Thursday, November 7, 2019

√ Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Pemikiran Pendidikan Islam Dan Hubungannya Dengan Kurikulum Serta Anak Didik


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Tradisi pemikiran Barat cukup umur ini merupakan paradigm bagi pengembangan budaya barat dengan implikasi yang sangat luas dan mendalam di semua segi dari seluruh lini kehidupan. Memahami tradisi pemikiran Barat sebagaimana tercermin dalam pandangan filsafatnya merupakan kearifan tersendiri, lantaran kita akan sanggup melacak segi-segi positifnya yang layak kita tiru dan sisi-sisi negatifnya untuk tidak kita ulangi.
Sejalan dinamika dan pasang surut sejarah umat Islam di Indonesia, sejarah pendidikan Islam pun mengalami dinamika dan pasang surut pula. Pendidikan Islam di Indonesia dihadapkan pada problem rumusan tujuan yang kurang sejalan dengan tuntutan masyarakat, hingga problem guru, metode, kurikulum dan lain sebagainya. Tujuan pendidikan kini ini tidak benar-benar diarahkan pada tujuan positif, melainkan hanya diorientasikan pada tujuan alam abadi semata di satu sisi, dan di sisi lain sebagian kecil mengejar orientasi kemanusiaan tapi kehilangan tujuan yang bersifat akhirat, sehingga cenderung defensive, yaitu hanya sekedar menyelamatkan kaum muslimin dari pencemaran dan pengerusakan yang ditimbulkan dampak gagasan Barat yang tiba melalui disiplin ilmu, terutama oleh gagasan Barat yang mengancam akan meledakkan standar-standar moralitas moralitas tradisi awal Islam.
Meskipun telah dilakukan ikhtiar-ikhtiar pembaruan dalam pendidikan Islam, namun dunia pendidikan Islam di Indonesia masih saja dihadapkan pada problem adanya pemikiran Barat yang mempengaruhinya. Ikhtiar memperbarui pendidikan Islam sepertinya perlu dilacak pada akar permasalahannya yang bertumpu pada filsafat. Filsafat pendidikan Islam, dalam pandangannya wacana insan yaitu makhluk antroposentris dan teosentris. Karenanya pembaharuan paradigm pendidikan Islam harus berorientasi pada tujuan pembentukkan pribadi yang mempunyai keterpaduan sikap antroposentris dan teosentris.
Pembaharuan pendidikan Islam khususnya pada aspek filosofisnya, harus berpijak dari isi fatwa agama yang dikandung dalam Al-quran dan Sunnah, serta pemikiran-pemikiran klasik yang masih relevansi dengan masa kini baik dari Islam sendiri maupun kalangan non Islam. serta mengupayakan prediksi-prediksi ke depan wacana suatu hal yang harus dilakukan pendidikan Islam dalam ikhtiar mengadakan rekonstruksi sosial, yaitu menuju kebudayaan dan peradaban yang berwawasan dan berdasarkan dengan nilai-nilai Islam.
Pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia dalam penelitian ini pertama kali akan memperhatikan pada orientasi pemurnian kembali falsafah pendidikan Islam di Indonesia. Kemudian dipakai analisis sejarah untuk membuat fomulasi pendidikan Islam yang sesuai dengan akar-akar budaya dan perubahan sosial dalam masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana dasar pemikiran islam wacana teosentris, antroposentris dan sosiosentris?
2.      Apa yang dimaksud dengan aliran filsafat pendidikan aliran nativisme, empirisme dan konvergensi?
3.      Bagaimana perspektif islam terhadap aliran nativisme, empirisme dan konvergensi?
4.      Apa yang dimaksud dengan ideologi pendidikan?
5.      apa yang dimaksud dengan aliran essensialisme, perensialisme, progressivisme dan rekonstruksionisme serta hubungannya dengan kurikulum dan anak didik?

C.    Tujuan
1.        Mengetahui pemikiran dasar islam mengenai teosentris, antroposentris dan sosiosentris.
2.        Mampu menjelaskan apa yang dimaksud dengan aliran filsafat pendidikan nativisme, empirisme, dan konvergensi.
3.        Mengetahui bagaimana perspektif Islam terhadap aliran nativisme, empirisme dan konvergensi.
4.        Mengetahui ideologi pendidikan.
5.        Mengetahui apa aliran essensialisme, perenialisme, progresivisme dan rekonstruksionisme serta hubungannya dengan kurikulum dan anak didik.

D.    Metode dan Penulisan Makalah
Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini dalam studi pustaka (memperoleh gosip dari buku dan internet).


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Dasar Pemikiran Pendidikan Islam wacana Teosentris dan Antroposentris.
1.      Teosentris
Teosentris berasal dar bahasa Yunani, theos, yang mempunyai arti Tuhan, dan bahasa Ingris, center, yang berarti pusat. Pada konteks ini, teosentris mengacu pada pandangan bahwa sistem keyakinan dan nilai terkait Ketuhanan secara moralitas lebih tinggi dibandingkan sistem lainnya. Teosentris yaitu sebuah pemikiran dimana semua proses dalam kehidupan di muka bumi ini akan kembali kepada Tuhan.[1]

