Pembelajaran Kooperatif
Sekitar tahun 1960-an, berguru kompetitif dan individualistik telah mendominasi pendidikan di Amerika Serikat. Siswa biasanya tiba ke sekolah dengan impian untuk berkompetisi dan tekanan dari orang renta untuk menjadi yang terbaik. Dalam berguru kompetitif dan individualistik, guru menempatkan siswa pada daerah duduk yang terpisah dari siswa yang lain. Kata-kata “dilarang mencontoh”, “geser daerah dudukmu”, “Saya ingin supaya kau bekerja sendiri” dan “jangan perhatikan orang lain, perhatikan dirimu sendiri” sering dipakai dalam berguru kompetitif dan individualistik (Johnson & Johnson, 1994: 29-30). Proses berguru menyerupai itu masih terjadi dalam pendidikan di Indonesia kini ini.
Jika disusun dengan baik, berguru kompetitif dan individualistik akan efektif dan merupakan cara memotivasi siswa untuk melaksanakan yang terbaik. Meskipun demikian terdapat beberapa kelemahan pada berguru kompetitif dan individualistik, yaitu (a) kompetisi siswa kadang tidak sehat. Sebagai teladan kalau seorang siswa menjawab pertanyaan guru, siswa yang lain berharap supaya balasan yang diberikan salah, (b) siswa berkemampuan rendah akan kurang termotivasi, (c) siswa berkemampuan rendah akan sulit untuk sukses dan semakin tertinggal, dan (d) sanggup menciptakan frustrasi siswa lainnya (Slavin, 1995: 3). Untuk menghindari hal-hal tersebut dan supaya siswa sanggup membantu siswa yang lain untuk mencapai sukses, maka jalan keluarnya ialah dengan berguru kooperatif.
Belajar kooperatif bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai guru dan mungkin siswa kita pernah menggunakannya atau mengalaminya sebagai teladan ketika bekerja dalam laboratorium. Dalam berguru kooperatif, siswa dibuat dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 orang untuk bekerja sama dalam menguasai materi yang diberikan guru (Slavin, 1995: 4; Eggen & Kauchak, 1996: 279; Suherman, 2001: 220). Artzt & Newman (1990: 448) menyatakan bahwa dalam berguru kooperatif siswa berguru bersama sebagai suatu team dalam menuntaskan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Jadi, setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan kelompoknya.
Belajar kooperatif mempunyai inspirasi bahwa siswa bekerja sama untuk berguru dan bertanggung jawab pada kemajuan berguru temannya. Sebagai tambahan, berguru kooperatif menekankan pada tujuan dan kesuksesan kelompok, yang hanya sanggup dicapai kalau semua anggota kelompok mencapai tujuan atau penguasaan materi (Slavin, 1995: 5). Johnson & Johnson (1994: 278) menyatakan bahwa tujuan pokok berguru kooperatif ialah memaksimalkan berguru siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. Karena siswa bekerja dalam suatu team, maka dengan sendirinya sanggup memperbaiki korelasi di antara para siswa dari aneka macam latar belakang etnis dan kemampuan, menyebarkan keterampilan-keterampilan proses kelompok dan pemecahan persoalan (Louisell & Descamps, 1992: 98).
Zamroni (2000: 146) mengemukakan bahwa manfaat penerapan berguru kooperatif ialah sanggup mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level individual. Di samping itu, berguru kooperatif sanggup menyebarkan solidaritas sosial di kalangan siswa. Dengan berguru kooperatif, diharapkan kelak akan muncul generasi gres yang mempunyai prestasi akademik yang cemerlang dan mempunyai solidaritas sosial yang kuat.
Menurut Johnson & Johnson (1994: 22-23), terdapat lima unsur penting dalam berguru kooperatif, yaitu menyerupai berikut ini.
1. Saling ketergantungan yang bersifat positif antara siswa
Dalam berguru kooperatif siswa merasa bahwa mereka sedang bekerja sama untuk mencapai satu tujuan dan terikat satu sama lain. Seorang siswa tidak akan sukses kecuali semua anggota kelompoknya juga sukses. Siswa akan merasa bahwa dirinya merupakan bab dari kelompok yang juga mempunyai andil terhadap suksesnya kelompok.
2. Interaksi antara siswa yang semakin meningkat
Belajar kooperatif akan meningkatkan interaksi antara siswa. Hal ini, terjadi dalam hal seorang siswa akan membantu siswa lain untuk sukses sebagai anggota kelompok. Saling memberikan proteksi ini akan berlangsung secara alamiah lantaran kegagalan seseorang dalam kelompok mensugesti suksesnya kelompok. Untuk mengatasi persoalan ini, siswa yang membutuhkan proteksi akan mendapat dari sahabat sekelompoknya. Interaksi yang terjadi dalam berguru kooperatif ialah dalam hal tukar menukar inspirasi mengenai persoalan yang sedang dipelajari bersama.
