Monday, November 11, 2019

√ Pengertian Dan Sejarah Filsafat Pendidikan Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Dalam sejarah kehidupan insan muncul dan berkembang kegiatan insan yang disebut filsafat. Kata filsafat mempunyai sebutan-sebutan lain sesuai dengan bergesernya waktu atau lantaran adanya banyak sekali bahasa di dunia. Namun demikian filsafat sebagai hasil insan berfilsafat masih memperlihatkan adanya kesamaan makna, yaitu kegiatan insan yang lebih banyak memakai salah satu potensi dasar manusia, yaitu kemampuan berpikir. Arti kemampuan berpikir sendiri juga dimaknai dengan banyak sekali arti meskipun secara umum sanggup juga ditemukan makna yang sama, yaitu kemampuan untuk menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah.
Dorongan ingin tahu perihal seluk-beluk dirinya sendiri maupun yang di luar dirinya secara mendalam mengakibatkan sebagian insan melaksanakan kegiatan yang kemudian disebut berfilsafat dan orang yang berfilsafat disebut dengan istilah filosof atau dengan istilah-istilah lain yang maknanya sama. Mereka inilah yang oleh masyarakat dikelompokkan dalam profesi tertentu dan didudukkan dalam posisi yang terhormat lantaran hasil pemikirannya yang dianggap lebih tinggi dari orang kebanyakan dan hasil pemikirannya banyak digunakan sebagai pola dalam kehidupan insan yang mengaguminya. Hasil karya para filosof banyak digunakan sebagai pola dalam penciptaan seni-budaya, pemikiran politik, sosial, ekonomi, pemerintahan, dan juga di bidang pengembangan ilmu pengetahuan.

B.      Rumusan Masalah
1.       Pengertian dan ruang lingkup filsafat dan filsafat pendidikan Islam.
2.       Sejarah timbulnya filsafat dan hal-hal yang mendorong orang berfilsafat.
3.       Metode berfikir dalam filsafat secara umum.



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Filsafat dan Filsafat Pendidikan Islam
Pengertian filsafat dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan, antara satu jago filsafat dan jago filsafat lainnya selalu berbeda. Pengertian filsafat sanggup ditinjau dari dua segi, yakni secara etimologi dan terminology.
1.       Arti Secara Etimologi
Kata filsafat yang dalam bahasa Arab falsafah, dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philosophy, adalah berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia terdiri dari kata philein yang berarti cinta (love) dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom). Seorang filosof yakni pecinta atau pencari kebijaksanaan.[1]
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata fhilo yang berarti cinta, dan kata shopos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Filsafat bukanlah pesan yang tersirat itu sendiri, melainkan cinta terhadap pesan yang tersirat dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan membuat perilaku positif terhadapnya.
Dalam bahasa Indonesia, kata pendidikan berasal dari kata didik yang mendapat awalan pen dan akhiran an. Kata tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal, cara, dan sebagainya). Kata pendidikan dalam bahasa Indonesia terdapat pula pengajaran.
Dari segi bahasa, Islam berasal dari bahasa Arab salima yang kemudian dibuat menjadi aslama. Dari kata ini kemudian dibuat menjadi Islam. Dengan demikian Islam adalah bentuk ism mashdar (infinitif) yang berarti berserah diri, selamat sentosa atau memelihara diri dalam keadaan selamat.
Dari uraian di atas sanggup diketahui bahwa filsafat pendidikan Islam yakni kajian secara filosofis mengenai banyak sekali kasus yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosofis muslim, sebagai sumber sekunder.[2]
2.       Arti Secara Terminologi

