Saturday, January 26, 2019

√ Inilah Cuplikan Goresan Pena Ra. Kartini Yang Inspiratif Dan Bersejarah

RA. Kartini; Pribadi, Pemikiran dan Kehidupannya merupakan jejak usaha Emansipasi Wanita. Melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tanggal 2 Mei 1964 Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional serta mengakibatkan tanggal 21 April sebagai hari Kartini.

R.A. Kartini dianugerahi gelar tersebut bukan lantaran sebab. Akan tetapi lebih dikarenakan atas pemikirannya yang luar biasa. Yakni atas pemikirannya mengenai ketertindasan yang dialami kaum perempuan pada jaman dahulu dari aneka macam aspek. Ia banyak memberikan aliran tersebut dengan saling mengirim surat dengan teman-temannya yang berasal dari Belanda.
Berikut ini beberapa pecahan Surat R.A. Kartini dalam buku Door Duisternis Tot Licht (DDTL) atau dalam terjemahan bahasa Indonesianya Habis Gelap Terbitlah Terang:

 “… dan kami yakin seyakin-yakinnya bahwa air mata kami, yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu akan ikut menumbuhkan benih yang akan mekar menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan generasi-generasi mendatang.” (Surat R.A. Kartini kepada Ny. Abendanon 15 Juli 1902-DDTL, hal. 214)

 “… andaikata saya jatuh di tengah-tengah perjalananku, saya akan mati bahagia, alasannya bagaimanapun jalannya telah terbuka, dan saya telah ikut membantu membuka jalan itu yang menuju kepada kemerdekaan dan kebebasan Wanita Jawa (*baca: perempuan Indonesia)” - DDTL halaman 81

“Aku masih melihat senyumnya yang membuat raut mukanya bercahaya ketika ia berkata: Ah, ibu, saya mau hidup 100 tahun. Hidup ini terlalu pendek. Pekerjaan banyak sekali menunggu. Dan kini saya bahkan belum boleh memulai.” (R.A. Kartini kepada Nyonya Marie Ovink-Soer, yang sudah dianggap ibu oleh Kartini, sebagaimana ditulis Nyonya Marie dalam bukunya: Persoonlijke Herinnering an R.A. Kartini)

“Teman-teman saya di sini menyampaikan supaya sebaiknya kami tidur saja barang 100 tahun. Kalau kami bangun nanti, kami gres akan tiba pada jaman yang baik. Jawa (*baca: Indonesia) pada ketika itu sudah begitu majunya kami temukan, menyerupai apa yang selalu kami inginkan.” (Surat R.A. Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 6 November 1899)

Tentang Kartini sesudah Dipingit

“Gadis itu kini telah berusia 12,5 tahun. Waktu telah tiba baginya untuk mengucap selamat tinggal pada masa kanak-kanak. Dan meninggalkan dingklik sekolah, tempat dimana ia ingin terus tinggal. Meninggalkan sahabat-sahabat Eropah-nya, di tengah mana ia selalu ingin terus berada.
Ia tahu, sangat tahu bahkan, pintu sekolah yang memberinya kesenangan yang tak berkeputusan telah tertutup baginya. Berpisah dengan gurunya yang telah mengucap kata perpisahan yang begitu manis. Berpisah dengan teman-teman yang menjabat tangannya erat-erat dengan air mata berlinangan.
Dengan menangis-nangis ia memohon kepada ayahnya supaya diijinkan untuk turut bersama abang-abangnya meneruskan sekolah ke HBS di Semarang. Ia berjanji akan berguru sekuat tenaga supaya lumayan orang tuanya. Ia berlutut dan menatap wajah ayahnya. Dengan berdebar-debar ia menanti jawab ayahnya yang kemudian dengan penuh kasih sayang membelai rambutnya yang hitam.
‘Tidak!’ jawab ayahnya lirih dan tegas.
Ia terperanjat. Ia tahu apa arti ‘tidak’ dari ayahnya.
Ia berlari. Ia bersembunyi di kolong tempat tidur. Ia hanya ingin sendiri dengan kesedihannya.
Dan menangis tak berkeputusan.
Telah berlalu! Semuanya telah berlalu! Pintu sekolah telah tertutup di belakangnya dan rumah ayah menerimanya dengan penuh kasih sayang. Rumah itu besar. Halamannya pun luas sekali. Tetapi begitu tebal dan tinggi tembok yang mengelilinginya.”