3. Tanggung jawab individual
Tanggung jawab individual dalam berguru kelompok sanggup berupa tanggung
jawab siswa dalam hal (a) membantu siswa yang membutuhkan proteksi dan (b) siswa tidak sanggup hanya sekedar “membonceng” pada hasil kerja teman
jawab siswa dalam hal (a) membantu siswa yang membutuhkan proteksi dan (b) siswa tidak sanggup hanya sekedar “membonceng” pada hasil kerja sahabat sekelompoknya.
4. Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil
Dalam berguru kooperatif, selain dituntut untuk mempelajari materi yang diberikan seorang siswa dituntut untuk berguru bagaimana berinteraksi dengan siswa lain dalam kelompoknya. Bagaimana siswa bersikap sebagai anggota kelompok dan memberikan inspirasi dalam kelompok akan menuntut keterampilan khusus.
5. Proses kelompok
Belajar kooperatif tidak akan berlangsung tanpa proses kelompok. Proses kelompok terjadi kalau anggota kelompok mendiskusikan bagaimana mereka akan mencapai tujuan dengan baik dan menciptakan korelasi kerja yang baik.
Konsep utama dari berguru kooperatif berdasarkan Slavin (1995: 5) ialah sebagai berikut.
1. Penghargaan kelompok, yang akan diberikan kalau kelompok mencapai kriteria yang ditentukan.
2. Tanggung jawab individual, bermakna bahwa suksesnya kelompok tergantung pada berguru individual semua anggota kelompok. Tanggung jawab ini terfokus dalam perjuangan untuk membantu yang lain dan memastikan setiap anggota kelompok telah siap menghadapi penilaian tanpa proteksi yang lain.
3. Kesempatan yang sama untuk sukses, bermakna bahwa siswa telah membantu kelompok dengan cara meningkatkan berguru mereka sendiri. Hal ini memastikan bahwa siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah sama-sama tertantang untuk melaksanakan yang terbaik dan bahwa donasi semua anggota kelompok sangat bernilai.
Menurut Ibrahim dkk (2000: 16-17) menyatakan bahwa berguru kooperatif sanggup menyebarkan tingkah laris kooperatif dan korelasi yang lebih baik antar siswa, dan sanggup menyebarkan kemampuan akademis siswa. Siswa berguru lebih banyak dari sahabat mereka dalam berguru kooperatif dari pada dari guru. Ratumanan (2002:42) menyatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam berguru kooperatif sanggup memacu terbentuknya inspirasi gres dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Menurut Kardi & Nur (2000: 15) berguru kooperatif sangat efektif untuk memperbaiki korelasi antar suku dan etnis dalam kelas multibudaya dan memperbaiki korelasi antara siswa normal dan siswa penyandang cacat.
Uraian di atas, mendorong perlunya pelaksanaan berguru kooperatif dalam pembelajaran khususnya pembelajaran matematika. Pelaksanaan berguru kooperatif sangat diharapkan lantaran dengan berguru kooperatif sanggup diperoleh bahwa (1) siswa sanggup berguru lebih banyak, (2) siswa lebih menyukai lingkungan persekolahan, (3) siswa lebih menyukai satu sama lain, (4) siswa mempunyai penghargaan yang lebih besar terhadap diri sendiri, dan (5) siswa berguru keterampilan sosial secara lebih efektif (Johnson & Johnson, 1994: 30).
Davidson (1991: 53-61) memberikan sejumlah implikasi positif dalam berguru matematika dengan memakai taktik berguru kooperatif, yaitu sebagai berikut.
1. Kelompok kecil memberikan dukungan sosial untuk berguru matematika. Kelompok kecil membentuk suatu lembaga dimana siswa menanyakan pertanyaan, mendiskusikan pendapat, berguru dari pendapat orang lain, memberikan kritik yang membangun dan menyimpulkan inovasi mereka dalam bentuk tulisan.
2. Kelompok kecil memberikan kesempatan untuk sukses bagi semua siswa dalam matematika. Interaksi dalam kelompok dirancang untuk semua anggota mempelajari konsep dan taktik pemecahan masalah.
3. Masalah matematika idealnya cocok untuk diskusi kelompok, lantaran mempunyai solusi yang sanggup didemonstrasikan secara objektif. Seorang siswa sanggup mensugesti siswa lain dengan argumentasi yang logis.
4. Siswa dalam kelompok sanggup membantu siswa lain untuk menguasai masalah-masalah dasar dan mekanisme perhitungan yang perlu dalam konteks permainan, teka-teki, atau pembahasan masalah-masalah yang bermanfaat.
