Friday, November 8, 2019

√ Makalah Etika, Moral Dan Akhlak

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Kehidupan ialah identik dengan kumpulan hukum-hukum. Hukum-hukum ini mengatur semua unsur yang terdapat dalam kehidupan alam semesta. Relasi dan interaksi yang mengikat di antara banyak sekali unsur dalam kehidupan alam, merupakan bukti adanya keterikatan satu sama lain di antara mereka.
Manusia sebagai belahan dari unsur alam, dengan segala kelebihan yang dimilikinya, di samping harus membangun kekerabatan dengan unsur-unsur di luarnya dirinya, ia juga melaksanakan interaksi dengan sesamanya. Pada ketika itu, setiap tingkah laris insan akan diidentifikasikan dengan suatu nilai tertentu, yaitu baik dan buruk, atau benar dan salah. Inilah yang dikenal dengan nilai-nilai moral, etika, atau akhlak.
Tingkah laris (moral, etika, dan akhlak) insan merupakan sesuatu yang dinamis. Ia sanggup berubah setiap saat. Tetapi ketika tingkah laris itu demikian sering dilakukan, ia akan manjadi belahan dari kepribadian seseorang. Proses ini disamping memerlukan pembiasaan, pada ketika yang sama memerlukan legitimasi pemikiran logis. Lebih dari itu Islam menyatakan bahwa nilai-nilai itu bersifat
mutlak, alasannya ialah berasal dari dzat yang mutlak, yaitu Allah.
B.       Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas maka perumusan kasus sebagai berikut:
1.    Bagaimana filsafat moral dan kenapa harus bermoral?
2.    Bagaimana perbedaan etika, moral, dan akhlak?
3.    Bagaimana kedudukan etika, moral, dan watak dalam pelaksanaan pendidikan Islam?
4.    Bagaimana tujuan watak dalam Islam untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat?
C.       Tujuan dan Manfaat Penulisan Makalah
Berdasarkan perumusan kasus di atas maka tujuan dan manfaat penulisan makalah ini ialah sebagai berikut:
1.    Dapat menjelaskan filsafat moral dan kenapa harus bermoral
2.    Dapat menjelaskan perbedaan etika, moral, dan akhlak
3.    Dapat menjelaskan kedudukan etika, moral, dan watak dalam pelaksanaan pendidikan Islam
4.    Dapat menjelaskan tujuan watak dalam Islam untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat
































BAB II
PEMBAHASAN
A.      Filsafat Moral atau Filsafat Nilai
ü Nilai pada umumnya
Dipandang dalam perspektif sejarah filsafat yang sudah panjang, “nilai” merupakan suatu tema filosofis yang berumur agak muda. Salah satu cara yang sering digunakan untuk menjelaskan apa itu nilai ialah memperbandingkannya dengan fakta. Jika kita berbicara perihal fakta, kita maksudkan sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. kalau kita berbicara perihal nilai, kita maksudkan sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau kita. Fakta ditemui dalam konteks deskripsi: semua unsurnya sanggup dilukiskan satu demi satu dan uraian itu pada prinsipnya sanggup diterima oleh semua orang. Nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau evaluasi dan balasannya sering akan dinilai secara berbeda oleh banyak sekali orang.[1]
Nilai ialah sesuatu hal yang dianggap berharga, yang dipergunakan sebagai landasan, pedoman atau pegangan seseorang dalam menjalankan sesuatu. Keberlakukan nilai sanggup dipandang sebagai standar untuk pedoman dalam menjalankan tindakan. Nilai tersebut sebagai harga, makna, isi dan pesan, semangat atau jiwa baik yang tersurat atau yang  tersirat dalam fakta, konsep, dan teori sehingga bermakna secara fungsional. Maksudnya nilai tersebut berkhasiat sebagai landasan untuk mengarahkan, mengendalikan, dan memilih sikap seseorang.
Salah satu cara yang sering digunakan untuk menjelaskan apa itu nilai ialah membandingkannya dengan fakta. Jika kita berbicara perihal fakta, kita maksudkan sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. kalau kita berbicara perihal nilai, kita maksudkan sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau kita.
Contohnya yaitu, kita andaikan saja bahwa pada tahun sekian tanggal sekian di daerah tertentu ada gunung berapi meletus. Hal itu merupakan suatu fakta yang sanggup dilukiskan secara obyektif. Kita sanggup mengukur tingginya awan panas yang keluar dari kawah, kita sanggup memilih kekuatan gempa bumi yang menyertai letusan itu, kita sanggup memastikan letusan-letusan sebelumnya beserta jangka waktu di antaranya, dan seterusnya. Tapi serentak juga letusan gunung itu sanggup dilihat sebagai nilai atau justru disesalkan sebagai non-nilai, pokoknya, sanggup menjadi obyek penilaian. Bagi wartawan foto yang hadir di tempat, letusan gunung itu merupakan kesempatan emas (nilai) untuk mengabadikan kejadian langka yang jarang sanggup disaksikan. Untuk petani di sekitarnya bubuk panas yang memuntahkan gunung sanggup mengancam hasil pertanian yang sudah hampir panen (non-nilai), tapi dalam jangka waktu panjang tanah sanggup bertambah subur jawaban kejadian itu (nilai).
Secara sederhana sanggup disimpulkan bahwa nilai sekurang-kurangnya mempunyai tiga ciri sebagai berikut :
1.    Nilai berkaitan dengan subyek
Kalau tidak ada subyek yang menilai, maka tidak ada nilia juga. Entah insan hadir atau tidak.
2.    Nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subyek ingin membuat sesuatu.
3.    Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambahkan oleh subyek kepada sifat-sifat  yang dimiliki oleh obyek. Nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya. Rupanya hal itu harus dikatakan alasannya ialah obyek yang sama bagi banyak sekali subyek sanggup menyebabkan nilai yang berbeda-beda.[2]