Arti terminologi maksudnya yakni arti yang dikandung oleh istilah atau statemen ‘filsafat’, berikut pendapat para filosof dan para jago yang memperlihatkan definisi filsafat dan filsafat pendidikan Islam yakni sebagai berikut:
a.       Pythagoras (572-497 SM.)
Dalam tradisi filsafat zaman Yunani Kuno, Pythagoras yakni orang yang pertama-tama memperkenalkan istilah philosophia, yang kemudian dikenal dengan istilah filsafat. Pythagoras memperlihatkan pengertian filsafat sebagai the love of wisdom. Menurutnya, insan yang paling tinggi nilainya yakni insan pecinta kebijakan (lover of wisdom), sedangkan yang dimaksud dengan wisdom yakni kegiatan melaksanakan perenungan perihal Tuhan. Pythagoras sendiri menganggap dirinya seorang philosophos (pecinta kebajikan), baginya kebijakan yang sesungguhnya hanya dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
b.       Socrates (469-399 SM.)
Ia yakni seorang filosof dalam bidang moral yang terkemuka setelah Thales pada zaman Yunani Kuno. Socrates memahami bahwa filsafat yakni suatu peninjauan diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil dan senang (principels of the just and happy life).
c.       Plato (427-347 SM.)
Seorang sobat dan murid Socrates ini telah mengubah pengertian kearifan (Sophia) yang semula bertalian dengan soal-soal simpel dalam kehidupan menjadi pemahaman intelektuan. Menurutnya, filsafat yakni pengetahuan yang berminat mencapai kehidupan yang asli. Dalam karya tulisya Republika, Plato menegaskan bahwa para filosof yakni pecinta pandangan perihal kebenaran (vision of truth). Dalam pencarian terhadap kebenaran tersebut, hanya filosof yang sanggup menemukan dan menangkap pengetahuan mengenai ilham yang infinit dan tak berubah. Dalam konsepsi Plato, filsafat merupakan pencarian yang bersifat spekulatif atau perekaan terhadap pandangan perihal seluruh kebenaran. Maka filsafat Plato tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Filsafat Spekulatif.
d.       Aristoteles (384-332 SM.)
Aristoteles merupakan salah seorang murid Plato yang terkemuka. Dalam pandangannya, seringkali Aristoteles bersebrangan dengan pendapat gurunya, namun pada prinsipnya Aristoteles menyebarkan paham-paham yang dikemukakan oleh gurunya tersebut. Berkenaan dengan pengertian filsafat, Aristoteles mengemukakan bahwa Sophia (kearifan) merupakan kebajikan intelektual tertinggi. Sedangkan philosophia merupakan padanan kata episteme dalam arti suatu kumpulan teratur pengetahuan rasional mengenai suatu objek yang sesuai. Adapun pengertian filsafat itu sendiri, berdasarkan Aristoteles, yakni ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
e.       Rene Descartes (1596-1650)
Ia memperlihatkan definisi filsafat sebagai kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan insan menjadi pokok penyelidikan.
f.        Imanuel Kant (1724-1804)
Menurutnya filsafat yakni ilmu yang menjadi pokok pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup kasus epistemologi, etika, dan kasus ketuhanan.
g.       Al-Kindi (801-873 M.)
Ia yakni seorang filosof muslim pertama. Menurutnya filsafat yakni pengetahuan perihal hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, lantaran tujuan para filosof dalam berteori yakni mencari kebenaran, maka dalam praktiknya pun harus menyesuaikan dengan kebenaran pula.
h.       Al-Farabi (870-950 M.)
Menurutnya filsafat yakni ilmu yang mengusut hakikat yang sebetulnya dari segala yang ada (al-mauju-dat).
i.        Francis Bacon (1561-1621 M.)
Seorang filosof Inggris ini mengemukakan metode induksi yang berdasarkan pengamatan dan percobaan menemukan kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Ia menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
j.        Henry Sidgwick (1839-1900 M.)
Dalam bukunya yang berjudul “Philosophy, It’s Scope and Relations: An Introductory Course of Lectures”, Henry Sidgwick menyebutkan bahwa filsafat sebagai scientia scientarium (ilmu perihal ilmu), lantaran filsafat mengusut pengertian-pengertian khusus, asas-asas pokok, metode khas, dan kesimpulan-kesimpulan utama dalam suatu ilmu apapun dengan maksud untuk mengkoordinasikan semuanya dengan hal-hal yang serupa dengan ilmu-ilmu yang lainnya.
k.       John Dewey (1858-1952)
Dalam tulisannya yang berjudul: “Role of Philosophy in The History of Civilazations, Proceedings of The Sixth International Congress of Philosophy, ia menganggap filsafat sebagai suatu sarana untuk melaksanakan penyesuaian-penyesuaian antara hal-hal yang usang dengan yang gres dalam adaptasi dalam suatu kebudayaan. Filsafat merupakan suatu pengungkapan dari perjuangan-perjuangan insan dalam usaha yang terus-menerus untuk menyesuaikan kumpulan tradisi yang usang dengan banyak sekali kecenderungan ilmiah dan impian politik yang baru.
l.        Bertrand Russel (1872-1970)
Seorang filosof Inggris lainnya yang mempunyai nama lengkap Bettrand Athur William Russel ini menganggap filsafat ini sebagai kritik terhadap pengetahuan, lantaran filsafat mengusut secara kritis asas-asas yang digunakan dalam ilmu dan dalam kehidupan sehari-hari, dan mencari suatu keselarasan yang sanggup terkandung dalam asas-asas itu.
m.     M. J. Lengeveld
Ia mengemukakan bahwa filsafat yakni ilmu yang mengkaji perihal masalah-masalah yang simpulan dan yang menentukan, yaitu masalah-masalah yang berkenaan dengan makna keadaan atau hakikat, perihal Tuhan, keabadian, dan kebebasan.
n.       Harun Hadiwijono
Menurutnya filsafat aadalah usaha insan dengan akalnya untuk memperoleh suatu pandangan dunia dan hidup yang memuaskan hati.
o.       Fuad Hasan
Menurutnya filsafat yakni suatu ikhtiar untuk berpikir radikal untuk hingga kepada kesimpulan yang universal.
p.       Hasbullah Bakry
Ia merumuskan filsafat yakni ilmu yang mengusut segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga sanggup menghasilkan pengetahuan yang mendalam.
q.       Poedjawijatna (1974)
Ia memperlihatkan definisi filsafat sebagai ilmu yang berusaha untuk mencari alasannya yakni yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.
r.        A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua
Mereka mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu perihal bertanya atau berpikir perihal segala sesuatu dari segala sudut pandang, thingking about thingking. Filsafat yakni sebuah perilaku mempertanyakan perihal segala sesuatu, dengan kata lain filsafat yakni sebuah sistem pemikiran yang terbuka untuk dipertanyakan dan dipersoalkan kembali. Filsafat yakni sebuah tanda tanya dan bukan tanda seru. Filsafat yakni pertanyaan bukan pernyataan.[3]
Berikut pengertian filsafat pendidikan Islam berdasarkan Muzayyin Arifin yakni konsep berpikir perihal kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam perihal hakikat kemampuan insan untuk sanggup dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi insan muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh aliran Islam.
Sedangkan berdasarkan Oemar Muhammad al-Taomy al-Syaibany, filsafat pendidikan Islam yakni pelaksanan pandangan filsafat dari kaidah filsafat Islam dalam bidang pendidikan yang didasarkan pada aliran Islam.[4]  
Sebelum kita hendak bekerja, maka kita harus mengerti apa yang akan kita kerjakan itu. Sedang tanpa pengertian perihal apakah yang akan ia lakukan maka orang tak sanggup berbuat. Ia hanya sanggup berbuat bila ia mengerti apa yang diperbuatnya. Maka sebelum kita mempelajari lebih dalam perihal filsafat, hendaknya kita terlebih dahulu mengetahui apakah filsafat itu? Karena sangat sulit kita mempelajari lebih dalam jikalau tidak mengetahui dulu perihal dasarnya.[5]