Dalam Al-Quran juga disebutkan dalam surat Adh-Dzariat ayat 56 :
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
“Dan saya tidak membuat jin dan insan melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Dikatakan dengan terang bahwa Allah SWT. membuat insan untuk mengabdi atau beribadah kepada-Nya, yang berarti seluruh insan ini semua berpusat kepada sang pencipta yakni Allah SWT.
Namun Aliran teosentris menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat bisa tiba sewaktu-waktu dari Tuhan. Tuhan yaitu pencipta segala sesuatu yang ada di dunia ini, Ia dengan segala kekuasaan-Nya, bisa berbuat apa saja secara mutlak Sewaktu-waktu ia sanggup muncul pada masyarakat kosmos. Dan insan yaitu makhluk ciptaan-Nya sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya.[2]
2.      Antroposentris[3]
Antroposentris yaitu teori etika lingkungan yang memandang insan sebagai sentra dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara pribadi atau tidak langung. Nilai tertinggi yaitu insan dan kepentingannya.
Hanya insan yang mempunyai nilai dan menerima perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan menerima nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alamti dak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Munculnya teori Antroposentris, maka berkembanglah teori yang berkaitan dengan Antroposentris. Diantaranya :
a.       teori Etika Egosentris
b.      teori Etika Homosentris
c.       Teori Etika Ekosentris
a.      Etika Egosentris
Etika egosentris yaitu etaika yang berdasarkan ego (diri). Focus etika ini yaitu suatu keharusan untuk melakkukan tindakan yang baik bagi diri. Menurut Sony Keraf (1990: 31) etika egosentris memempercayai bahwa tindakan setiap orang intinya bertujuan mengejar kepentingannya sendiri dan demi laba dan kemajuannya pribadi. Dengan demikian insan merupakan pelaku rasional dalam mengusahakan hidup dengan memanfaatkan alam yang berdasarkan pada kenyataan.
b.      Etika Homosentris
Etika homosentris bertolak belakang dengan etika egosentris dalam arti kalau egosentris lebih menekankan pada individu, maka etika homosentris lebih menitik beratkan pada masyarakat. Model-model yang dijadikan dasarnya yaitu kepentingan sosial dengan memperhatikan kekerabatan antara pelaku dengan lingkungan yang bisa melindungi sebagian besarhajatmasyarakat.
c. Etika Ekosentris
Etika ekosentris merupakan aliran etika yang ideal sebagai pendekatan dalam mengatasikrisis ekologi cukup umur ini. Hal ini disebabkan lantaran etika ekosentris lebih berpihak pada lingkungan secara keseluruhan, baik biotik maupun abiotik. Hal terpenting dalam pelestarian lingkungan berdasarkan etika ekosentris yaitu tetap bertahannya segala yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen ekosistem yang sehat.

Manusia antroposentris sangat dinamis lantaran menganggap Manusia yang menentukan kebaikan akan memperileh laba melimpah (surga), sedangkan insan yang menentukan kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula (neraka). Manusia yang berpandangan antroposentris sebagai sufi yaitu mereka yang berpandangan mistis dan statis.[4].
Teosentris yaitu sebuah pemikiran dimana semua proses dalam kehidupan di muka bumi ini akan kembali kepada Tuhan. Antroposentris yaitu teori etika lingkungan yang  memandang insan sebagai sentra dari sistem alam semesta. Pada hakikatnya insan itu bersifat antroposentris, insan sebagai khalifah (pemimpin) yang mempunyai kehendak bebas untuk mengatur tatanan lingkungan dengan batasan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh tuhan. Sebab segala perlakuan akan mendapatkan ganjarannya masing-masing, baik itu perlakuan baik maupun  perlakuan buruk.
Jadi sistem yang ada di dunia ini bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada insan (bumi), dari insan kepada alam, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas dan pada hasilnya akan kembali lagi kepada Tuhan.

