Wednesday, April 24, 2019

√ Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara atau nama aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat ialah bagi Indonesia ialah Bapak Pendidikan Nasional. Masih banyak yang belum memahami konsep pemikiran awal dari seorang Ki Hajar Dewantara wacana Pendidikan untuk Indonesia. Berikut disajikan pemikiran besar dari seorang Ki Hajar Dewantara.

Jika pada jaman kemajuan teknologi kini ini, sebagian besar insan dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, menyerupai pentingnya membangun kekerabatan dengan orang lain, perlunya melaksanakan acara sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain.  Seringkali teknologi yang dibentuk insan untuk membantu insan tidak lagi dikuasai oleh insan tetapi sebaliknya insan yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi insan seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan insan pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada eksistensi eksklusif yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya).

Dalam pendidikan perlu ditanamkan semenjak dini bahwa eksistensi seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab insan tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu insan lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai insan yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !” Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, insan makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang gres dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai eksklusif insan dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya.

Oleh lantaran itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri akseptor didik.

Ki Hajar Dewantara, pendidik orisinil Indonesia, melihat insan lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya insan mempunyai daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan insan seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau menyampaikan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan akseptor didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan hingga kini ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan mengakibatkan insan kurang humanis atau manusiawi.

Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan insan yang membedakannya dengan makhluk lain ialah bahwa insan itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk mengakibatkan insan lebih manusiawi ialah dengan membuatkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam problem kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi insan kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai insan itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.

Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menawarkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari satria yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan akseptor didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi eksklusif yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, gres kemudian menyediakan diri untuk menjadi satria dan juga menyiapkan para akseptor didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama ialah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, gres kemudian sebagai fasilitator atau pengajar.

Oleh lantaran itu, nama Hajar Dewantara sendiri mempunyai makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar ialah seseorang yang mempunyai kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya ialah Kyai Semar (menjadi mediator antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan mediator Tuhan maka guru sejati bergotong-royong ialah berwatak pandita juga, yaitu bisa memberikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.

Manusia merdeka ialah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan eksklusif ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap menyerupai keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa ialah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan membuatkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya ialah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya ialah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada aturan alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya ialah kemerdekaan, merdeka dari segala kendala cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia.

Suasana yang diharapkan dalam dunia pendidikan ialah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu akseptor didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya membuatkan aspek intelektual alasannya akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing eksklusif harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, membuatkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para akseptor didiknya.

Peserta didik yang dihasilkan ialah akseptor didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini ialah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love).

Yang dimaksud dengan insan merdeka ialah seseorang yang bisa berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang bisa menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh lantaran itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat sempurna yaitu “educate the head, the heart, and the hand”. Guru yang efektif mempunyai keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam korelasi (relasi dan komunikasi) dengan akseptor didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga kekerabatan dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi manajemen sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu mencakup antara lain: cita-cita untuk memperbaiki diri dan cita-cita untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan cita-cita untuk melayani masyarakat.

Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, kekerabatan sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta bisa menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap akseptor didik.

Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan ialah memanusiakan insan muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, mempunyai kegunaan dan besar lengan berkuasa di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian.

Demikian sajian gosip mengenai Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Semoga Bermanfaat !!!

Sumber http://www.tozsugianto.com/


EmoticonEmoticon