Sunday, November 10, 2019

√ Makalah Ushul Fiqh Perilaku Kaum Muslimin Terhadap Ijtihad Mujtahid (Ulama) (Taqlid, Ittiba’, Talfiq, Ifta’ Dan Madzhab)



BAB I
Pendahuluan
Setiap umat Islam yang sudah terkena beban taklif, wajib menjalankan syariat Islam pada setiap acara kehidupannya. Dasar yang menjadi pedoman pelaksanaan tersebut ialah al-Qur’an dan as-Sunnah. Tetapi setiap mukallaf sanggup menggali kedua sumber tersebut untuk dijabarkan dalam kegiatan hidupnya, lantaran melihat kenyataan bahwa insan ini berbeda tingkat intelektualitasnya dalam setiap bidang dan mengingat sulitnya perangkat yang harus dimiliki oleh seorang penggali aturan (mujtahid). Akibatnya, tidak semua insan mendapatkan ketentuan aturan dari sumber aslinya, tetapi melalui para mujtahid yang sanggup mengistinbatkan aturan dari sumber aslinya itu.
Orang awam yang tidak bisa menggali aturan Islam sendiri atau belum hingga pada tingkatan sanggup mengistinbatkan sendiri hukum-hukum Islam, maka diperbolehkan bagi mereka mengikuti pendapat-pendapat dari para mujtahid yang dipercayainya. Dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan perihal “Taqlid, Ittiba, Talfiq, ifta’ dan Madzhab”, yang meliputi pengertian dan hukum-hukumnya, serta syarat-syarat dan alasannya ialah terjadinya.














BAB II
Pembahaasan
A.    TAQLID
1.      Pengertian Taqlid
Kata taqlid berasal dari kata qaladah (kalung), yaitu sesuatu yang lain dikalungi olehnya. Sedangkan definisi taqlid berdasarkan ulama adalah:
a.       Al-Ghazali mendefinisikan taqlid ialah mendapatkan ucapan tanpa hujjah.
b.      Al-Asnawi mendefinisikan taqlid ialah mengambil perkaraan orang lain tanpa dalil.
c.       Ibn Subki mendefinisikan taqlid ialah mengambil suatu perkaraan tanpa mengetahui dalil. [1]
Dengan demikian essensi taqlid ialah :
1.      Beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.
2.      Ucapan atau pendapat orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujjah.
3.      Tidak mengetahui hujjah dari pendapat yang diikutinya itu.

2.      Hukum Bertaqlid
Taqlid itu ada yang haram dan haram kita memperlihatkan fatwa berdasarkan paham tersebut. Namun, ada yang wajib, dan ada pula yang boleh kita anut. [2]
·         Taqlid yang haram, yang disepakati oleh seluruh ulama ada tiga jenis, yaitu:
a.       Taqlid Buta. Yaitu Taqlid semata-mata mengikuti moral kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang dahulu kala yang bertentangan dengan Alquran dan hadis. Hal ini terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 170, yang berarti “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah swt.” Mereka menjawab, “(tidak) kami hanya mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya), padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apapun dan menerima petunjuk.”
b.      Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
c.       Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, menyerupai menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, kekuasaan atau keahlian berhala tersebut.
·         Taqlid yang wajib. Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw.
·         Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum hingga pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, berdasarkan ia taqlid ialah sesuatu yang mubah dan diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum hingga pada tingkatan an-nazhr atau tidak mempunyai kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak mempunyai keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan aturan dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas. [3]

3.      Syarat-Syarat Taqlid
Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi.[4] Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut :
a.       Syarat-syarat orang yang bertaqlid
Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari aturan syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Adapun orang yang pintar dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka berdasarkan suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pintar lainnya.
b.      Syarat-syarat yang ditaqlid
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya ialah aturan yang bekerjasama dengan syara. Dalam aturan nalar tidak boleh bertaqlid pada orang lain, menyerupai mengetahui adanya Dzat yang membuat alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga aturan nalar lainnya, lantaran jalan tetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal. Ibn al-humman menandakan kesepakatan ulama perihal bolehnya bertaqlid kepada seorang dari kalangan mahir ilmu yang di ketahuinya bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk berijtihad dan mempunyai sifat adil (pengertian a’dil disini mengandung maksud khusus yaitu ‘adil dalam pengertian periwayatan hadist, bukan dalam pengertian peradilan), yaitu seorang yang mempunyai kriteria (sifat) sebagai berikut:
a.       Tidak pernah melaksanakan dosa besar.
b.      Tidak sering melaksanakan dosa kecil.
c.       Selalu menjaga muru’ah atau harga diri.

