterampilan), contoh: Tidak mengetahui cara membaca efiosien, tidak mengetahui cara menemukan ilham pokok pada suati kalimat ataupun pragraf, tidak sanggup mengatur jadwal harian dan sebagainya, (4) Dependence (bergantung), (5) Self-conflict (konflik diri), dan (6) Choice anxiety (cemas memilih).

Masalah sebagaimana yang dijabarkan di atas, sanggup timbul lantaran faktor internal maupun eksternal. Termasuk faktor internal bagi timbulnya masalah, antara lain: (1) individu banyak dipengaruhi kehidupan emosi, sehingga kemampuan berpikir rasionalnya terhambat, (2) potensi-potensinya kurag berkebang atau tidak menerima kemampuan berpikir rasionalnya terhambat, (3) kurang mempunyai kontrol diri, (4) mempunyai kekurangan tertntu, baik cacat fisik maupun mental, dan yang merupakan faktor keturunan.

Adapun yang tergolong faktor eksternal, antara lain : (1) Perlakuan orang tua; sikap orang bau tanah yang terlalu menekan, menolak maupun melindungi merupakan sumber timbulnya masalah, (2) Kondisi lingkungan dan masyarakatnya (meliputi lingkungan fisik dan sosial), (3) Pengalaman atau sejarah pribadi yang menimbulkan trauma, dan (4) ada tidaknya kesempatan menyebarkan diri, baik yang menyangkut situasi maupun pendukung (orangnya).

b. Kondisi Pribadi yang ideal (sehat)
Pribadi yang ideal berdasarkan ancangan trait and factor sanggup dirumuskan sebagai berikut: Pribadi yang ideal ialah apabila pribadi tersebut bisa memakai kemampuan berpikir rasionalnya memecahkan masalah-masalah kehidupan secara bijaksana. Selain itu pribadi yang bersangkutan sanggup memahami kekuatan dan kelemahannya dirinya serta bisa dan mau mengembanghkan segala potensinya secara penuh (khususnya potensi baiknya), mempunyai motivasi untuk meningkatkan diri atau menyempurnakan diri, mempunyai kontrol diri untuk menyeleksi imbas yang baik dan buruk, dan sanggup beradaptasi di tengah-tengah masyarakatnya, sehingga dia sanggup digolongkan sebagai warga negara yang baik.

c. Kondisi-kondisi bagi timbulnya perubahan
Konseling sanggup dikatakan sebagai salah satu cara dalam pendidikan untuk membantu individu yang bermasalah menemukan cara pemecahan problem untuk membantu individu yang bermasalah menemukan cara pemecahan problem semoga individu bisa menyebarkan potensi-potensinya (konseling mempunyai fungsi remediatif dan develomental). Dengan konseling tersebut, kita (konselor) bermaksud untuk membawa individu sanggup menjadi pribadi-pribadi yang ideal. Untuk itu, sudah barang tentu dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu menunjang bagi tercapainya tujuan yang dimaksud.

Berbicara komponen dalam konseling di atas merupakan kondisi bagi timbulnya perubahan  (ke arah yang ideal), terkait pribadi dengan komponen-komponen tersebut ialah konselor, klien situasi kekerabatan dan tujuan.

Keempat komponen dalam konseling di atas merupakan kondisi bagi timbulnya perubahan, bukan berkenaan dengan ada tidaknya, tetapi juga pada bagaimananya. Konselor yang bagaimana yang sanggup menunjang timbulnya perubahan; situasi yang bagaimana yang merupakan prasyarat bagi timbulnya perubahan. Konselor yang dimaksud ialah sebagai berikut :

a) Sikap konselor, Sikap ini antara lain : (1) sanggup menempatkan diri sebagai seorang guru, (2) mendapatkan tanggung jawab atas keselamatan klien (walaupun penangggung jawab utamanya ialah klien yang bersangkutan), (3) bersedia mengarahkan klien ke arah yang lebih baik, (4) tidak netral sepenuhnya terhadap nilai (value), Yakin terhadap asumsi-asumsi konseling yang efektif.