B.     Aliran Filsafat Pendidikan Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi
Hubungan antara insan dengan pendidikan diawali dari pertanyaan: “apakah insan sanggup dididik? Ataukah insan sanggup bertumbuh dan berkembang sendiri menjadi cukup umur tanpa perlu dididik? Kemudian perkembangan insan bergantung kepada pembawaan ataukah kepada lingkungan? Dengan kata lain perkembangan anak dari masa muda hingga menjadi cukup umur dipengaruhi oleh keturunan (pembawaan) ataukah pengaruh-pengaruh lingkungan?”
Banyaknya pertanyaan tersebut semenjak usang telah menjadi materi kajian para hebat didik barat, yaitu semenjak zaman Yunani kuno. Pendapat yang umumnya dikenal dalam pendidikan Barat mengenai insan dengan pendidikan terangkum dalam tiga aliran filsafat pendidikan. Aliran-aliran tersebut yaitu nativisme, empirisme, dan konvergensi.
a.       Aliran Nativisme
Aliran ini beropini bahwa perkembangan insan itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa insan semenjak lahir, pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Menurut nativisme, pendidikan tidak sanggup mengubah sifat-sifat pembawaan. Jadi, apabila benar pendapat tersebut maka pendidikan tidak perlu. Dalam pendidikan hal ini disebut pesimisme pedagogis.
b.      Aliran Empirisme
Aliran ini beropini bahwa dalam perkembangan anak menjadi insan cukup umur ditentukan oleh lingkungannya atau oleh pendidikan dan pengalaman yang diterimanya semenjak kecil. Manusia-manusia sanggup dididik menjadi apa saja ke arah yang baik maupun yang jelek berdasarkan kehendak lingkungan atau pendidiknya. Dalam pendidikan hal ini disebut optimisme pedagogis.
c.       Aliran Konvergensi
William Stern hebat jiwa asal Jerman beropini bahwa pembawaan dan lingkungan kedua-duanya menentukan perkembangan manusia. Namun benarkah kalau dikatakan “Saya yaitu hasil dari pembawaan saya dan lingkungan saya”? Hal ini menjadikan pemikiran seolah-olah insan merupakan hasil dari proses alam semata. Jika pembawaannya ini dan lingkungannya begitu, maka manusianya akan demikian; dan kalau pembawaannya itu dan lingkungannya begini, manusiannya akan lain lagi, dan sebagainya. Kalau begitu soalnya, tentunya akan lebih gampang lagi kiprah para pendidik, yaitu dengan mencari jalan untuk mengetahui pembawaan seseorang (kalau memang pembawaan itu sanggup diketahui dengan pasti dan segera), dan kemudian mengusahakan suatu lingkungan atau pendidikan yang baik dan sesuai.
Namun tidak hanya itu saja, kalau perkembangan insan ditentukan oleh pembawaan dan lingkungan semata apa bedanya insan dengan binatang? hewan merupakan hasil dari pembawaan dan lingkungannya. Binatang hanya terserah kepada pembawaan keturunannya dan pengaruh-pengaruh lingkungannya. Perkembangan pada hewan seluruhnya ditentukan oleh hukum-hukum alam.
Tetapi perkembangan insan bukan hanya hasil dari pembawaan dan lingkungan semata. Manusia tidak hanya diperkembangkan tetapi ia memperkembangkan dirinya sendiri. Manusia yaitu makhluk yang sanggup dan sanggup menentukan dan menentukan sesuatu yang berkaitan dengan dirinya dengan bebas. Karena itulah ia bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya, ia sanggup juga mengambil keputusan yang lain dari apa yang pernah diambilnya.[5]
Kohnstamm menambahkan dengan kemauan. Menurutnya kemampuan seseorang akan berjalan dengan baik dan sanggup dikembangkan secara maksimal apabila ada perpaduan antara faktor dasar, faktor asuh serta kesadaran dari individu itu sendiri untuk berbagi dirinya (motivasi intrinsik).
Ketiga aliran filsafat pendidikan Barat ini menampilkan dua pandangan yang berbeda wacana kekerabatan insan dan pendidikan. Pertama, berpandangan pesimis (nativisme), sedangkan aliran kedua mempunyai pandangan optimis (empiris, konvergensi). Tampaknya dalam perkembangan berikutnya pandangan optimisme lebih secara umum dikuasai lantaran insan memang hampir mustahil sanggup berkembang secara maksimal tanpa intervensi pihak luar, dan oleh alasannya itu insan memerlukan pendidikan.
Adapun filsafat pendidikan Islam meletakkan kekerabatan insan dengan pendidikan atas dasar prinsip penciptaan, peran, dan tanggung jawab. Dalam kaitan ini insan dilihat sebagai makhluk ciptaan Allah yang terikat oleh ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Penciptanya. Dengan demikian insan yaitu makhluk yang terikat oleh nilai-nilai Ilahiyat, yaitu tatanan nilai yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta.
Manusia pada hakikatnya diciptakan untuk mengemban tugas-tugas dedikasi kepada Penciptanya. Agar tugas-tugas dimaksud sanggup dilaksanakan dengan baik, maka Sang Pencipta telah menganugerahkan insan seperangkat potensi yang sanggup ditumbuhkembangkan. Potensi yang siap pakai tersebut dianugerahkan dalam bentuk kemampuan dasar, yang mungkin hanya berkembang secara optimal melalui bimbingan dan kode yang sejalan dengan petunjuk Sang Penciptanya.
Mengacu kepada prinsip penciptaan ini maka berdasarkan filsafat pendidikan Islam insan yaitu makhluk yang berpotensi dan mempunyai peluang untuk dididik. Pendidikan itu sendiri, intinya yaitu kegiatan sadar berupa bimbingan bagi penumbuh-kembangan potensi Ilahiyat, biar insan sanggup memerankan dirinya selaku pengabdi Allah secara sempurna guna dalam kadar yang optimal. Dengan demikian pendidikan merupakan kegiatan yang bertahap, terprogram, dan berkesinambungan.[6]
C.    Perspektif Islam Terhadap Aliran Nativisme, Empirisme, Konvergensi
Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansyaa digunakan dalam Al-Qur’an untuk memperlihatkan pengertian mencipta sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan contoh dasar (blue print) yang perlu penyempurnaan. Adapun kaitan antara fitrah serta perspektif Islam terhadap aliran nativisme, empirisme dan konvergensi yaitu sebagai berikut:
a.       Perspektif Islam terhadap aliran Nativisme
Fitrah yang disebut dalam QS. Ar-Rum: 30 “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Islam sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah membuat insan berdasarkan (fitrah) itu…” dan QS. Al-‘Araf: 172, mengandung implikasi kependidikan bahwa di dalam diri insan terdapat potensi dasar beragama yang benar dan lurus (al-din al-qayyim) yaitu agama Islam. Potensi dasar ini tidak sanggup diubah oleh siapapun atau lingkungan apapun, lantaran fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.
Berdasar interprestasi demikian, maka pendidikan Islam “bisa dikondisikan” berfaham nativisme, yaitu suatu faham yang menyatakan bahwa perkembangan insan dalam hidupnya secara mutlak ditentukan oleh potensi dasarnya.