Pengetahuan terhadap kemampuan seseorang untuk berijtihad dan mempunyai sifat adil  tersebut sanggup diperoleh melalui kepopuleran orang itu. Juga diperoleh dari gosip perihal dirinya, atau diketahui melalui kedudukannya, dan orang-orang sering meminta fatwa kepadanya serta menghormati kedudukanya.
Menurut kalangan ulama syafi’iyah bahwa pendapat yang ashah (paling tepat) ialah mengusut perihal keilmuannya dengan cara bertanya kepada orang-orang dan untuk mengetahui keadilannya cukup dari keadilan berdasarkan lahirnya tanpa perlu memeriksa.
Bila dua persyaratan tersebut (berilmu dan ‘adil) tidak terdapat pada seseorang, maka tidak boleh bertaqlid kepadanya. Para ualama setuju bahwa bila diduga besar lengan berkuasa ia tidak mempunyai satu diantara keduanya, maka orang awam tidak boleh bertanya atau bertaqlid kepadanya. Pendapat lainnya menyampaikan bila yang tidak diketahuinya dari orang itu ialah perihal keilmuannya, maka tidak boleh minta fatwa dan bertaqlid kepadanya.

B.     Ittiba

1.            Pengetian Ittiba
Ittiba artinya berdasarkan atau mengikut. Kata Ittiba’ (الٍّإثِبَاعُ) secara bahasa artinya mengikuti yang diambil dari kata (ثَبِعَ - يَثْبَعُ) , dalam contoh bahasa arab kata (الٍّإثِبَاعُ) berwazan Masdar, Menurut istilah agama yaitu mendapatkan ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang sanggup dijadikan hujjah. Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang tiba dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang tiba dari tabiin yang mendatangkan kebajikan. [5] sedangkan secara isltilah yaitu:
(قَبُوْلُ قَوْلِ الْقَايِلِ وَأَنْثَ ثَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ)   yang artinya ”Menenrima Perkataan (Hujjah) Ulama, dan kita mengetahui darimana sumbernya”.[6] 
Sedangkan berdasarkan para mahir ushul fiqh ialah mendapatkan atau mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melaksanakan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun.
Antara taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap maupun perilakunya. Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.[7]
2.            Dasar Hukum dan Hukum Ittiba
Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan aturan daripadanya ialah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak didapatkan nash-nash yang memerintahkan semoga kita ittiba, mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang diikuti dan mencela taqlid bagi orang-orang yang mempunyai syarat untuk ijtihad.[8]
Ittiba dalam agama disuruh sebagaimana dalam firman Allah SWT surah An-Nahl ayat 43 yang berbunyi :
 فَسۡ‍َٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٤٣ ….
“…..maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jikalau kau tidak mengetahui  (An-Nahl: 43)
Maksud ayat diatas ialah kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk bertanya mengenai hal-hal keagamaan (apabila kita tidak mengetahui/paham perihal hal tersebut) kepada Ahl Dzikr. Siapa Ahl Dzikr itu? Menurut Abdul Hamid Hakim dalam kitab Al-Bayannya menjelaskan Ahl Dzikr itu ialah Ahlul Qur’an Wal Sunnah yaitu orang-orang yang paham perihal ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi, atau dalam tafsiran kini Ahl Dzikr juga bisa mencangkup Ulama, Mu’allim, Ustadz bahkan Dosen.[9] Mengapa kita diperintahkan untuk bertanya kepada Ahl Dzikr lantaran Merekalah orang-orang yang dianugeraahi Allah SWT kemampuan atau kekuatan mengenai pengetahuan Agamanya, sebagaimana firman Allah Azza Wa Jalla:
 .…وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٤٤
”Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, semoga kau menerangkan pada umat insan apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (An-Nahl: 44)
Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya, “Wajib kau turut sunnahku (cara) dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”. (HR Abu Daud). [10]
Kata ittiba ini penggunaannya lebih baik daripada penggunaan kata taqlid, lantaran al-Quran sendiri menggunakan kata-kata ittiba berkaitan dengan hal-hal yang terpuji dan disyariatkan. Misalnya menyerupai yang terdapat pada ucapan Ibrahim kepada ayahnya  dalam surah Maryam ayat 43 yang berbunyi :
 يَٰٓأَبَتِ إِنِّي قَدۡ جَآءَنِي مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَمۡ يَأۡتِكَ فَٱتَّبِعۡنِيٓ أَهۡدِكَ صِرَٰطٗا سَوِيّٗا ٤٣
“Wahai bapakku, Sesungguhnya telah tiba kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak tiba kepadamu, Maka ikutilah Aku, pasti saya akan memperlihatkan kepadamu jalan yang lurus.”
Ayat ini memperlihatkan bahwa orang yang tidak mengetahui dianjurkan untuk mengikuti orang alim dalam masalah yang tidak diketahuinya sendiri.
Demikian juga kita dapatkan dalam dongeng Musa bersama seorang hamba yang saleh yang terkenal denga nama Khidhr. Tentang dongeng Musa ini Allah SWT berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 65-66 yang berbunyi :
فَوَجَدَا عَبۡدٗا مِّنۡ عِبَادِنَآ ءَاتَيۡنَٰهُ رَحۡمَةٗ مِّنۡ عِندِنَا وَعَلَّمۡنَٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلۡمٗا ٦٥ قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلۡ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدٗا ٦٦
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah saya mengikutimu supaya kau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
Musa telah memohon kepada Khidhr as semoga diizinkan untuk mengikutinya dan mengajarkannya apa yang telah Allah ajarkan kepadanya. Hal ini memperlihatkan bukti bahwa mengikuti orang yang lebih mengetahui dalam sebagian permasalahan bukanlah hal yang tercela.
Berdasarkan firman-firman Allah SWT yang terdapat dalam al-Quran ini dan juga ada hadis dari Nabi SAW, maka jelaslah bahwa ittiba ini dianjurkan atau tidak dilarang. Maka dari itu sudah seyognya kita untuk berguru kepada Ahl Dzikr, dan dari pemamaparan diatas sanggup kami simpulkan bahwasannya Ittiba’ itu boleh bahkan dianjurkan.