Tentang Kartini Menyuarakan Nuraninya yang Merujit Terhimpit Kungkungan Tembok Pingitan

“Sahabat-sahabat ayah yang berbangsa Eropah - ini saya ketahui usang kemudian - telah dengan susah payah mencoba menghipnotis orang tuaku supaya mengubah keputusannya untuk memingit saya yang begitu muda dan begitu penuh gairah hidup ini. Tapi orang tuaku tetap teguh dengan keputusannya. Dan saya tetap dalam kurunganku. Empat tahun yang panjang telah kutempuh dalam kungkungan empat tembok yang tebal tanpa sedikit pun melihat dunia luar. Bagaimana saya sanggup melaluinya, saya tak tahu lagi. Aku hanya tahu bahwa itu MENGERIKAN.”

“Ketahuilah bahwa adat negeri kami melarang keras gadis2 keluar rumah. Ketika saya berusia 12 tahun kemudian saya ditahan di rumah; saya mesti masuk tutupan, saya dikurung di dalam rumah seorang diri sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh keluar ke dunia itu lagi bila tiada serta dengan seorang suami, seorang laki-laki yang absurd sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang bau tanah kami untuk kami, dikawinkan dengan kami, sebetulnya tiada setahu kami.”  (Surat Kartini kepada Zeehandelaar, 25 Mei 1899)

“Jalan kehidupan gadis Jawa itu sudah dibatasi dan diatur berdasarkan pola tertentu. Kami dilarang mempunyai cita-cita. Satu-satunya impian yang boleh kami kandung ialah, hari ini atau besok dijadikan istri yang kesekian dari seorang pria. Saya tantang siapa yang sanggup membantah ini. Dalam masyarakat Jawa persetujuan pihak perempuan tidak perlu. Ia juga tidak perlu hadir pada upacara komitmen nikah. Ayahku contohnya sanggup saja hari ini memberi tahu padaku: Kau sudah kawin dengan si anu. Lalu saya harus ikut saja dengan suamiku. Atau saya juga sanggup menolak, tetapi itu malahan memberi hak kepada suamiku untuk mengikat saya seumur hidup tanpa sesuatu kewajiban lagi terhadap aku. Aku akan tetap istrinya, juga jikalau saya tidak mau ikut. Jika ia tidak mau menceraikan aku, saya terikat kepadanya seumur hidup. Sedang ia sendiri bebas untuk berbuat apa saja terhadap aku. Ia boleh mengambil beberapa istri lagi jikalau ia mau tanpa menanyakan pendapatku. Dapatkah keadaan menyerupai ini dipertahankan, Stella?” (surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 6 November 1899)

“Mengapa kami ditindas? Itu membuat kami memberontak. Mengapa kami harus mundur? Mengapa sayap kami harus dipotong? Tak lain lantaran tuduhan dan fitnah orang-orang kerdil yang berpandangan picik. Untuk memuaskan orang-orang macam itulah kami harus melepaskan impian kami. Andaikan betul-betul perlu, benar-benar tidak sanggup dielakkan, kami akan tunduk. Namun kenyataannya tidak demikian. Segala-galanya berkisar pada pendapat umum. Semua harus dikorbankan untuk itu. Dikatakan: Orang akan bilang ini atau bilang itu, kalau kami lakukan apa yang kami lakukan dengan seluruh jiwa kami. Dan siapakah orang-orang itu? Dan untuk orang-orang macam itu kami harus menekan keinginan kami, harus membunuh impian kami, dan mundur kembali ke alam gelap.” (Kartini, 1901)

“Lalu akan saya robohkan rintangan-rintangan yang dengan kurang pintar telah dibangun untuk memisahkan kedua jenis. Saya yakin, kalau ini sudah terlaksana, akan banyak manfaatnya, terutama untuk pria. Saya tidak percaya bahwa laki-laki yang berpendidikan dan mempunyai sopan santun akan sengaja menghindari pergaulan dengan wanita-wanita yang berpendidikan dan berpandangan setaraf dengan mereka…”