ü Nilai Moral
Yang dibicarakan perihal nilai pada umumnya tentu berlaku juga untuk nilai moral, nilai moral mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.    Berkaitan dengan tanggung jawab kita
Nilai ini berkaitan dengan pribadi insan yang bertanggung jawab. Nilai-nilai moral menyebabkan bahwa seseorang bersalah atau tidak bersalah, alasannya ialah ia bertanggung jawab.
2.    Berkaitan dengan hati nurani
Semua nilai minta untuk diakui dan diwujudkan. Nilai selalu mengandung semacam usul atau imbauan. Nilai estetis, misalnya, seperti “minta” supaya diwujudkan dalam bentuk lukisan, komposisi musik, atau cara lain. Dan kalau sudah jadi, lukisan “minta” untuk dipamerkan dan musik “minta” untuk diperdengarkan. Tapi pada nilai-nilai moral tuntutan ini lebih mendesak dan lebih serius. Mewujudkan nilai-nilai moral merupakan “imbauan” dari hai nurani. Salah satu ciri khas nilai moral ialah bahwa hanya nilai ini menyebabkan “suara” dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilai-nilia moral.
3.    Mewajibkan
Kewajiban diktatorial yang menempel pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan bahwa nilai-nilai ini berlaku bagi insan sebagai manusia. Karena itu nilai moral berlaku juga untuk setiap manusia.[3]

B.       Perbedaan Etika, Moral, dan Akhlak
Kata ‘moral’ berasal dari bahasa Latin ‘Mores’, jamak dari kata ‘mos’, diartikan dengan ‘adat kebiasaan’. Dalam bahasa Indonesia, moral sering diterjemahkan dengan arti susila. Kata moral digunakan untuk menunjuk kepada suatu tindakan atau perbuatan yang sesuai dengan ide-ide umum yang berlaku dalam suatu komunitas atau lingkungan tertentu. Dari batasan ini ada yang menyatakan bahwa kata moral lebih banyak bersifat simpel dari pada teoritis.[4]
Kata ‘etika’ berasal dari kata Yunani ‘ethos’ juga diartikan dengan ‘adat kebiasaan’, pengertian ini diberikan kepada istilah ini pada umumnya lebih bercorak teoritik, yaitu menunjuk kepada ilmu perihal tingkah laris manusia. Ya’qub menyampaikan bahwa etika ialah ilmu perihal filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi mengenai nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi perihal idenya, alasannya ialah itu bukan merupakan ilmu yang positif, melainkan ilmu yang formatif. Dari pengertian ini kemudian dikatakan bahwa etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih bersifat praktis.
Pembicaraan perihal moral dan etika di kalangan Islam dikaitkan dengan akhlak. Menurut Philip K. Hitti, ada tiga cara pandang yang berbeda di kalangan Islam ketika melihat duduk masalah akhlak. Pertama, melihat watak dalam korelasi dengan ‘tertib sopan sehari-hari’. Kedua, melihat watak dalam korelasi dengan ilmu pengetahuan. ketiga, melihat watak dalam hubungannya dengan kasus kejiwaan.[5]
Dari sudut kebahasaan, watak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitif)  dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wazan) tsulasi majid af ala, yuf ilu if alan yang berarti al-sajiyah (perangi), ath-thabi’ah (kelakuan, tabi’at, watak dasar), al-‘adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik), dan al-din (agama).[6]
Perbedaan antara etika, moral, dan watak ialah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk memilih baik dan buruk. Jika dalam etika evaluasi baik jelek berdasarkan pendapat nalar pikiran, dan pada moral berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada watak ukuran yang digunakan untuk memilih baik dan jelek itu ialah Al-Qur’an dan Al- Hadits.[7]