b) Keterampilan. Yaitu : (1) Memiliki pengalaman, keahlian dalam teori perkembangan insan dan pemecahan masalah, (2) Dapat memanfaatkan teknik-teknik pemecahan individu baik teknik testing maupun teknik konseling, (3) Dapat melaksanakan proses konseling secara fleksibel, (4) Dapat menerapkan taktik pengubahan tingkah laris beserta teknik-tekniknya, (5) Menjalankan keempat peranan utamanya secara terpadu, yaitu : 1) Mengajar atau menolong individu berguru memahami dan mendapatkan dirinya sendiri yang meliputi kemampuan, talenta dan minatnya, 2) Mengajar dan menolong individu untuk mengenali motivasi-motivasinya sendiri dan teknik-teknik atau cara kehidupannya sendiri, 3) Memperhitungkan dua kelompok aspek di atas yaitu pada poin 1 dan 2 dari segi konsekwensi dan implementasinya, 4) Mengajar individu mengganti atau megubah tingkah lakunya dengan yang lebih memadai guna mencapai tujuan pribadinya.

Dalam menunjang adanya perubahan dalam konseling trait and factor, selain mensyaratkan konselor, juga dibutuhkan peranan klien. Adapun peranan klien selama proses konseling ialah : (1) Sedapat mungkin tiba secara sukarela, tetapi kalau klien tersebut dikirim berdasarkan pengalaman dan tidak terlalu berbeda efektifitasnya, (2) Bersedia berguru memahami dirinya sendiri dan mengarahkan diri dengan mengubah responnya yang kurang tepat, (3) memakai kemampuan berfikirnya untuk lebih memperbaiki dirinya sehingga sanggup mencapai kehidupan yang rasional dan memuaskan, dan (4) bekerja sama dengan konselor dn bersedia mengikuti isyarat konselor dalam hal proses pengubahan.

Sedangkan situasi kekerabatan dalam konseling trait and factor ditandai dengan ciri-ciri situasi kekerabatan sebagai berikut : (1) Konseling merupakan suatu thinking relationship yang lebih mementingkan peranan berpikir rasional, tetapi tidak meninggalkan sama sekali aspek emosional seseorang, (2) Konseling berlangsung dalam siatuasi kekerabatan yang bersifat pribadi, bersahabat, dekat dan empatik, (3) Konseling yang berlangsung sanggup bersifat remediatif maupun developmental, (4) Setiap pihak (konselor-klien) melaksanakan peranannya secara proporsional.

 Sedangkan tujuan dari konseling trait and factor, sanggup diringkas sebagai berikut : (a) Self-clarification (kejelasan diri), (b) Self-understanding (pemahaman diri), (c) Self-acceptance (penerimaan diri), (d) Self- direction (pengarahan diri), dan (5) Self-actualization (perwujudan diri).

C. Tahap-tahap Konseling
Konseling trait and factor mempunyai enam tahap dalam prosesnya, yaitu : analisis, sinetesis, diagnosis, prognosis, konseling (treatment), dan follow-up. Keenam tahap tersebut merupakan suatu urutan yang terperinci dan logis, dan menggambarkan langkah-langkah yang lazim dipakai dalam dunis ilmu pengetahuan atau kedokteran. Namun begitu dalam prakteknya urut-urutan di atas tidak perlu dipakai secara kaku. Tahap-tahap itu direncanakan secara fleksibel, bahkan terjadi tumpang tindih (overlapping). Hal itu terjadi, lantaran dalam konseling tersebut dimungkinkan untuk kembali pada tahap yang lebih awal (setelah mencapai tahap-tahap akhir) apabila dianggap tahap yang terdahulu memang belum sempurna, masih terdapat kekurangan-kekurangan.

Selama mengikuti tahap-tahap konseling, klien bertangungjawab penuh untuk berguru dalam proses memahami dirinya, sedang konselor berperan sebagai orang kedua atau mengambil kiprah pembantu sebagai layaknya seorang guru yang bertugas semoga proses berguru sanggup berlangsung sebaik-baiknya.