C.    TALFIQ
1.      Pengertian Talfiq
Kata talfiq berasal dari kata laffaqa yang artinya mempertemukan menjadi satu. Talfiq berdasarkan arti harfiahnya ialah tambal sulam. Ia diumpamakan menyerupai tindakan manambal sulam potongan-potongan kain untuk dijadikan sepotong baju yang utuh, atau menyerupai kita mengumpulkan bermacam-macam hal dari banyak sekali tempat dan kemudian disusun untuk dijadikan sesuatu bentuk yang utuh.
Sedangkan talfiq berdasarkan istilah ialah mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda. Dengan kata lain talfiq itu ialah menentukan pendapat dari banyak sekali pendapat yang berbeda dari kalangan mahir fiqh.[11] Atau definisi lainnya yaitu menuntaskan suatu masalah (hukum) berdasarkan aturan yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.[12] Apabila dihubungkan dengan mazhab-mazhab tertentu, maka seseorang bisa menggunakan pendapat sesuatu mazhab dalam sesuatu persoalan, dan bisa pula menggunakan mazhab lainnya dalam problem yang lain lagi, dengan syarat tidak ada hubungan antara kedua problem tersebut dan tidak bermaksud mencari-cari yang mudah-mudah saja. Pengambilan dari berbagai-bagai mazhab dalam berbagai-bagai problem sebagaimana telah dikatakan di atas, ialah boleh. Tetapi mengenai satu problem saja, apakah bagian-bagiannya bisa diambil dari berbagai-bagai mazhab, sehingga pendapat dalam satu problem merupakan adonan dari berbagai-bagai mazhab, dan inilah yang disebut dengan talfiq, dalam hal ini ada beberapa pendapat.[13]
Contohnya menyerupai dua orang pria dan wanita melaksanakan kesepakatan nikah, tanpa wali dan saksi, cukup dengan melaksanakan pengumuman saja. Dasar pendapat mereka ialah dalam hal wali mereka mengikuti pendapat madzhab Hanafi. Menurut pendapat Hanafi syah nikah tanpa wali. Sedang mengenai persaksian, mereka mengikuti pendapat madzhab Maliki. Menurut madzhab Maliki syah ijab kabul tanpa saksi, cukup dengan pengumuman saja. Bila demikian hanya sanggup disimpulkan bahwa syah nikah tanpa wali dan saksi asal ada pengumuman saja.  
 www.umin-abdilah.blogspot.com
2.      Hukum Talfiq
Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai aturan talfiq ini, yakni boleh atau tidaknya seseorang berindah mazhab, baik secara keseluruhan maupun sebagian mereka terbagi kepada tiga pendapat[14]. Pendapat tersebut ialah sebagai berikut :
·         Pendapat pertama, menyampaikan bila seseorang telah mempunyai (memilih) salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah dipilihnya itu. Ia tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian.
Keadaan orang itu sama dengan seorang mujtahid manakala sudah menentukan salah satu dalil maka ia harus tetap beregang pada dalil itu. Sebab dalil yang dipiihnya itu ialah dalil yang dipandangnya kuat, sebaliknya dalil yang tidak dipilihnya ialah dalil yang dipandangnya lemah. Pertimbangan rasio dalam kondisi menyerupai itu menghendaki orang yang bersangkutan untuk mengamalkan dalil yang dipandangnya besar lengan berkuasa dan memertahankannya. Atas dasar ini maka talfiq hukumnya haram. Golongan ini dipelopori oleh sebagian dari ulama Syafiiyah terutama Imam Al-Quffal Syasyi.
·         Pendapat kedua, menyampaikan bahwa seseorang yang telah menentukan salah satu mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk mencari dispensasi dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu masalah aturan yang berdasarkan mazhab pertama dan mazhab kedua sama-sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka talfiq sanggup dibenarkan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Al-Qarafi ulama besar dari Malikiyah.