Tentang Ibu Pertiwi

Dalam kebudayaan kita sering disebut-sebut Ibu Pertiwi. Bagi saya Ibu Pertiwi bukanlah suatu dewi. Tetapi apabila kita hendak melambangkan sumber kekuatan dari perlambang itu, marilah kita memandang sumber-sumber yang nyata, yang kongkrit, dalam diri beratus-ratus, beribu-ribu ibu, yang dengan penuh ketekunan mengasuh, menjaga, dan memungkinkan kita menawarkan darma bakti kepada nusa dan bangsa, kepada tanah air yang kita cintai bersama Ibuku berlalu sesudah melakukan sumbangsihnya hingga sudah lanjut umurnya. Berlalu dengan mewariskan kemesraan dan kecintaan. Berlalu dengan meninggalkan pesan.

Kita akan meninggalkan tempat ini mungkin dengan aksesori tekad untuk menghargai ibu-ibu yang masih dan yang akan melakukan panggilan hidupnya. Mudah-mudahan hal ini merupakan sumbangsih yang kecil dari keluarga kami untuk kekuatan, persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, yang sama-sama kita tegakkan dan sama-sama kita cintai.

Kami banggakan kesederhanaan Ibu, yang tetap berhasil membuat tazim kami dengan cara ia sendiri, sehingga dengan keyakinan kami masing-masing yang ia selalu hormati, kami mempunyai keleluasaan untuk berbakti. Inilah kekuatan dan kekayaan yang kiranya subur di tanah air kita yang sama-sama kita bina dan jaga.

Kesederhanaan saya tonjolkan, lantaran pesan yang sanggup diambil ialah: Dengan kesempatan dan perlengkapan kita yang lebih banyak daripada yang dimiliki Ibu, maka diperlukan dari kita semua peningkatan dari apa yang dicapai oleh beliau.” (R.A. Kartini)

Tentang Peranan Wanita sebagai Pendidik

“Siapakah yang akan menyangkal bahwa perempuan memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral pada masyarakat. Dialah orang yang sangat sempurna pada tempatnya. Ia sanggup menyumbang banyak (atau boleh dikatakan terbanyak) untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendirilah yang menawarkan kiprah itu padanya.

Sebagai seorang ibu, perempuan merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam pangkuannyalah seorang anak pertama-tama berguru merasa, berpikir dan berbicara, dan dalam banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai arti yang besar bagi seluruh hidup anak…”

“Tangan ibulah yang sanggup meletakkan dalam hati sanubari insan unsur pertama kebaikan atau kejahatan, yang nantinya akan sangat berarti dan besar lengan berkuasa pada kehidupan selanjutnya. Tidak begitu saja dikatakan bahwa kebaikan ataupun kejahatan itu diminum bersama susu ibu. Dan bagaimanakah ibu Jawa sanggup mendidik anak kalau ia sendiri tidak berpendidikan?”

“Hanya sekolah saja tidak sanggup memajukan masyarakat. Lingkungan keluarga (orang tua) harus membantu juga. Malahan lebih-lebih dari lingkungan keluargalah yang seharusnya tiba kekuatan mendidik. Ingatlah! Keluarga (orang tua) sanggup menawarkan pengaruhnya siang-malam, sedang sekolah hanya beberapa jam saja…”

“Binalah mereka (putri2 bangsawan) menjadi ibu2 yang pandai, cakap dan sopan. Mereka akan ulet membuatkan kebudayaan di kalangan rakyat. Sadar akan panggilan moral dalam masyarakat mereka akan menjadi ibu2 yang penuh kasih sayang, pendidik yang baik dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat yang memerlukan proteksi dalam segala bidang.”  (Berikanlah Pendidikan Kepada Bangsa Jawa *baca: Indonesia - Nota R.A. Kartini tahun 1903 yang dipublikasikan melalui aneka macam surat kabar.)