Dari antara enam tahap yang dikemukakan konseling trait and factor, tahap pertama hingga keempat sanggup dilakukan tanpa bertatap muka dengan klien. Konselor sanggup saja melakukannya, contohnya dengan mempelajari catatan komulatif siswa. Setelah selesai gres diadakan pertemuan dengan siswa dalam situasi konseling dengan target utamanya menemukan pemecahan masalah. Dengan demikian untuk melaksanakan empat tahapan awal dalam konseling ala Williamson, yang dikenal sebagai tahap-tahap persiapan bagi wawancara konseling, pada suatu sesi tatap muka dengan klien. Kedua, dilaksanakan di luar atau sebelum bertatap muka dengan klien dalam suatu sesi konseling. Ketiga, cara kombinasi, yaitu dilakukan sebelum bertemu dengan klien sejauh bisa, kemudian kekurangan-kekurangannya dilengkapi pada dikala wawancara konseling berlangsung.

a) Analisis
 Analisis merupakan langkah mengumpulkan informasi perihal diri klien beserta latar belakang. Informasi atau data yang dikumpulkan meliputi segala aspek kepribadian klien, menyerupai kemampuan, minat motif, kesehatan fisik, dan karakteristik lainnya yang sanggup mempermudah atau mempersulit bagi pemerolehan peyesuaian diri yang memuaskan  baik dalam kehidupannya di sekolah maupun dalam dunia kereja serta penyesuaian diri pada umumnya.

Tujuan dari tahap analisis ialah untuk memperoleh pemahaman perihal diri siswa atau klien dalam hubunganya dengan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk memperoleh penyesuaian diri baik untuk masa kini maupun masa yang akan datang. Bagi tujuan itulah data perihal diri klien dikumpulkan, dengan syarat data yang terkumpul harus sahih (valid), relevan dan komprehensip.

Untuk menciptakan analisis perihal diri klien ini, konselor sanggup memakai alat-alat tertentu. Enam alat yang dikemukakan Williamson yang dikemukakan oleh Petterson (1980) adalah: (1) catatan komulatif, (2) wawancara, (3) format distribusi waktu, (4) otobiografi, (5) catatan anekdot, dan (6) tes psikologis.

Selain menyebutkan enam alat di atas, diterangkan pula oleh Patterson  mengenai studi masalah sebagai suatu alat, yaitu metode untuk memadukan semua data meliputi sejarah keluarga, sejarah kesehatan, sejarah pendidikan, sejarah pekerjaan atau jabatan, minat rekreasi dan sosial serta kebiasaan kebiasaan. Ketika data obyektif perihal diri siswa dikumpulkan, konselor memperhatikan pikiran-pikiran (ide-ide) dan sikap klien. Bagaimana klien mendekati masalahya tidak hanya memperlihatkan gaya hidupnya, tetapi memperlihatkan reaksinya terhadap analisis dan diagnosis. Sikap klien terhadap masalahnya terhadap cara dan alat untuk mencapai penyesuaian yang maksimal merupakan satu dari antara yang terpenting dari seluruh data analisis. Penting data ini ialah bersangkutpaut dengan kerjasama klien. Jika klien memperlihatkan sikap kooperatif, berarti dia sanggup berafiliasi dengan konselor mengenai keyakinan dan pemahaman klien perihal konseling yang bila dijumpai kesalahpahaman, konselor segera mengoreksinya.

 Untuk lebih memperjelas perihal data macam apa yang perlu dikumpulkan, sanggup dibuatkan klasifikasi-klasifikasi: (a) Data vertikal (menyangkut diri klien ), yang sanggup dibagi lebih lanjut atas: data fisik, kesehatan, ciri-ciri fisik, penampakan/penampilan fisik dan sebagainya.(b) data psikis: bakat, minat, sikap, cita-cita, kebiasaan, dan sebagainya.

b) Sintesis
Sintesis ialah perjuangan merangkum, menggolong-golongkan dan menghubung-hubungkan data yang telah terkumpul pada tahap analisis, yang disusun sedemikian sehingga sanggup memperlihatkan keseluruhan citra perihal diri klien. Rumusan dari klien dalam sintesis ini bersifat ringkas dan padat. Dalam sintesis juga harus tercermin perihal kekurangan atau kelebihan dan kelemahan klien, kemampuan penyesuaian dirinya malasuianya (maladjusments).

Ada tiga cara yang sanggup dilakukan dalam merngkum data pada tahap sintesis tersebut. Cara pertama, dibentuk oleh konselor; kedua, dilakukan klien; ketiga ialah cara kerja sama atau kerjasama klien-konselor. Dalam prakte, disarankan untuk memakai cara kolaburasi. Cara ini didahului dengan  konselor meminta kepada klien untuk menciptakan rangkuman, sesudah itu, konselor menyempurnakan rangkuman yang telah dibentuk klien. Atau kalau konselor ingin lebih mempermuadah klienya, sanggup pula didahului dengan memperlihatkan kerangka bagi menciptakan rangkuman oleh klien.

c) Diagnosis
Diagnosis merupakan tahap menginterpretasikan data daalm ebntuk (dari sudut) problema yang ditunjukkan. Rumusan diagnosis dilakukan melalui proses pengambilan atau penarikan simpulan yang logis.