·         Pendapat ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah menentukan salah satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke mazhab lain, walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri kalau disuruh menentukan antara dua masalah ia menentukan yang paling mudah selama hal itu tidak membawa dosa. Di dalam salah satu hadisnya juga dikatakan bahwa, ia senang mempermudah urusan umatnya, juga ada hadis yang menyampaikan bahwa agama iwww.umin-abdilah.blogspot.comtu mudah. (penulis tidak menemukan teks hadis ini).
Maka berdasarkan pendapat ini dengan berdasarkan alasan di atas talfiq hukumnya mubah (boleh). Golongan ini dipelopori oleh Imam Al-Kamal Humam dari ulama Hanafiah, ia berkata, “Tidak boleh kita halangi seseorang mengikuti yang mudah-mudah, lantaran seseorang boleh mengambil mana saja yang enteng apabila ia memperoleh jalan untuk itu”.
Menurut M. Ali Hasan dari segi kemaslahatannya, talfiq diperbolehkan sebagaimana pendapat  Al-Kamal Humam di atas, dengan beberapa alasan yaitu :
·         Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus terikat kepada salah satu mazhab.
·         Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada masalah fiqhiyah.
·         Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu mazhab berarti akan mempersulit umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip aturan Islam yang menyatakan ada fasilitas dan kemaslahatan.
·         Pendapat yang membenarkan harus bermazhab ialah dari para ulama mutaakhirin setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab.
·         Memperbolehkan talfiq tidak hanya akan membawa kelapangan, tetapi akan membawa kepada aturan Islam yang dinamis.
·         Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat, bahwa orang boleh meminta klarifikasi aturan kepada sahabat yang yunior, walaupun ada sahabat yang lebih senior.[15]
Sedangkan Ulama Jumhur mengklasifikasikan talfiq kepada dua macam yaitu:
1)      Talfiq yang dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid (mazhab) dalam beberapa masalah yang berbeda-beda. Mereka beralasan bahwa talfiq sesuai dengan prinsip penetapan aturan yang ditunjukkan syara yaitu tidak menyulitkan. Tetapi fasilitas yang diberikan oleh agama tersebut itu jangan dimudah-mudahkan. Para ulama membolehkan talfiq ini dengan tujuan untuk memperkecil fanatisme terhadap satu mazhab atau menghindarkan perpecahan di kalangan umat Islam. Contohnya seseorang berwhudu berdasarkan syarat-syarat yang dituntut oleh mazhab Syafii kemudian pada saat-saat yang lain dia berwudhu mengambil syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan oleh mazhab Hanafi, ini diperbolehkan lantaran bagi seorang mukallaf diizinkan mengamalkan yang lewww.umin-abdilah.blogspot.combih ringan bila memang tidak ada jalan lainnya. Yakni ia tidak mencabut amal yang telah dikerjakannya berdasarkan satu mazhab untuk diganti berdasarkan mazhab yang lain. Jelasnya wudhu pertama berdasarkan mazhab Syafii telah selesai dan dipergunakan untuk suatu keperluan hingga selesai juga, kemudian wudhu kedua berdasarkan mazhab Hanafi telah selesai dan dipergunakan untuk keperluan yang lain. Biar masalahnya serupa tapi peristiwanya berbeda.