Tentang Emansipasi

“Akan tiba juga kiranya keadaan gres dalam dunia bumiputra, kalau bukan oleh lantaran kami, tentu oleh orang lain, kemerdekaan perempuan telah terbayang-bayang di udara, sudah ditakdirkan…” (Surat R.A. Kartini kepada temannya Zeehandelaar, 9 Januari 1901)

“Bukan hanya bunyi dari luar saja, bunyi yang tiba dari Eropah yang beradab, yang hidup kembali itu, yang tiba masuk ke dalam hati saya, yang jadi alasannya saya ingin supaya keadaan yang kini ini berubah. Pada masa saya masih kanak-kanak, ketika kata EMANSIPATIE belum ada bunyinya, belum ada artinya bagi indera pendengaran saya, serta karangan dan kitab ihwal pasal itu masih jauh dari jangkauan saya, telah hidup dalam hati saya suatu keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri. Keadaan sekeliling saya memilukan hati, menerbitkan air mata lantaran sedih yang tidak terkatakan, keadaan itulah yang membangunkan keinginan hati saya itu. Dan lantaran bunyi yang tiba dari luar yang tiada putus-putusnya hingga kepada saya, keras makin keras jua, maka bibit yang ada dalam hati saya, yaitu perasaan yang mencicipi murung nestapa orang lain yang amat saya kasihi, tumbuhlah, hingga berurat berakar, hidup subur serta dengan rindangnya.” (Surat R.A. Kartini kepada temannya Zeehandelaar, 25 Mei 1899)

Tentang Pergolakan Batin dan Semangat

“Siapa yang melihat atau mengira dahsyatnya pergolakan yang menggelora dalam batin gadis berilmu balig cukup akal ini? Tidak ada seorangpun yang sanggup menduganya. Ia menderita seorang diri. Tidak ada orang bau tanah atau saudara yang mengira apa yang bergolak dalam hatinya, dan memberi simpatinya kepadanya. Dimanakah ia akan sanggup meletakkan kepalanya yang capek ini dan melepaskan tangis kesedihannya?”

“Memang suatu pekerjaan yang seperti tak mungkin sanggup dikerjakan! Tetapi siapa tidak berani, takkan menang! Itulah semboyanku. Maka ayo maju! Bertekad saja untuk mencoba semua! Siapa nekad, mendapat tiga perempat dari dunia!”

Tentang Para Pelopor Zaman

“Pada jaman manapun dan dalam bidang apapun, kaum pencetus selalu mengalami rintangan-rintangan hebat. Itu kami sudah tahu. Tetapi betapa nikmatnya mempunyai suatu cita-cita. Suatu panggilan. Katakanlah kami ini orang-orang gila… Atau apa saja… Tetapi kami tidak sanggup berbuat lain. Kami tidak berhak untuk tinggal bodoh, bagaikan orang-orang yang tidak berarti. Keningratan membawa kewajiban.” (Kartini, awal 1900)

Tentang Cita-cita Menjadi Guru

“Karena saya yakin sedalam-dalamnya bahwa perempuan sanggup memberi imbas besar kepada masyarakat, maka tidak ada yang lebih saya inginkan daripada menjadi guru, supaya kelak sanggup mendidik gadis-gadis dari para pejabat tinggi kita. O, saya ingin sekali menuntun belum dewasa itu, membentuk tabiat mereka, mengembangkan pikiran mereka yang muda, membina mereka menjadi wanita-wanita masa depan, supaya mereka kelak sanggup meneruskan segala yang baik itu. Masyarakat kita niscaya senang kalau wanita-wanitanya mendapat pendidikan yang baik… Di dunia perempuan kita terdapat banyak derita yang pedih. Penderitaan yang telah saya saksikan waktu saya masih kanak-kanak itulah yang membangkitkan keinginan saya membawa arus yang tidak mau membenarkan saja keadaan-keadaan yang kolot.” (Kartini, 1901)

“Kami sekali-kali tidak ingin membuat murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropah atau orang Jawa-Eropah. Dengan pendidikan bebas kami bermaksud pertama-tama membuat orang Jawa menjadi orang Jawa sejati, yang menyala-nyala dengan cinta dan semangat terhadap nusa bangsanya, terbuka dengan mata dan hati terhadap keindahan serta kebutuhannya. Kami hendak menawarkan kepada mereka segala yang baik dari kebudayaan Eropah, bukan untuk mendesak atau mengganti keindahan mereka sendiri, melainkan untuk menyempurnakannya.”