Para hebat yang mengikuti aliran ini biasanya mempertahankan kebenaran konsepsi ini dengan memperlihatkan banyak sekali kesamaan atau kemiripan antara orang renta dengan anak-anaknya. Misalnya kalau ayahnya hebat musik maka kemungkinannya yaitu besar bahwa anaknya juga akan menjadi hebat musik; kalau ayahnya seorang pelukis, maka anaknya juga akan menjadi pelukis, kalau ayahnya spesialis fisika, maka anaknya juga menjadi hebat fisika, dan sebagainya. Hasil pendidikan tergantung pada pembawaan, Schopenhauer (filsuf Jerman (1788-1860) beropini bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh lantaran itu, hasil final pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa semenjak lahir.
Sebuah sabda Nabi SAW yang sanggup dijadikan sumber pandangan nativisme ibarat diatas adalah, “Setiap orang dilahirkan oleh ibunya atas dasar fitrah (potensi dasar untuk beragama), maka sehabis itu orang tuanya mendidik menjadi beragama Yahudi, dan Nasrani, dan Majusi; kalau orang renta keduanya beraga Islam, maka anaknya menjadi muslim (pula)”. (H.R. Muslim dalam kitab Shahih, Juz. II, p. 459).
b.      Perspektif Islam terhadap aliran Empirisme
Dalil-dalil yang sanggup diinterpretasikan untuk mengartikan “fitrah” yang mengandung kecenderungan yang netral ialah antara lain sebagai berikut: QS.An-Nahl:78 “Dan Allah mengeluarkan kau dari perut ibumu tidaklah kau mengetahui sesuatu apapun dan Ia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani biar kau bersyukur.” Firman Allah di atas menjadi petunjuk bahwa kita harus melaksanakan perjuangan pendidikan, alasannya dengan potensi pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, insan bisa dididik.
Adapun dalam QS.Al-‘Alaq:3-5 Allah berfirman: “Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan insan apa yang tidak diketahuinya.” Ayat tersebut juga memperlihatkan bahwa insan tanpa melalui belajar, pasti tidak akan mengetahui segala sesuatu yang ia butuhkan bagi kelangsungan hidupnya di dunia dan akhirat. Pengetahuan insan akan berkembang kalau diperoleh melalui proses berguru mengajar yang diawali dengan kemampuan menulis dengan pena dan membaca dalam arti luas, yaitu tidak hanya dengan membaca goresan pena melainkan juga membaca segala yang tersirat di dalam ciptaan Allah.
Fitrah sebagai faktor pembawa semenjak lahir manusia, sanggup dipengaruhi oleh lingkungan luar dirinya, bahkan ia tak akan sanggup berkembang sama sekali bila tanpa adanya imbas dari lingkungan itu. Sedang lingkungan itu sendiri juga sanggup diubah bila tidak sesuai dengan impian manusia. Dari interpretasi wacana fitrah di atas sanggup disimpulkan bahwa meskipun fitrah itu sanggup dipengaruhi oleh lingkungan, namun kondisi fitrah tersebut tidaklah netral terhadap imbas dari luar. Potensi yang terkandung di dalamnya secara dinamis memperlihatkan reaksi atau responsi (jawaban) terhadap imbas tersebut.
Jika kita baiklah dengan paham John Lock yang menyampaikan bahwa jiwa anak semenjak lahir berada dalam keadaan suci higienis bagaikan meja lilin (tabula rasa) yang secara pasif mendapatkan imbas dari lingkungan eksternal, berarti kita tidak menghargai benih-benih potensial insan yang sanggup ditumbuh-kembangkan melalui imbas pendidikan. Sikap demikian akan membawa pikiran kita ke arah paham Empirisme dalam pendidikan yaitu paham yang memandang bahwa imbas lingkungan eksternal termasuk pendidikan merupakan satu-satunya pembentuk dan penentu perkembangan hidup manusia.
c.       Perspektif Islam terhadap aliran Konvergensi
Konsepsi Al-Qur’an yang memperlihatkan bahwa setiap insan diberi kecenderungan nafsu untuk menjadikannya kafir yang ingkar terhadap Tuhan-Nya, yaitu firman Allah dalam QS.Asy-Syams:7–10. Firman tersebut sanggup dijadikan sumber pandangan bahwa perjuangan mempengaruhi jiwa insan melalui pendidikan sanggup berperan positif untuk mengarahkan perkembangannya kepada jalan kebenaran yaitu Islam. Dengan tanpa melalui perjuangan pendidikan, insan akan terjerumus ke jalan yang salah atau sesat yaitu menjadi kafir. Firman Allah berikut ini memperlihatkan bahwa insan diberi kebebasan untuk menentukan antara dua jalan, yang benar atau yang sesat. Jalan yang benar terbentang terang dan jalan sesat juga terbentang jelas. QS. Al-Balad:10 “Dan Kami telah memperlihatkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan)”.  Serta QS.Al-Insan: 3 “Sesunguhnya Aku telah menunjukkannya jalan itu; (tapi) ada kalanya ia mensyukurinya (mengikuti jalan itu) dan ada kalanya ia mengkufurinya (mengingkarinya)”.
Ayat di atas kita sanggup menginterpretasikan bahwa dalam fitrah-Nya, insan diberi kemampuan untuk menentukan jalan yang benar dari yang salah. Kemampuan menentukan tersebut, mendapatkan pengarahan dalam proses kependidikan yang mempengaruhinya.
Jelaslah bahwa faktor kemampuan menentukan yang terdapat di dalam fitrah (human nature) insan berpusat pada kemampuan berfikir sehat (berakal sehat), lantaran nalar sehat bisa membedakan hal-hal yang benar dari yang salah. Sedangkan seseorang yang menjatuhkan pilihan yang benar secara sempurna hanyalah orang yang berpendidikan sehat. Dengan demikian berfikir benar dan sehat yaitu merupakan kemampuan fitrah yang sanggup dikembangkan melalui pendidikan.
William Stern beropini bahwa hasil pendidikan itu tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seolah-olah dua garis yang menuju kesatu titik pertemuan sebagai berikut: a) Pembawaan, b) Lingkungan, c) Hasil pendidikan / perkembangan. Karena itu teori W. Stern disebut teori konvergensi (konvergen artinya memusat kesatu titik). Kaprikornus berdasarkan teori konvergensi:
a)      Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan.
b)      Pendidikan diartikan sebagai proteksi yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk berbagi potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi yang kurang baik.
c)      Yang membatasi hasil pendidikan yaitu pembawaan dan lingkungan.[7]
D.    Ideologi pendidikan
Secara harfiah ideologi berasal dari kata “ide” dan “logis” yang sanggup diartikan sebagai aturan/hukum wacana ide, konsep ini berasal dari plato. Ideologi sanggup diartikan sebagai seperangkat nilai dan aturan wacana kebenaran yang dianggap alamiah, universal dan menjadi acuan bagi tingkah laris manusia. Dan sanggup juga diiartikan sebagai ilmu yang mengkaji bagaimana ide-ide wacana suatu hal diperoleh insan dari pengalaman serta tertata dalam benak untuk kemudian kesadaran yang mempengaruhi tingkah laku. Sehubungan dengan pendidikan , ideologi diartikan sebagai perangkat aturan yang diyakini dan dijadikan landasan bagi pendidikan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.