C.      Kedudukan Etika, Moral, dan Akhlak dalam Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan suatu upaya yang terstruktur untuk membentuk insan yang berkarakter sesuai dengan konsekuensinya sebagai seorang muslim.
Istilah pendidikan Islam sanggup dipahami dari tiga sudut pandang. Pertama, pendidikan agama Islam, kedua, pendidikan dalam Islam, ketiga, pendidikan berdasarkan Islam.[8]
Dalam Islam dikenal adanya dua kerangka dasar pedoman Islam yang meliputi aspek aqidah dan syari’ah. Pendapat yang demikian antara lain dikemukakan oleh Mahmud Syaltout. Dalam pandangannya, watak ialah salah satu belahan dari aspek syari’ah. Sebutan yang digunakan untuk menunjuk watak sebagai belahan dari syari’ah ialah al fiqh al-khuluqiyah. Di lain pihak para ulama secara eksklusif menempatkan watak sebagai belahan yang berdiri sendiri. Mengikuti pendapat yang kedua, maka kerangka dasar Islam meliputi aqidah, syari’ah, dan akhlak.
Karena posisi watak merupakan satu kesatuan utuh dari pedoman Islam, maka watak dalam Islam mendasarkan ajaran-ajarannya perihal baik dan buruk, benar dan salah, bersumberkan kepada pedoman Allah. Tolak ukur kelakuan baik dan jelek mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Diyakini sepenuhnya bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah, niscaya baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, mustahil Allah akan menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, alasannya ialah kebohongan esensinya ialah buruk.
Oleh alasannya ialah itu, berdasarkan Quraish Shihab watak dalam agama Islam tidak sanggup disamakan dengan etika atau moral, kalau pengertiannya hanya semata menunjuk kepada sopan santun di antara manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laris lahiriyah. Akhlak dalam Islam mempunyai makna yang lebih luas, yang meliputi beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriyah. Akhak Islam berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Akhlak Islam juga mempunyai cakupan yang lebih luas, alasannya ialah tidak semata mengatur korelasi insan dengan manusia. Akhlak Islam meliputi korelasi insan dengan Allah sampai korelasi insan dengan sesama makhluk lainnya (manusia, binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa lainnya).
Dalam pandangan Durkheim, moralitas atau etika tidak sanggup dianggap hanya menyangkut suatu pedoman normatif perihal baik dan buruk, melainkan suatu sistem fakta yang diwujudkan, yang terkait dengan keseluruhan sistem dunia. Moralitas bukan saja menyangkut sistem sikap yang ‘sewajarnya’ melainkan juga suatu sistem yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan. Dan ketentuan ini ialah sesuatu yang berada di luar diri si pelaku. Ketentuan-ketentuan atau hukum-hukum moral itu berasal dari masyarakat.[9]
D.      Tujuan Akhlak dalam Islam untuk Mencapai Kebahagiaan Dunia dan Akhirat
Tujuan watak dalam Islam untuk mencapai kebahagiaan dunia dan alam abadi ini termasuk prinsip ke empat dari prinsip-prinsip yang menjadi dasar falsafah watak dalam Islam. Berikut klarifikasi mengenai prinsip ke empat ini, yaitu:
Percaya bahwa tujuan tertinggi agama dan watak ialah membuat kebahagiaan dua kampung (dunia dan akhirat), kesempurnaan jiwa bagi individu, dan membuat kebahagiaan, kemajuan, kekuatan, dan keteguhan bagi masyarakat. Agama Islam atau watak islam tidak terbatas tujuannya untuk mencapai kebahagiaan alam abadi yang tergambar dalam menerima keridhaan, keampunan rahmat, dan pahalanya, dan juga menerima kenikmatan alam abadi yang telah dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang yang baik dan orang-orang yang bertakwa yang telah ditunjukkan oleh banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Diantaranya sabda Rasulullah SAW:
“Di situ ada sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak pernah tergores dalam hati manusia.”
Bahkan dilampaui oleh tujuan itu kebahagiaan alam abadi semata-mata kepada mencapai kebahagiaan dunia yang dihalalkan yang membawa kepada kebahagiaan akhirat. Termasuk kebahagiaan dunia, berafiliasi dengan perseorangan, kelebihan-kelebihan jasmaniah yang majemuk menyerupai kesehatan, kekuatan, kecantikan, panjang umur dan lain-lain lagi.
Di antara termasuk kebahagiaan dunia berkenaan dengan masyarakat ialah kuatnya masyarakat, kukuhnya, kemajuannya yang terus-menerus, perpaduannya, kesetabilannya, sifat bersama-sama antara angota-angotanya, solidaritas antara angota-anggotanya, keihklasan bekerjanya, rasa tanggung jawab terhadap masyarakat, sifat lurusnya, kesadaran mereka terhadap kasus masyarakat mereka, dan lain-lain gejala-gejala kebahagiaan masyarakat.
Filosof-filosof Muslimin membagi kebahagiaan kepada beberapa bahagian dan tingkat alasannya ialah terpengaruh pada pembahagian itu, oleh pembahagian filosof-filosof Yunani di mana Aristoteles sebagai pemimpinnya.
Di sini Ibnu Maskawaih menyalin dari Aristoteles, dalam membagi kebahagiaan itu kepada lima bahagian . ia berkata :
Adapun bahagian-bahagian kebahagiaan berdasarkan mazhab jago nasihat ini (Aristoteles) ada lima bahagian.
1.    Kesehatan tubuh halusnya pancaindra
2.    Kekayaan dan pertolongan dan yang serupanya
3.    Namanya baik diantara manusia
4.    Berjaya dalam banyak sekali perkara
5.    Bagus fikiran, pendapat betul, kepercayaan terhadap agamanya sehat, suci dari kesalahan dan kesilapan, dan baik nasihatnya bila diminta nasehat.
Menurut Ibnu Maskawaih kebahagiaan itu mempunyai dua tahap yang sesuai dengan watak manusia  yang terdiri dari atas jasmani dan jiwa. Kedua tahap itu ialah kebahagiaan jasmani dan kebahagiaan rohaniah, yang pertama lebih rendah martabatnya dari yang kedua.[10]
Berdasarkan pada inilah banyak filosof Islam lain beropini serupa ini dalam pembagian kebahagiaan yang semuanya merupakan tujuan pokok bagi ahklak. Al-Gazzali, misalnya, membagi kebahagiaan dunia menjadi empat belahan atau jenis pokok, yaitu kebaikan badan, kebaikan jiwa, kebaikan luar, dan kebaikan dari Allah (taufik Allah). Dan di bawah tiap macam ini ada empat kebaikan atau keutamaan pokok, jadi kebahagiaan berdasarkan Al-Ghazzali dan orang-orang yang sependapat dengannya dari golongan ahli-ahli tasawwuf, bukanlah kebaikan yang tertinggi. Sebab kebaikan tertinggi, berdasarkan Al-Ghazzali sendiri, “adalah kebahagiaan alam abadi yang kekal dan tidak akan rusak, kegembiraan yang tidak ada sedihnya, ilmu yang tidak ada jahilnya, dan kekayaan yang tidak pernah akan dicampuri kemiskinan. Inilah kebahagiaan yang sebenarnya. Adapun selain dari itu yang dianggap orang sebagai kebahagiaan, itu bekerjsama pemberian nama yang salah atau melampaui. Yang pertama, menyerupai kelazatan hidup dan kegembiraannya, tidak menolong untuk mencapai kebahagiaan akhirat, sedang yang kedua, ada diantara kebahagiaan dunia (hidup) yang sanggup membawa kepada kebahagiaan akhirat.
Kebahagiaan bekerjsama ini (kebaikan tertinggi) adakala berlaku di dunia, sekalipun jarang, bagi orang yang menjalani jalannya dan menjadikan dirinya sangggup menjalani hakikat yang/ tinggi ini. Sehingga mengalirlah ia kepadanya menyerupai mengalirnya kepada Nabi-Nabi, Wali-Wali, dan orang-orang yang benar.”Mengalirlah rahmat dari Allah Azza Wajalla kedalam jiwa ialah tujuan yang dicari. Dan itulah sebenar-benar kebahagiaan bagi jiwa setelah mati.”
Dan mendidik jiwa menghiasinya dengan keutamaan merupakan langkah yang seharusnya untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan bekerjsama bukan pada kelezatan jasmaniah, biarpun yang ada didalam surga, tetapi bersifat rohani (maknawiyah) yang tampaknya pada mengenal hakikat ilahiyah, petunjuk Allah, bimbingan, bantuan, dan pertolongannya.”[11]



