5. Ruang lingkup matematika dipenuhi oleh ide-ide menarik dan menantang yang bermanfaat bila didiskusikan.
Belajar kooperatif sanggup berbeda dalam banyak cara, tetapi sanggup dikategorikan sesuai dengan sifat berikut (1) tujuan kelompok, (2) tanggung jawab individual, (3) kesempatan yang sama untuk sukses, (4) kompetisi kelompok, (5) spesialisasi tugas, dan (6) pembiasaan untuk kebutuhan individu (Slavin, 1995: 12-13). Terdapat aneka macam pembelajaran kooperatif di antaranya ialah STAD, Jigsaw dan Group Investigasi (Eggen & Kauchak, 1996: 277).
1. Students Teams Achievement Divisions (STAD)
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan koleganya di Universitas John Hopkin (Ibrahim dkk, 2000:20; Ratumanan, 2002: 113). Dalam STAD, siswa dibuat dalam kelompok berguru yang terdiri dari 4 atau 5 orang dari aneka macam kemampuan, gender dan etnis. Dalam praktiknya, guru menyajikan pelajaran dan kemudian siswa bekerja dalam kelompok untuk memastikan bahwa semua anggota kelompok telah menguasai materi. Selanjutnya, siswa menghadapi tes individual. STAD mempunyai 4 komponen, yaitu (1) presentasi kelas, (2) kerja kelompok, (3) kuis atau tes, dan (4) penilaian kelompok (Slavin, 1995: 71).
2. Jigsaw
Jigsaw dikembangkan pertama kali oleh Elliot Aronson dan koleganya di Universitas Texas (Ibrahim dkk., 2000: 21 dan Ratumanan, 2002: 120). Dalam berguru kooperatif tipe jigsaw, siswa bekerja dalam kelompok menyerupai pada STAD. Siswa diberi materi untuk dipelajari. Masing-masing anggota kelompok secara acak ditugaskan untuk menjadi “ahli (expert)” pada suatu aspek tertentu dari materi. Setelah membaca dan mempelajari materi, “ahli” dari kelompok berbeda berkumpul untuk mendiskusikan topik mereka dan kemudian kembali ke kelompok semula untuk mengajarkan topik yang mereka kuasai kepada sahabat sekelompoknya. Terakhir diberikan tes atau assesmen yang lain pada semua topik yang diberikan.
3. Group Investigasi
Group Investigasi dikembangkan oleh Shlomo & Yael Sharon di Univesitas Tel Aviv (Slavin, 1995: 11). Group Investigasi ialah taktik berguru kooperatif yang menempatkan siswa ke dalam kelompok untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap suatu topik. Seperti pada taktik berguru kooperatif lainnya, Group Investigasi memakai atau memanfaatkan proteksi dan kolaborasi siswa sebagai alat dasar belajar. Satu hal yang berbeda bahwa Group Investigasi mempunyai fokus utama untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap suatu objek atau topik khusus (Eggen & Kauchak, 1996: 304).
Berdasarkan kesamaan dan perbedaan masing-masing tipe pada pembelajaran kooperatif terlihat bahwa tipe STAD yang gampang dilaksanakan lantaran tipe ini masih akrab dengan pembelajaran konvensional yaitu pada awal acara guru masih menjelaskan materi dengan ceramah. Sesuai dengan materi pelajaran yang dipilih dilihat dari tujuan pembelajaran bahwa siswa bisa menemukan kembali teorema Pythagors dan sanggup memakai teorema pythagoras dalam kehidupan sehari-hari, maka pembelajaran yang cocok dalam penelitian ini ialah pembelajaran kooperatif tipe STAD.
C. Pembelajaran kooperatif tipe STAD
STAD merupakan salah satu tipe dalam pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan merupakan sebuah pendekatan yang cocok untuk guru yang gres mulai memakai pembelajaran kooperatif.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri dari empat komponen utama yaitu presentasi kelas, kerja kelompok, kuis (tes), dan penilaian kelompok.
Masing-masing komponen akan diuraikan sebagai berikut.
1. Presentasi kelas
Dalam STAD materi diawali dengan pengenalan. Pengenalan tersebut dengan memakai pengajaran pribadi (direct instruction) atau ceramah yang mendukung, dilakukan oleh guru dalam presentasi kelas. Pada ketika presentasi kelas siswa harus benar-benar memperhatikan, lantaran ini sanggup membantu mereka mengerjakan kuis dengan baik hasil kuis yang baik memilih nilai kelompok.
2. Kerja kelompok
Anggota kelompok terdiri dari 4-5 orang siswa yang heterogen baik dalam kemampuan, jenis kelamin dan ras atau etnik. Dalam membentuk kelompok berdasarkan (Slavin; 1995: 74-75) kemampuan mengikuti aturan-aturan sebagai berikut.
a. Membuat urutan peringkat dalam kelas.
b. Setelah diurutkan berdasarkan peringkat, siswa dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kategori I siswa dengan kemampuan tinggi merupakan 25% bab dari seluruh siswa dalam kelas. Kategori II siswa dengan kemampuan sedang merupakan 50% bab dari seluruh siswa dalam kelas. Kategori III siswa dengan kemampuan rendah merupakan 25% bab dari seluruh siswa dalam kelas.
c. Membagi anggota untuk tiap kelompok dengan memperhatikan kategori I,II, dan III secara merata.