E.     Aliran pendidikan wacana essensialisme, perennialisme, progressivisme, dan rekonstruksionisme
Pemikiran edukatif berbeda dengan pemikiran filosofis. Pemikiran filosofis dijadikan sebagai dasar dan sumber bagi pemikiran edukatif. Essensialisme, perennialisme, progressivisme, rekonstruksionisme merupakan refleksi dari pemikiran edukatif yang masing-masing mendasarkan pada pemikiran filosofis: idealism, realism, neo thomisme, eksperimentalisme atau pragmatism dan eksistensialisme. Pemikiran edukatif yang dikaitkan atau tidak memisahkan diri dari landasan pemikiran filosofis akan memebentuk falsafah pendidikan. George R. Knight mencoba untuk menarik kekerabatan antara aliran falsafah terhadap munculnya teori-teori pendidikan. Alur pikir demikian memperlihatkan bahwa aliran falsafah idealism dan realisme terimplementasi dalam pendidikan, dan bahwa idealism menjadi dasar dan sumber insipirasi munculnya teori pendidikan essensialisme.
1.      Essensialisme
Essensialisme merupakan falsafah pendidikan tradisional yang memandang bahwa nilai-nilai pendidikan hendaknya bertumpu pada nilai-nilai yang terang dan tahan usang sehingga menjadikan kestabilan dan arah yang terang pula. Nilai-nilai humanism yang dipegangi oleh essensialisme dijadikan sebagai tumpuan hidup untuk menentang kehidupan yang matrealistik, sekuler dan saintifik yang gersang dari nilai-nilai kemanusiaan. Gerakan essensialisme modern bergotong-royong berkembang pada awal kurun ke-20, dan muncul sebagai balasan atas aliran progressivisme.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, essensialisme menekankan pada tujuan pewarisan nilai-nilai kultural-historis kepada penerima didik melalui pendekatan yang akumulatif dan terbukti sanggup bertahan usang serta bernilai untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini dilaksanakan dengan memperlihatkan skill, sikap, dan nilai-nilai yang tepat, yang merupakan serpihan esensial dari unsur –unsur pendidikan.[8]
Kurikulum dipusatkan pada penguasaan materi pelajaran (subjek centered), dank arenanya focus pendidikan selama masa sekolah dasar yaitu keterampilan membaca, menulis, dan berhitung; sementara pada sekolah menengah tersebut. Pandangan essensialisme mengenai kurikulum yaitu beberapa tokoh idealism memandang bahwa kurikulum itu hendaknya berpangkal pada landasan yang ideal dan organisasi yang kuat. Herman Harrell Horne menulis dalam bukunya yang berjudul This New Education menyampaikan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan atas mendasar tunggal, yaitu tabiat insan yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu diubahsuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik tersebut. atas dasar ketentuan ini berarti bahwa kegiatan atau keaktifan anak didik terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen itu. Bogoslousky, dalam bukunya The ideal school, mengutarakan hal-hal yang lebih terang dari Horne. Disamping menegaskan supaya kurikulum sanggup terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum sanggup diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian, ialah:
a.       Universum. Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala manifestasi hidup manusia. Diantaranya yaitu adanya kekuatan-kekuatan alam, asal-usul tata surya dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini yaitu ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
b.      Sivilliasi. Dengan siviliasi insan bisa mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, hidup kondusif dan sejahtera.
c.       Kebudayaan. Karya insan yang diantaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan evaluasi mengenai lingkungan.
d.      Kepribadian. Bagian yang memperlihatkan pembentukkan keperibadian dalam ari real yang tidak bertentangan dengan keperibadian yang ideal.
Jadi, tujuan umum aliran essensialisme yaitu membentuk pribadi senang di dunia dan di akhirat. isi pendidikannya meliputi ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang bisa menggerakkan kehendak manusia.
Kurikulum sekolah bagi essensialisme merupakan sebagai miniature dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran, dan kegunaanKurikulum dipusatkan pada penguasaan materi pelajaran (subjek centered) dan karenanya focus pendidikan selama masa sekolah dasar yaitu keterampilan membaca, menulis, dan berhitung. Sementara pada sekolah menengah hal tersebut diperluas dengan memasukkan pelajaran matematika, sains, humaniora, bahsa dan sastra. Penguasaan terhadap materi kurikulum ini dianggap sebagai fondasi yang essensial bagi keutuhan pendidikan secara umum untuk memenuhi kebutuhan hidup. Asumsinya yaitu bahwa dengan pendidikan yang ketat terhadap disiplin ilmu ini akan sanggup membantu berbagi intelek siswa dan pada ketika yang sama akan menjadikannya sadar terhadap lingkungan dunia fisiknya. Menguasai dasar konsep dan fakta dari disiplin ilmu yang essensial tadi merupakan suatu keharusan.
Guru, dalam proses pendidikan, dipandang sebagai center for excellence, lantaran dituntut untuk menguasai bidang studi dan sebagai model atau figure yang amat diteladani bagi siswa. Guru harus menguasai materi pengetahuannya, alasannya mereka dianggap memegang posisi tertinggi dalam pendidikan. Ruang kelas ada dalam imbas dan kendali guru sepenuhnya. Sekolah, melalui upaya guru, berperan untuk melestarikan dan mentransimisikan ilmu kepada para pelajar atau generasi selanjutnya yang berupa budaya dan sejarah dengan melalui pengetahuan dan hikmah. Masing-masing pelajar dalam sekolah ini akan mempelajari ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diharapkan untuk membuatnya berjasa bagi masyarakatnya.
Dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip essensialisme adalah:
a.       Essensialisme berakar pada ungkapan realism objektid dan idealism objektif yang modern, yaitu alam semesta diatur oleh aturan alam sehingga kiprah insan memahami aturan alam yaitu dalam rangka pembiasaan diri dalam pengelolaannya.
b.      Sasaran pendidikan yaitu mengenalkan siswa pada karate alam dan warisan budaya. Pendidikan harus dibangaunatas nilai-nilai yang kukuh, tetap dan stabil.
c.       Nilai kebenaran bersifat korespondensi, berafiliasi antara gagasan fakta secara objektif.
d.      Bersifat konservatif (pelestarian budaya) dengan merefleksikan humanism klasik yang berkembangpada zaman renaissance.[9]
2.      Perennialisme
Perennialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, di mana susunannya itu merupaka hasil pikiran yang memperlihatkan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme beropini bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang terang merupakan kiprah yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan.
Perennialisme beranggapan bahwa pendidikan harus didasari oleh nilai-nilai kultural masa lampau, regressive road to culture, oleh lantaran kehidupan modern ketika ini banyak menjadikan krisis dalam banyak bidang.
Perennialisme sanggup dikenali dengan gampang lantaran mempunya beberapa kekhasan diantaranya, yaitu:
a.       Pertama, bahwa perennialisme mengambil jalan regresif, yaitu kembali kepada nilai dan prinsip dasar yang menjiwai pendidikan pada masa Yunani Kuno dan Abad Pertengahan.
b.      Kedua, perennialisme beranggapan bahwa realita itumengandung tujuan.
c.       Ketiga, perennialisme beranggapan bahwa berguru yaitu latihan dan disiplin mental.
d.      Keempat, perennialisme beranggapan bahwa kenyataan tertinggi itu berada di balik alam, penuh kedamaian dan transedental.
Pada dasarnya aliran ini berasal dari pemikiran orang-orang Eropa yang berusaha untuk mencari balasan akhir banyaknya ketimpangan, kekacauan, kebingungan serta banyak sekali problematika lainnya. Mereka menganggap bahwa pandangan gres umum yang terkandung dalam pemikiran filsuf zaman Yunani Kuno dan Abad pertengahan itu yaitu mempunyai nilai yang ideal dan masih tetap relevan untuk menjawab problem masa kini.
Dalam hal pendidikan, perennialisme memandang bahwa tujuan pendidikan yaitu untuk membantu siswa dalam memperoleh dan merealisasikan kebenaran abadi. Aliran ini menilai bahwa kebenaran itu bersifat universal dan konstan. Maka jalan untuk mencapainya yaitu melatih intelek dan disiplin mental. Tujuan pendidikan tersebut terurai dalam format kurikulum yang berpusat pada materi (content based, subject centered) dan mengutamakan disiplin ilmu sastra, matematika, bahasa, humaniora, sejarah, dan lain-lain.
Anak didik yang diharapkan berdasarkan perenialisme yaitu bisa mengenal dan mengambangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar pada masa lampau. Dengan mengetahui buah pikiran tokoh-tokoh besar tersebut pada masa lampau, maka belum dewasa didik sanggup mengetahui bagaimana pemikiran para hebat tersebut pada bidangnya masing-masing dan apa yang terjadi pada masa lampau sehingga sanggup bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan sebagai pertimbangan pemikiran mereka pada zaman kini ini. hal inilah yang sesuai dengan aliran filsafat perenialisme tersebut.
Tugas utama pendidikan yaitu mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya. Kaprikornus nalar inilah yang perlu menerima tuntunan ke arah kemasakan tersebut. sekolah rendah memperlihatkan pengetahuan dan pendidikan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional ibarat membaca, menulis dan berhitung anak didik mengetahui dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan lainnya. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, yang telah mendidik dan mengajarkan anak tersebut.
Guru dalam pandangan perennialisme, mestilah orang yang menguasai betul terhadap disiplin ilmunya, sehingga bisa mengarahkan muridnya menuju pada kebenaran. Sedangkan sekolah berperan untuk melatih intelektual demi tercapainya kebenaran, di mana kebenaran tersebut suatu ketika akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Oleh, lantaran itu, sekolah harus bisa menyiapkan belum dewasa dan remaja dalam menghadapi kehidupannya. Dalam hal ini, Robert M. Hutchin yang merupaka penggerak perenialis di Amerika, menyatakan: education implies teaching. Teaching implies knowledge. Knowledge is truth. The truth is everywhere the same. Hance, education should be everywhere the same.[10]