BAB III
PENUTUP
Simpulan
Nilai ialah sesuatu hal yang dianggap berharga, yang dipergunakan sebagai landasan, pedoman atau pegangan seseorang dalam menjalankan sesuatu. Keberlakukan nilai sanggup dipandang sebagai standar untuk pedoman dalam menjalankan tindakan.
Perbedaan antara etika, moral, dan watak ialah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk memilih baik dan buruk. Jika dalam etika evaluasi baik jelek berdasarkan pendapat nalar pikiran, dan pada moral berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada watak ukuran yang digunakan untuk memilih baik dan jelek itu ialah Al-Qur’an dan Al- Hadits.
Mengenai kedukan antar ketiganya berdasarkan Quraish Shihab watak dalam agama Islam tidak sanggup disamakan dengan etika dan moral. Akhlak dalam Islam mempunyai makna yang lebih luas, yang meliputi beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriyah. Akhak Islam berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Dalam pandangan Durkheim, moralitas atau etika tidak sanggup dianggap hanya menyangkut suatu pedoman normatif perihal baik dan buruk, melainkan suatu sistem fakta yang diwujudkan, yang terkait dengan keseluruhan sistem dunia.
Agama Islam atau watak islam tidak terbatas tujuannya untuk mencapai kebahagiaan alam abadi yang tergambar dalam menerima keridhaan, keampunan rahmat, dan pahalanya, dan juga menerima kenikmatan alam abadi yang telah dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang yang baik dan orang-orang yang bertakwa. Bahkan dilampaui oleh tujuan itu kebahagiaan alam abadi semata-mata kepada mencapai kebahagiaan dunia yang dihalalkan yang membawa kepada kebahagiaan akhirat. Termasuk kebahagiaan dunia, berafiliasi dengan perseorangan, kelebihan-kelebihan jasmaniah yang majemuk menyerupai kesehatan, kekuatan, kecantikan, panjang umur dan lain-lain lagi.