2)      Talfiq yang tidak dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid dalam suatu masalah. Contohnya seorang mengadakan ijab kabul tanpa menggunakan wali berdasarkan mazhab Hanafi dan tanpa menggunakan dua saksi berdasarkan mazhab Imam Malik. Akad nikah yang mereka lakukan ialah fasid (batal) dari dua jurusan. Ia tidak boleh beralasan bahwa agama itu mudah dan tidak menyakitkan. Sebab tempat fasilitas dalam agama itu sudah diketahui oleh orang umum. Dan andaikata fasilitas itu bertempat disembarang tempat secara meluas pasti beban taklif insan akan gugur semuanya. Bagi Ulama yang tidak memperbolehkan talfiq ini mereka ialah kelompok yang berpegang teguh kepada pendapat para Imamnya yang telah dijangkiti penyakit taqlid dan fanatik mazhab.

Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq, semata-mata untuk melaksanakan pendapat itu dan mengambil apa yang paling benar dalam arti setelah meneliti dasar aturan dari pendapat itu dan mengambil apa yang dianggap lebih besar lengan berkuasa dasar hukumnya. Akan tetapi ada talfiq yang tujuanya untuk mencari yang ringan-ringan dalam arti bahwa yang diikuti ialah pendapat yang paling mudah untuk dikerjakan. Sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini dicela para ulama. Makara talfiq intinya kembali pada niat.

D.    IFTA’
1.      Pengertian Ifta’
Ifta’ berasal dari kata afta yang artinya memperlihatkan penjelasan. secara sederhana, ifta’ di rumuskan sebagai “Usaha memberi klarifikasi perihal aturan syawww.umin-abdilah.blogspot.comra’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya”.[16]
Contoh dari ifta’ ialah mengenai aturan hadiah undian, ada tiga bentuk aturan yang menyangkut aturan tersebut salah satunya hukum–hukum yang diperbolehkan syariat hadiah-hadiah yang disediakan untuk memotivasi dan mengajak kepada peningkatan ilmu. Pengetahuan yang bermanfaat dan amal sholeh misalnya, hadiah dalam perlombaan menghafal Al-Quran.
Ciri-ciri dari Ifta’  (berfatwa) adalah:
a.       Usaha memberi penjelasan.
b.      Penjelasan yang di berikan berkaitan dengan aturan syara’ yang diperoleh melalui hasil ijtihad.
c.       Yang memberi klarifikasi ialah orang yang mahir dalam bidang yang dijelaskannya.
d.      Penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum mengetahui hukumnya.[17]

2.      Mufti
3.      Mufti ialah mujtahid. Ada yang berkata mufti ditujukan untuk spesialis fiqih (faqih), lantaran yang dimaksud dengan mufti ialah mujtahid dalam  istilah ulama mahir ushul. Secara global, syarat-syarat mufti sanggup dikelompokan kepada empat cuilan berikut:
·         Syarat umum, yaitu muslim, cukup umur dan tepat akalnya. Karena mufti akan memberikan hal-hal yang berkaitan dengan aturan syara dan pelaksanaanya.
·         Syarat keilmuan, yaitu mengetahui secara baik dalil-dalil sam’i dan mengetahui secara baik dalil-dalil aqli. Mufti harus mahir dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad.
·         Syarat kepribadian, yaitu adil dan sanggup dipercaya.
·         Syarat embel-embel dalam kedudukanya sebagai ulama panutan yang oleh al-Amidi diuraikan antara lain: dengan berfatwa ia bermaksud untuk mendidik untuk mengetahui aturan syara’, bersifat damai atau sakinah, dan berkecukupan.
Imam Ahmad berdasarkan yang dijelaskan oleh ibn al-Qoyyim menambah dengan sifat berikut: mempunyai niat dan i’tikad yang baik, besar lengan berkuasa pendirian dan dikenal ditengah umat. Secara umum, al-Isnawi mengemukakan syarat mufti ialah sepenuhnya syarat-syarat yang berlaku pada seorang perowi hadist,k arena dalam tugasnya mufti memberi klarifikasi sama dengan kiprah perowi.
Kewajiban-kewajiban para Mufti, yaitu:
a.       Tidak memperlihatkan fatwa dalam keadaan sangat marah, atau sangat ketakutan.
b.      Hendaklah dia memowww.umin-abdilah.blogspot.comhon tunjangan kepada Allah agar  menandakan ke jalan yang benar.
c.       Berdaya upaya tetapkan aturan yang diridhai Allah.[18]
Sifat-sifat yang harus dimiliki seorang mufti berdasarkan pendapat Imam Ahmad adalah:
a.       Mempunyai niat dalam memberi fatwa, yakni mencari keridhaan  Allah semata.
b.      Hendaklah dia mempunyai ilmu, ketenangan, kewibawaan, dan sanggup menahan kemarahan.
c.       Hendaklah Mufti itu seorang yang benar-benar menguasai ilmunya.
d.      Hendaklah Mufti itu seorang yang mepunyai kerukunan dalam bidang material.
e.       Hendaklah mufti itu mempunyai ilmu kemasyarakatan.[19]