3.      Progressivisme
Aliran progressivisme mengakui dan berusaha berbagi asas progressivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan yaitu survive terhadap semua tantangan hidup insan secara mudah dari segala segi keagungannya. Progressivisme dikatakan instrumentalisme, lantaran aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi insan sebagai alat untuk hidup, kesejahteraan dan berbagi kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, lantaran aliran tersebut menyadari dan mempraktekan asas eksperimen yang merupakan menguji kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme lantaran aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi training kepribadian. Aliran progresivisme mempunyai kemajuan dalam bidang ilmu pendidikan yang meliputi ilmu hayat, bahwa insan untuk mengetahui kehidupan semua masalah. Antropologi bahwa insan mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian sanggup mencari hal baru. Psikologi, yaitu insan akan berpikir wacana dirinya sendiri, lingkungan, dan pengalaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, sanggup menguasai dan mengaturnya.
Filsafat pendidikan progresivisme dikembangkan oleh para hebat pendidikan ibarat John Dewey, William Kilpatrick, George Count, Harold Rugg diawal kurun ke-20. Progresivisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi lebih besar kreatifitas, aktifitas, belajara “naturalistik” hasil berguru “dunia nyata” dan juga pengalaman teman sebaya.
Aliran progresivisme lahir di Amerika Serikat kurun ke-20. John S. Brubaeher menyampaikan bahwa filsafat progresivisme bermuara pada filsafat pragmatism yang diperkenalkan oleh William James dan John Dewey yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup yang praktis. Aliran ini menjunjung tinggi hak asasi individu dan menjunjung tinggi akan nilai demokratis. Sehingga progresivisme dianggap sebagai The Liberal Road of Cultlire ( kebebasan mutlak menuju kearah kebudayaan) maksudnya nilai-nilai yang bersifat fleksibel terhadap perubahan, toleran dan terbuka (open minded) dan berdasarkan pribadi penganutnya untuk selalu bersikap penjelajah, peneliti, guna berbagi pengalamannya. Mereka harus bersifat terbuka dan berkemauan baik dalam mendapatkan kritikkan dan ide-ide lawan sambil memberi mereka memperlihatkan bukti dari argument tersebut. namun aliran ini juga menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah insan yang dibawa semenjak lahir.
Dengan demikian potensi-potensi yang dimiliki insan mempunyai kekuatan-kekuatan yang harus dikembangkan dan hal ini menjadi perhatian progresivisme. Nampak bahwa aliran filsafat progresivisme menempatkan insan sebagai makhluk biologis yang utuh dan menghormati harkat dan martabat insan sebagai pelaku (subjek) di dalam hidupnya.
Filsafat progresivisme mempunyai konsep bahwa anak didik mempunyai nalar dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Kelebihan anak didik mempunyai potensi nalar dan kecerdasan dengan sifat kreatif dan dinamis, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Pendidikan sebagai wahana yang efektik dalam membuat kondisi yang edukatif dan memperlihatkan motivasi-motivasi dan stimulus sehingga nalar dan kecerdasan anak didik sanggup difungsikan dan berkembang dengan baik. Maka aliran ini mengemukakan bahwa anak didik bukanlah insan yang kecil, tetapi insan seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang, setiap anak didik berbeda kemampuannya, individu atau anak didik yaitu insan yang aktif dan kreatif serta dinamis. Anak didik juga mempunyai motivasi untuk memenuhi kebutuhannya.
Progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang luewes (fleksibel) dan terbuka. Kaprikornus kurikulum itu bisa diubah dan dibuat sesuai dengan zamannya yang sanggup direvisi dan jenisnya yang memadai. Kurikulum harus sanggup mewadahi aspirasi anak, orang tua, atau masyarakat untuk mendidik anak. Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam unit. Metode yang dipakai yaitu problem solving. W.H Patrick mengungkapkan beberapa hal wacana kurikulum, yaitu:
1.      Kurikulum harus sanggup meningkatkan kualitas hidup anak didik sesuai dengan jenjang pendidikan
2.      Kurikulum yang sanggup membina dan berbagi potensi anak didik
3.      Kurikulum yang sanggup mengubah sikap anak didik menjadi kreatif, adaptif dan kemandirian
4.      Kurikulum bersifat fleksibel atau luwes berisi wacana banyak sekali macam bidang studi[11]
Progressivisme berkembang dari falsafah pragmatisme Charles S. Pierce, William James dan John Dewey.
Prinsip-prinsip dasar progressivisme secara singkat dirangkum oleh Kneller sebagai berikut:
a.       Pendidikan itu seharusnya “kehidupan” itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup.
b.      Belajar harus dikaitkan secara pribadi dengan minat anak.
c.       Belajar melalui pemecahan masalah (problem solving) harus didahulukan dari pada pengulangan masa pelajaran secara ketat.
d.      Peranan guru bukan untuk menunjukkan, tapi membimbing.
e.       Sekolah mesti meningkatkan upaya kerja sama, bukan bersaing.
f.        Hanya perkenaan secara demokratislah. Sesungguhnya sanggup meningkatkan. Peranan pandangan gres dan personalitas anak secara bebas, padahal itu diharapkan bagi kondisi pertumbuhan yang benar. Baranjak darinuraian di atas, pemikiran edukatif Dewey berupa progressivisme itu menghendaki biar pendidikan diselenggarakan secara integral dengan melibatkan seluruh komponen pendidikan, inklusif penerima didik, biar bisa menghadapi perkembangan dan perubahan zaman. Namun demikian, apa yang dilakukan oleh progressivisme masih dipandang belum cukup jauh dalam melaksanakan perubahan sosial. progressivisme mengakui bahwa pendidikan hendaknya mengikuti perkembangan dan perubahan zaman dan masyarakat, namun progressivisme belum hingga pada tatanan masyarakat gres yang bentuk oleh pendidikan bisa membangun atau merekonstruksi masyarakat (social reconstruction) merupakan perkembangan lanjutan dan progressivisme yang dinamakan dengan rekonstruksionisme.