(1). Identifikasi masalah. Pada langkah ini, ditunjukkan atau ditentukan problem apa yang dialami klien. Penentuan macam masalahnya didasarkan pada pengkategorian problem baik ala Bordin atau Papinsky sebagaimana yang dijelaskan di atas. Identifikasi problem ini merupakan langkah penentuan hakekat problem yang sebenar-benarnya, bukan gejala-gejalanya. Masalah yang diidentifikasikan mungkin satu atau lebih dari satu saja. Jika masalh lebih dari satiu, dan berdasarkan pertimbangan tertentu, contohnya waktu, tidak akan tuntas bila dibahas semua, konselor sanggup menciptakan kesepakatan perihal pembatasan topik (gunakan teknik structuring dan topik limit).

(2).Menemukan sebab-sebab (etiologi). Langkah ini merupakan langkah mencari sumber bagi timbulnya suatu problem yang meliputi pencarian kekerabatan antara masa lalu, sekarang, dan masa depan yang mungkin menuntun kita untuk memahami sebab-sebab dari tanda-tanda (symtoms). Jika terdapat hanya sedikit atau tidak ada hasil penelitian ilmiah atau pengetahuan berdasarkan pemikiran rasional dalam hubungannya dengan sebab-sebab gejala, konselor juga sanggup memakai intuisinya untuk menerka sebab-sebab itu yang kemudian di cek dengan budi maupun reaksi klien. Dalam mencari lantaran ini sanggup dihubungkan (menggunakan) data yang terungkap pada tahap analisis, tetapi, konselor harus sanggup membedakan antara lantaran dengan sekedar kekerabatan sederhana.

(3). Prognosis (tahap ke-4 dalam konseling). Menurut Williamson, prognosis merupakan potongan dari diagnosis. Prognosis ini bersangkutan dengan upaya memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi berdasarkan data yang ada sekarang. Misalnya : bila seorang klien berdasarkan data kini dia malas, maka kemungkinan nilainya akan rendah; kalau intelegensinya rendah, kemungkinan nanti tidak sanggup diterima dalam UMPTN.

Pada tahap atau langkah prognosis ini, klien diajak untuk menyadari kemungkinan-kemungkinan apa akan yang terjadi kalau keadaan menyerupai kini ini tetap berlanjut.

d) Konseling (treatment)
Dalam konseling, konselor membantu klien untuk menemukan sumber-sumber forum dan masyarakat guna membantu klien mencapai penyesuaian yang optimal sejauh dia bisa. Bantuan dalam konseling ini meliputi lima jenis bantuan, yaitu:

a. Hubungan konseling yang mengacu pada berguru yang terbimbing kearah pemahaman diri.

b. Konseling jenis re-edukasi atau berguru kembali yang individu butuhkan sebagai alat untuk mencapai penyesuaian hidup dan tujuan personalnya.

c. Konseling dalam bentuk dukungan yang dipersonalisasikan untuk klien dalam memahami dan untuk terampil mengaplikasikan prinsip dan teknik dalam kehidupan sehari-hari.

d. Konseling yang meliputi bimbingan dan teknik yang mempunyai imbas terapiutik atau kuratif.

e. Konseling bentuk reedukasi bagi diperolehnya katarsis secara terapiutik.

Dengan mendasarkan tipe-tipe dukungan itu, sesuai dengan problem klien, pada tahap konseling ini dikembangkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Melalui pengujian untung rugi atau kelebihan dan krangan setiap alternatif yang terbaik atau paling mungkin dilaksanakan.

e) Follow-up
Tindak lanjut merujuk pada segala acara membantu siswa sesudah mereka memperoleh layanan konseling, tetapi kemudian menemui masalah-masalah gres atau munculnya kembali masa yang lampau. Tindak lanjut ini juga meliputi penentuan keefektifan konseling yang telah dilaksanakan. 
Sumber http://www.rijal09.com


EmoticonEmoticon