4.      Fatwa
Fatwa  ialah pendapat atau keputusan mengenai aliran islam yang di sampaikan oleh forum atau perorangan yang diakui otoritasnya, yakni Mufti. Hukum berfatwa berdasarkan asalnya ialah fardhu kifayah. Apabila dalam suatu wilayah hanya ada seorang mufti yang ditanya perihal suatu masalah aturan yang sudah terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hak berfatwa atas mufti tersebut ialah fardhu ain, namun apabila ada mujtahid lain yang kualitasnya sama atau lebih baik atau masalah yang ditanyakan kepadanya bukanlah yang mendesak untuk segera dipecahkan, maka hak berfatwa bagi mufti tersebut ialah adalah fardhu Kifayah.
 www.umin-abdilah.blogspot.com
5.      Mengikuti  (Fatwa) Seorang Mufti    
                        Al-Isnawi dan Ibnu Al-Humman mengklaim bahwa ada kesepakatan ulama perihal tidak bolehnya menarik diri dari seorang mufti untuk mengkuti mufti lain dalam masalah yang sama. Al-Amidi mengutip ijma’ ulama dalam hal ini, Tajahudin Al-Subkhi tidak membolehkan hal ini, tetapi tidak menyebutkan adanya ijma’ ulama, disamping mengecualikan jikalau fatwa yang diterimanya itu belum diamalkannya.
                        Kemudian Tajuddin Al-Subkhi mengemukakan beberapa pendapat  bandingan terhadap pendapat tersebut dalam bentuk pengecualian, yaitu:[20]
a.       Tidak boleh meninggalkan pendapat mufti dengan semata-mata ia telah minta fatwa.
b.      Harus tetap mengikuti pendapat mufti itu jikalau telah diamalkan.
c.       Harus tetap mengikuti mufti itu jikalau yakin akan keshahihan pendapatnya itu.
d.      Harus tetap mengikuti pendapat mufti jikalau tidak menemukan mufti yang lain.
    Bertolak pada pendapat yang membolehkan bermadzhab, bolehkah orang yang bermadzhab itu pindah madzhab. Dalam hal ini terdapat perbedaaan pendapat ulama:
a.       Sebagaian ulama menyampaikan tidak boleh. Karena ia telah menyatakan dirinya untuk mengikuti  madzhab asal mulanya tidak harus.
b.      Ulama lain menyampaikan bolehwww.umin-abdilah.blogspot.com-boleh saja lantaran bermadzhab itu sendiri tidak harus.
c.       Ada juga ulama yang mengambil jalan tengah dengan menyampaikan tidak boleh dalam sebagain masalah dan boleh dalam cuilan lain. Maksudnya, ketidakbolehan itu tidaklah mutlak.

E.     MADZHAB
1.      Definisi Madzhab
Kata madzhab ialah isim matan (kata yang memperlihatkan tempat) yang di ambil dari fi’il madhi (kata dasar) dzahaba, berati “pergi”. Dapat juga berarti al-ra’yu, yang artinya “pendapat”. Sedangkan secara terminologi madzhab sanggup di artikan sebagai :
a.       Jalan pikir atau metode yang dipakai seorang mujtahid dalam tetapkan aturan suatu kejadian.
b.      Pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti perihal aturan suatu kejadian.[21]
Jadi madzhab merupakan pokok pikiran/dasar yang dipakai oleh Imam Madzhab dalam memecahkan masalah/mengistinbahtkan aturan islam.

2.      Latar Belakang Timbulnya Madzhab dan Dampaknya Terhadap Fiqih
Taqlid merupakan salah satu dampak dari lahirnya madzhab. Sebelum adanya madzhab, para ulama bahkan umat Islam secara keseluruhan mempunyai kebebasan untuk mengikuti pendapat siapa yang dikehendakinya. Namun, setelah pintu ijtihad dinyatakan tertutup  (sekitar pertenghan kurun  ke-4 H), dan para ulama banyak memusatkan perhatiannya kepada pemikiran ulama-ulama tertentu, maka mereka sendiri bahkan umat Islam secara keseluruhan mwww.umin-abdilah.blogspot.comenjadi terpecah-pecah ke dalam beberapa aliran (madzhab). [22]
Munculnya Madzhab-madzhab tersebut menandakan betapa majunya perkembangan aturan islam pada waktu itu. Hal ini terutama disebabkan adanya tiga faktor yang sangat menentukan bagi perkembangan aturan islam setelah wafatnya Rasulullah saw, yaitu :
a.       Semakin luasnya kawasan kekuasaan islam yang meliputi Arab, Irak, Mesir dan lainnya.
b.      Pergaulan kaum muslim dengan bangsa yang ditaklukannya.
c.       Akibat jauhnya negara-negara yang ditaklukanya itu dengan ibu kota khalifah (pemerintahan) islam, sehingga para gubernur, hakim dan ulama harus melaksanakan ijtihad guna memperlihatkan jawaban terhadap problem gres yang dihadapi.