4.      Rekonstrusionisme
Rekonstruksionisme dalam bahasa inggris rekonstruck yang berarti menyusun kembali, dalam filsafat pendidikan rekonstruksionisme yaitu suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan usang dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bersifat modern. Aliran rekonstruksionisme pada umumnya sepaham dengan aliran perenialisme yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan kini merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Namun, prinsip yang dimiliki aliran rekonstruksionisme berbeda dengan aliran perennialisme, yaitu menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu consensus yang paling luas dan mempunyai tujuan pokok dalam kehidupan umat manusia.
Rekonstruksionisme dipelopori oleh georg Count dan Harold Rugg pada tahun 1930. Aliran ini merupakan kelanjutan dari gerakan progressivisme. Gerakan ini lahir atas dasar suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.
Kaitannya dengan pendidikan, rekonstruksionisme menghendaki tujuan pendidikan untuk meningkatkan kesadaran siswa mengenai problematika sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh insan secara global, dan untuk membina mereka membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan dasar biar bisa menuntaskan persoalan-persoalan tersebut. Kurikulum dan metode pendidikan bermuatan materi sosial, politik dan ekonomi yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Termasuk juga masalah-masalah pribadi yang dihadapi oleh siswanya. Kurikulum memakai disiplin ilmu-ilmu sosial dan metode ilmiah. Peranan guru sama dengan progresivisme. Guru harus menjadikan muridnya siap mengahadapi persoalan-persoalan dalam masyarakat, membantu mereka mengidentifikasi, permasalahan, kemudian meyakinkan, bahwa mereka sanggup mengahadapi semua itu. Apabila ternyata mereka tidak sanggup, maka kiprah guru yaitu membimbing mereka secara tepat.[12]