Fungsi utama kelompok ialah memastikan bahwa setiap siswa belajar, dan lebih khusus ialah mempersiapkan anggota kelompok supaya sanggup menjawab kuis dengan baik. Termasuk berguru dalam kelompok ialah mendiskusikan masalah, membandingkan balasan dan meluruskan kalau ada anggota kelompok yang mengalami kesalahan konsep.
3. Kuis
Setelah beberapa periode presentasi kelas dan kerja kelompok, siswa mengerjakan kuis untuk mengetahui perkembangan individual. Pada ketika kuis ini siswa tidak diperkenalkan saling bantu. Dengan demikian diharapkan sanggup menggambarkan pengetahuan siswa secara individual.
4. Penilaian Kelompok
Penilaian kelompok berdasarkan skor peningkatan individu, sedangkan skor peningkatan tidak didasarkan pada skor mutlak siswa, tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor sebelumnya. Setiap siswa sanggup memberikan donasi poin maksimum pada kelompoknya dalam sistem skor kelompok. Siswa memperoleh skor untuk kelompoknya didasarkan pada skor kuis mereka melampaui skor dasar mereka. Perhitungan skor peningkatan, dan kriteria penghargaan kelompok memakai kriteria berikut.
Tabel 2.1 Perhitungan Nilai Peningkatan
Skor Tes Akhir | Nilai Peningkatan |
10 hinggga 1 poin dibawah skor awal Skor awal sampai 10 poin diatas skor awal Lebih dari 10 poin diatas skor awal Nilai sempurna | 0 10 20 30 30 |
Kelompok kooperatif sanggup memperoleh penghargaan atau hadiah kalau rata-rata skor memenuhi kriteria pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Tingkat Penghargaan Kelompok
Nilai rata-rata kelopok | Penghargaan |
5 < x < 15 15 < x < 25 25 < x < 30 | Baik Hebat Super |
Arends (1989: 408) syntax of cooperative learning. There are six major phases or steps in the cooprative learning model. Ada enam fase utama dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD. Fase tersebut terdiri dari (1) pelajaran dimulai dengan guru memberikan tujuan pelajaran dan memotivasi siswa supaya mereka siap untuk belajar, (2) menginformasikan bahan/materi yang akan dipelajari melalui buku pengangan siswa atau buku siswa, (3) mengelompokkan siswa kedalam kelompok berguru sesuai dengan kriteria pengelompokkan, (4) membimbing siswa /kelompok pada ketika mereka mengalami kesulitan pada ketika menuntaskan tugas, (5) salah satu anggota kelompok mempresentasikan hasil kelompok mereka untuk dievaluasi dan kuis, (6) pada bab selesai pelajaran diberikan penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok atau individu. Untuk jelasnya sanggup dilihat pada Tabel 2.3
Tabel 2.3 Fase-fase Pembelajaran Kooperatif tipe STAD
Fase | Tingkah laris Guru |
Fase-1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa Fase-2 Menyajikan informasi Fase-3 Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar Fase-4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar Fase-5 Evaluasi. Fase- 6 Memberikan penghargaan | Guru memberikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat materi bacaan. Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok berguru dan membantu setiap kelompok supaya melaksanakan transisi secara efisien. Guru membimbing kelompok-kelompok berguru pada ketika mereka mengerjakan kiprah mereka. Guru mengevaluasi hasil berguru perihal materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil berguru individu dan kelompok. |
Ibrahim, dkk. (2000: 10)
Perbedaan pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan pembelajaran tradisional atau konvensional sanggup dilihat pada tabel 2.4
Tabel 2.4 Perbedaan Pembelajaran Kooperatif dengan konvensional
Fase | Tingkah laris Guru pembelajaran kooperatif | Tingkah laris Guru konvensional |
1 2 3 4 5 6 | Guru memberikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat materi bacaan. Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok berguru dan membantu setiap kelompok supaya melaksanakan transisi secara efisien. Guru membimbing kelompok-kelompok berguru pada ketika mereka mengerjakan kiprah mereka. Guru mengevaluasi hasil berguru perihal materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil berguru individu dan kelompok. | Menyampaikan materi yang akan dipelajari Menyampaikan informasi secara lisan Tidak menjelaskan pada siswa bagaimana berkelompok. Terlalu banyak membimbing siswa kadang kala memberikan balasan soal Evaluasi bersifat individual Tidak ada penghargaan |
Sumber http://www.rijal09.com
EmoticonEmoticon