Perbedaan-perbedaan antara satu madzhab dengan yang lainya itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1.      Corak kajian fiqih yang berbeda dasar bijaknya antara aliran tradisional dengan aliran rasional.
2.      Pemahaman ayat yang berbeda.
3.      Berbeda dalam pemakaian al-sunah.
4.      Perbedaan dalam pemakaian kaidah-kaidah ushul. [23]
Madzhab-madzhawww.umin-abdilah.blogspot.comb tersebut menyebar ke seluruh pelosok negara yang berpenduduk muslim. Dengan tersebarnya madzhab-madzhab tersebut, berarti tersebar pula syariat islam ke pelosok dunia yang sanggup mempermudah umat islam untuk melaksanakannya. Selain itu, muncul dan berkembangnya madzhab itu juga mengakibatkan dampak negatif contohnya menipisnya toleransi di kalangan-kalangan pengikut madzhab sehingga timbul persaingan dan permusuhan sebagai jawaban dari fanatisme madzhab yang berlebihan.

3.      Perkembangan dan Macam-Macam Madzhab
Madzhab yang sanggup bertahan dan berkembang terus hingga kini serta banyak diikuti oleh umat islam di seluruh dunia, hanya empat madzhab, yaitu:
1.      Madzhab Hanafi, pendirinya imam Abu Hanifah.
2.      Madzhab Maliki, pendirinya imam Malik.
3.      Madzhab Syafi’i, pendirinya imam Al-Syafi’i.
4.      Madzhab Hanbali, pendirinya imam Ahmad bin Hanbal.

Menurut Khuddari Bek, perkembangan keempat madzwww.umin-abdilah.blogspot.comhab tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1.      Pendapat-pendapat mereka dikumpulkan dan dibukukan.
2.      Adanya murid-murid yang berusaha menyebarluaskan pendapat mereka, mempertahankan dan membelanya.
3.      Adanya kecenderungan jumhur ulama yang menyarankan semoga keputusan yang di putuskan oleh hakim harus berasal dari suatu madzhab, sehingga dalam beropini tidak ada dugaan yang negatif.

Mahzab fiqih yang paling penting sanggup dikelompokan kepada dua macam yaitu mazhzab mahir sunnah wal jama’ah dan mahzab syiah. Mahzab mahir sunah wal jama’ah ini secara terus menerus dijadikan pegangan dan diamalkan oleh dominan kaum muslim hingga sekarang. Mereka itu ialah mahzab empat yaitu mahzab Hanbali, madzhab Syafi’, madzhab Maliki, dan madzhab Hanafi.
Begitu juga, mahzab yang masih bertahan hingga kini ialah madzhab syi’ah. Mereka itu ialah madzhab syi’ah zaidiyah, syi’ah imamiyah, dan syi’ah isma’iliyah.

4.     Pendekatan antar Madzhab pada Zaman Modern
 www.umin-abdilah.blogspot.com
Pada zaman para imam madzhab, kaum muslim mempunyai kebebasan dalam mengikuti pendapat mana yang dikehendakinya. Diantara dampak dari kebebasan ini  tumbuh dan berkembangnya para ulama yang kemudian hari dikenal sebagai pendiri madzhab-madzhab. Zaman keemasan ijtihad dibidang fiqih ini berlangsung sekitar tiga kurun hingga datangnya masa kemunduran ijtihad di bidang fiqih,  sekitar pertengahan kurun ke-4 Hijrah. Setelah masa ini, dominan ulama tidak berani melaksanakan ijtihad secara bebas. Para ulama tersekat-sekat ke dalam beberapa madzhab dan masing-masing hanya memperkuat argumentasi-argumentasi yang dipakai oleh para imam madzhabnya. Dengan demikian, Ilmu fiqih berhenti sedangkan ilmu-ilmu lain yang mendukung Ilmu Fiqih ini berkembang,  menyerupai ilmu ushul fiqih. Kemunduran Fiqih Islam yang berlangsung semenjak pertengahan kurun ke-4 hingga simpulan kurun ke-13 H sering disebut sebagai penutupan pintu ijtihad (Periode Taqlid). Disebut demikian, lantaran sikap dan paham yang mengikuti pendapat para ulama mujtahid sebelumnya dianggap sebagai tindakan yang lumrah. Bahkan dipandang tepat. [24]
Kemudian pada kurun ke-4 Hijrah atau kurun ke-20 Masehi, bermuncullah para ulama yang ulet mengadakan pendekatan antar banyak sekali madzhab dalam pemikiran-pemikiran fiqihnya, menyerupai Syeh Mahmud  Syaltut (w.1963) dengan gerakan taqrib bain al-mazaqib (pendekatan antar madzhab).
Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa pada masa ini terdapat ulama-ulama yang berusaha mengkontekstualkan ketentuan-ketenwww.umin-abdilah.blogspot.comtuan aturan Islam dengan banyak sekali problem hidup dan semoga mereka memegang kendali dalam kehidupan ini. Tanda-tanda kebangkitan kembali pemikiran fiqih atau tanda-tanda pendekatan antar madzhab pada masa modern sanggup dilihat pada sistem mempelajarinya yang berbentuk perbandingan (muqaran) yang objektif, segi-segi penulisannya yang spesifik dalam membahas suatu bidang tertentu.