BAB III
PENUTUP

a.      Kesimpulan
Teosentris yaitu sebuah pemikiran dimana semua proses dalam kehidupan di muka bumi ini akan kembali kepada Tuhan. Antroposentris yaitu teori etika lingkungan yang memandang insan sebagai sentra dari sistem alam semesta. Teosentris yaitu sebuah pemikiran dimana semua proses dalam kehidupan di muka bumi ini akan kembali kepada Tuhan. Antroposentris yaitu teori etika lingkungan yang  memandang insan sebagai sentra dari sistem alam semesta.
Pendapat yang umumnya dikenal dalam pendidikan Barat mengenai insan dengan pendidikan terangkum dalam tiga aliran filsafat pendidikan. Aliran-aliran tersebut yaitu nativisme, empirisme, dan konvergensi.
Pemikiran filosofis dijadikan sebagai dasar dan sumber bagi pemikiran edukatif. Essensialisme, perennialisme, progressivisme, rekonstruksionisme merupakan refleksi dari pemikiran edukatif yang masing-masing mendasarkan pada pemikiran filosofis: idealism, realism, neo thomisme, eksperimentalisme atau pragmatism dan eksistensialisme.
Aliran-aliran ini setiap zaman akan terus berubah menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.













DAFTAR PUSTAKA

aciknadzirah.blogspot.com/search?q=teosentris-n-antroposentris
aciknadzirah.blogspot.com/search?q=teosentris-n-antroposentris
aciknadzirah.blogspot.com/search?q=teosentris-n-antroposentris
http://www.syamsuljosh.blogspot.co.id. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2015.
MP,  M. Ngalim Purwanto. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2009.
H. Jalaluddin, Teologi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2001.
Josh,Syamsul 2013. Perspektif Islam terhadap Aliran Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi.
Assegaf, Abd Rachman Aliran Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.
Afidburhanudin.wordpress.com, tanggal 25 Oktober 2015. 22:03.
Wahyudidy.blogspot.co.id, tanggal 25 Oktober 2015 15:15.





[1] aciknadzirah.blogspot.com/search?q=teosentris-n-antroposentris
[2] aciknadzirah.blogspot.com/search?q=teosentris-n-antroposentris
[3] aciknadzirah.blogspot.com/search?q=teosentris-n-antroposentris
[4] aciknadzirah.blogspot.com/search?q=teosentris-n-antroposentris
[5] Drs. M. Ngalim Purwanto MP, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2009. Hal: 61
[6] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Teologi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001. Hal: 45
[7]  Syamsul Josh, 2013. Perspektif Islam terhadap Aliran Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi. http://www.syamsuljosh.blogspot.co.id. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2015.
[8] Prof. Dr. Abd Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013, hal. 37-38.
[9] Afidburhanudin.wordpress.com, tanggal 25 Oktober 2015. 22:03.
[10] Op.Cit, hal. 40.
[11] Wahyudidy.blogspot.co.id, tanggal 25 Oktober 2015 15:15.
[12] Ibid, hal. 49-50

Sumber http://umin-abdilah.blogspot.com


EmoticonEmoticon