Tentang Ningrat dan Kebangsawanan

“Sebelum kamu menanyakan, saya tidak pernah memikirkan bahwa aku, menyerupai katamu, ialah keturunan ningrat tinggi. Apakah saya seorang putri raja? Bukan. Raja terakhir yang menurunkan kami, mungkin sudah 25 turunan yang lalu. Ibuku masih berafiliasi bersahabat dengan raja-raja Madura. Buyut ia masih memerintah sebagai raja dan neneknya ialah puteri yang berhak menggantikan raja. Bagiku hanya ada dua jenis kebangsawanan: kebangsawanan jiwa (akal) dan kebangsawanan budi (perasaan). Menurut perasaanku tidak ada yang lebih gila dan menggelikan daripada orang-orang yang membanggakan keturunannya. apakah sebetulnya jasanya dilahirkan sebagai seorang bangsawan? Dengan otakku yang kecil ini saya tidak sanggup menangkapnya…”

“Apa gunanya kaum ningrat yang dijunjung tinggi itu bagi rakyat, kalau mereka dipergunakan oleh Pemerintah untuk memerintah rakyat? Sampai kini tidak ada, atau sangat sedikit, yang menguntungkan bagi rakyat. Lebih banyak merugikan - kalau kaum ningrat menyalahgunakan kekuasaannya. Ini tidak jarang terjadi. Keadaan demikian itu harus berubah. Kaum ningrat harus pantas untuk sanggup dijadikan pujaan rakyat; sehingga akan banyak mafaatnya untuk rakyat. Pemerintah harus membawa kaum ningrat ke arah itu. Dan satu-satunya jalan ialah memberi PENDIDIKAN yang mantap, yang tidak semata-mata didasarkan pada pengembangan intelektuil, melainkan terutama pada training watak… Banyak sekali pola yang membuktikan bahwa tingkat kecerdasan otak yang tinggi sama sekali bukan jaminan akan adanya keagungan moral.”

Tentang Kepedulian Kartini pada Rakyatnya

“Tak setetes pun hujan turun dalam tiga ahad ini. Panasnya luar biasa terik. Kami tak pernah mengalami sepanas ini. Bahkan tidak pada demam isu kemarau yang terkering pun.

Ayah hingga putus asa. Bibit pada di sawah telah menyoklat. O, kasihan! Kasihan rakyatku! Selama ini rakyat di kawasan kami selalu kecukupan pangan sehingga mereka tidak pernah mengenal adanya peristiwa kelaparan. Akan tetapi apa yang belum terjadi sanggup saja terjadi. Seperti pada kekeringan di demam isu hujan ini yang sudah merupakan membuktikan buruk. Apa yang akan terjadi kalau kekeringan dan panas yang terik ini berlangsung terus? Sejak beberapa hari ini tiap pagi betiup angin yang biasanya gres tiba di bulan Mei. Pancaroba-kah ini? Atau demam isu kemarau telah bermula?
Ngeri! Kami semua tak berdaya. Betapa sedihnya melihat bibit yang ditanam menyoklat dan layu. Dan kami tak sanggup berbuat apa-apa. Manusia tak sanggup membuat air.
Kirimkan pada kami masbodoh dari negerimu. Nyonya boleh mengambil panas dari sini seberapa Nyonya mau.”
 (Surat Kartini kepada Nyonya Nellie van Kool)

“Karena demam isu panas yang berkepanjangan ini, hampir seluruh panen gagal di kawasan ini. Daerah sekitar Grobogan paling menderita di mana peristiwa kelaparan mulai merajalela. Di Demak, di mana 26 ribu pundak sawah gagal dipanen, serangan kolera telah pula mengganas. Sementara orang-orang dengan cemas menunggu datangnya demam isu hujan yang akan membanjiri kawasan ini. Sungguh tanah yang malang! Pada demam isu kemarau ia gersang dan pada demam isu hujan ia kebanjiran.” (Surat Kartini kepada Stella)

Tentang Kebanggaan Kartini atas Kerajinan dan Kesenian Rakyatnya

“Hura! Untuk kesenian dan kerajinan rakyat kami! Hari depannya sudah niscaya akan cemerlang. Aku sulit untuk menyampaikan betapa girang, terima kasih dan beruntungnya kami di sini.

Kami sangat gembira atas rakyat kami. Mereka yang kurang dikenal dan lantaran itu juga kurang dihargai. Hari depan kaum seniman Jepara kini sudah terjamin. Tuan Zimmerman tak habis-habisnya memuji hasil karya para seniman rakyat berkulit coklat yang sering dihina ini. Para pengrajin kami di sini gres saja mendapat pesanan besar dari Oost en West untuk perayaan hari Sinterklaas.