5.     Peranan Madzhab dalam Pengembangan Hukum Islam
Peran yang besar dalam pengembangan aturan islam madzhab-madzhab fiqih telah melahirkan rumusan-rumusan metodologi kajian aturan yang luas dan komprehensif, sehingga Fiqih Islam tidak hanya bisa membawa persoalan-persoalan kontemporer. Selain itu, berkembangnya madzhab-madzhab fiqih itu membuat aturan islam menjadi fleksibel. [25]





 www.umin-abdilah.blogspot.com








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

·         Ittiba’ ialah mendapatkan atau mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melaksanakan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun.
·         Taqlid ialah perkataan atau pendapat yang diikuti dan diterima itu tidak diketahui dasar dan alasanya apakah ada atau tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Ada 3 macam Taqlid, yaitu taqlid yang haram, taqlid yang dibolehkan, dan taqlid yang wajib.
·         Talfiq ialah mengambil ataun mengikuti aturan dari suatu insiden dengan mengambilnya dari banyak sekali macam madzhab. Mencampur sejumlah pendekatan dari beberapa madzhab yang diperbolehkan, namun seorang praktisi dianjurkan tetap bertahan pada garis pedoman madzhab tertentu.
·         Ifta’ merupakan perjuangan memberi klarifikasi perihal aturan syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya.
·         Madzhab ialah pokok pikiran yang dipakai Imam Madzhab untuk memecahkan masalah-masalah dan mengistinbatkan aturan Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.












Daftar Pustaka
Jumantoro,  Totok   dan Samsul   Munir. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh.  Jakarta: Amzah.
Rohayana, Ade Dedi. 2005. Ushul Fiqh. Pekalongan: STAIN Press.
Rosada,  Dede.  1999.  Hukum  Islam  dan  Pranata   Sosial.  Jakarta:  PT.  Raja Grafindo.
Shiddieqy,  M.  Hasbi  Ash.  1997.  Pengantar  Hukum  Islam.  Semarang:   PT. Pustaka Rizki putra.
Syarifudin, Amir. 2001. Ushul Fiqh. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001)
Hakim, Abdul Hamid. 2010. Al-Bayan¸ (Jakarta: Sayyidah Putra),
Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, 1997. Surabaya : Citra Media.
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh. 2004. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 2004. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, 1995. Jakarta : PT Bulan Bintang




[1]  Amir Syarifuddin, op. Cit, h. 408
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 141
[3] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op.Cit,  hal. 155.
[4] Ibid., hal. 156.
[5] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 163.
[6] Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan¸ (Jakarta: Sayyidah Putra), 2013. Hal.177
[7] Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, (Jakarta : Logos, 1999), hal. 25.
[8] Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997), hal. 164.
[9] Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, Hal. 178
[10] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2003), hal. 60-61.
[11] M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet 4, 2002), hal. 89.
[12] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op. Cit, hal. 164.
[13] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta : PT Bulan Bintang, cet. 7, 1995), hal. 177.
[14]  Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Op. Cit, hal. 165.

[15]  M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2002), hal. 91.

[16] Ibid.,h.327
[17] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Op.Cit., h. 101
[18]  Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddiqi, Op.Cit., h. 168 
[19] M. Hasbi Ash.Shiddieky, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: PT. Karya Unipress, 1994), h. 180.

[20] Ade Dedi Rohyana, Op.Cit., h. 334

[21] Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal. 422
[22] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih (Pekalongan:STAIN Press, 2006), h. 304

[23] Ibid, h.305

[24] Ibid., h.310
[25] Dede Rosada,  Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.1999), h. 160-161

Sumber http://umin-abdilah.blogspot.com


EmoticonEmoticon