DAFTAR PUSTAKA

K. Bertens. Etika. 2002. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. 2003. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
_____________Kapita Selekta Pendidikan Islam. 2003. Bandung: PT Angkasa Bandung.
Omar Mohammad Al-Toumy Al- Syaibany. Falsafah Pendidikan Islam. 1979. Jakarta: Bulan Bintang.
Ya’qub, Hamzah. Etika Islam: Pembinaan Akhlaqul Karimah. 1988. Bandung: Diponegoro.
Sudrajat, Ajat.  Pendidikan Moral dalam Perspektif Islam pdf.
Zainal Abidin, Ahmad. Konsepsi Negara Bermoral. 1975. Jakarta: Bulan Bintang.








[1] K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2002), Hlm. 139.
[2] Ibid., Hlm. 140-141.
[3] K. Bertens, Op.Cit., Hlm. 142-146.
[4] Hamzah Ya’qub, Pembinaan Akhlaqul Karimah, (Bandung: Diponegoro, 1988), Hlm. 13.
[5] Ahmad Zainal Abidin, Konsepsi Negara Bermoral, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), Hlm. 19-20.
[6] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), Hlm. 89-92.
[7] Ibid., Hlm. 97.
[8] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: PT Angkasa Bandung, 2003), Hlm. 58.
[9] Ajat Sudrajat, Pendidikan Moral dalam Perspektif Islam pdf
[10] Omar Mohammad Al-Toumy Al- Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Hlm. 346-348.
[11] Ibid., Hlm. 350-351.

Sumber http://umin-abdilah.blogspot.com


EmoticonEmoticon