Kami menikmati anugerah ini. Kini seniman-seniman yang cakap itu sanggup menuangkan gagasan-gagasan mereka yang indah. Gagasan yang puitis pun sanggup terjelma dalam bentuk-bentuk yang indah, garis-garis yang ramping, mengombak dan melenggok dalam warna-warna cemerlang.” (Surat Kartini kepada E.C. Abendanon, anak dari Mr. J.H. Abendanon)

Tentang Kecintaan Kartini Menjadi Bagian dari Rakyatnya

“Untuk pertama kali namaku disebut di muka umum bersama rakyatku. Di situlah tempat namaku seterusnya. Aku gembira Stella, bahwa namaku disebut senafas dengan rakyatku!”


“… Banyak sekali kejadian pada waktu akhir2 ini memperlihatkan bahwa insan hanya menimbang2. Tuhanlah yang kesudahannya menetapkan. Semua itu merupakan peringatan kepada kita semua yang berpandangan picik supaya kita jangan sombong: jangan mengira bahwa kita mempunyai ‘kemauan sendiri’. ada suatu Kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih besar daripada semua kekuasaan di dunia. Ada Kemauan yang lebih kuat dan lebih kuasa daipada semua kemauan insan dijadikan satu. Celakalah orang yang membusungkan dadanya dan mengira bahwa kemauannya ialah sekuat baja! Hanya ada satu kemauan yang boleh dan harus kita miliki, yaitu kemauan untuk mengabdi kepada Kebaikan!… Sekarang kami memegang erat tangan Dia. Dia-lah yang mengarahkan kami, menilai dengan penuh kasih sayang… Di situ GELAP MENJADI TERANG, taufan menjadi angin tenang. Sebetulnya semua di sekitar kami masih sama saja, tetapi bagi kami telah tidak sama lagi. Telah terjadi perubahan dai dalam kami yang menyinari segala2nya dengan cahaya-Nya. Kami merasa tenang dan tenang dalam jiwa kami… Kami selalu memohon supaya diberi kekuatan untuk memikul baik murung maupun suka. Terutama dalam suka, alasannya dalam bersuka ria terdapat godaan… Kami tak sanggup menyampaikan betapa besar terima kasih kami bahwa kami telah berkenalan dengan Nyonya van Kol…”

“… Tahukah kamu siapa yang membuka tabir di muka mata kami? Ialah: Nellie van Kol. Tetapi yang sekarg menuntun kami untuk menemukan Tuhan ialah Ibu. Sungguh kurang pintar kami ini. Sepanjang hidup kami mempunyai mutiara segunung di samping kami, tetapi kami tidak melihatnya, tidak mengetahuinya. Sungguh, betul2 kurang pintar dan sok tahu kami ini. Dan kamu kini tak sanggup membayangkan betapa senang Ibu dan para sesepuh lainnya, melihat perubahaan hidup kejiwaan kami. Tak satu kata celaan keluar dari lisan mereka. Hanya: ‘Tuhan gres kini berkenan membuka hati kalian. Bersyukurlah!”.  (Surat Kartini kepada anak Abendanon)

Tentang Angan-angan Kartini

“… Semoga melalui banyak sekali penderitaan dan kesedihan, kami berhasil membuat sesuatu. Bagi rakyat kami. Terutama yang bermanfaat bagi kaum perempuan kami - bagaimanapun kecilnya. Andaikata ini pun tidak terlaksana, semoga penderitaan dan usaha kami berhasil menarik perhatian khalayak ramai terhadap keadaan-keadaan yang perlu diperbaiki. Dan andaikata itu pun tidak sanggup kami capai, wahai, setidaknya kami telah berusaha berbuat baik, dan kami yakin benar bahwa air mata kami, yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu, akan ikut menumbuhkan benih yang kelak akan mekar menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan generasi-generasi mendatang.”

Demikian sajian gosip mengenai Inilah Cuplikan Tulisan RA. Kartini yang Inspiratif dan Bersejarah yang sanggup disajikan pada kesempatan ini.

Semoga Bermanfaat !!!

Sumber http://www.tozsugianto.com/


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)