B.      Ruang Lingkup Filsafat dan Filsafat Pendidikan Islam
Pembahasan perihal ruang lingkup filsafat sebetulnya sama dengan objek filsafat. Objek yakni sesuatu yang merupakan materi dari suatu penelitian atau pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan niscaya mempunyai objek, yang dibedakan menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal.
http://www.umin-abdilah.blogspot.com
1.       Objek Material
Objek material yaitu suatu materi yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Boleh juga objek material yakni hal yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Objek material meliputi apa saja, baik hal-hal yang nyata atau pun hal yang abstrak.[6] Objek materi filsafat terdiri dari tiga problem pokok, yaitu:
a.       Masalah Tuhan, yang sama sekali di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
b.       Masalah alam yang belum atau tidak sanggup dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa.
c.       Masalah insan yang juga belum atau tidak sanggup dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa.[7]
Objek material filsafat pendidikan Islam sama dengan objek filsafat pada umumnya, yaitu segala sesuatu yang ada. Segala sesuatu yang ada meliputi “ada yang tampak” dan “ada yang tidak tampak”. Ada yang tampak yakni dunia empiris, da nada yang tidak tampak yakni alam metafisika.[8]
2.       Objek Formal
Objek formal yaitu sudut pandang yang ditunjukan pada materi dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu disorot. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu nilai, tetapi pada dikala yang sama membedakannya dari bidang lain. Satu objek material sanggup ditinjau dari banyak sekali sudut pandangan sehingga menjadikan ilmu yang berbeda-beda. Misalnya objek materialnya yakni insan dan insan ini ditinjau dari sudut pandangan yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari insan diantaranya psikologi, antropologi, sosiologi, dan sebagainya. Objek formal filsafat yaitu sudut pandangan yang menyeluruh secara umum, sehingga sanggup mencapai hakikat dari objek materialnya.[9]
Objek formal filsafat pendidikan Islam yakni sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan objektif perihal pendidikan Islam untuk sanggup diketahui hakikatnya. Objek formal filsafat pendidikan Islam dibagi dalam dua kerangka yaitu, makro dan mikro. Yang dimaksud makro disini yakni melihat filsafat pendidikan Islam dari sudut teoritis-filisofis, yaitu yang menjadi ruang lingkup yakni objek formal filsafat itu sendiri (Tuhan, manusia, dan alam). Adapun secara mikro objek kajiannya yakni hal-hal yang merupakan faktor atau komponen dalam proses pelaksanaan pendidikan.[10]
Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik, logis, dan menyeluruh (universal) perihal pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu yang relevan. Jadi, ruang lingkup filsafat pendidikan Islam yakni masalah-masalah yang terdapat dalam dalam kegiatan pendidikan, ibarat kasus tujuan pendidikan, kasus guru, kurikulum, metode dan lingkungan.
Dengan demikian, secara umum ruang lingkup filsafat pendidikan Islam ini yakni pemikiran yang serba mendalam, mendasar, sistematis, terpadu, logis, menyeluruh dan universal mengenai konsep-konsep tersebut mulai dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, guru, metode,http://www.umin-abdilah.blogspot.com
 lingkungan, dan seterusnya.[11]

C.     Sejarah Timbulnya Filsafat
Sejarah lahirnya dan perkembangan filsafat sama tuanya dengan sejarah kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan yang muncul pada masa peradaban kuno. Asal muasal lahirnya filsafat yakni dalam upaya mencari kebenaran, mengusut hakikat yang sebetulnya mengenai segala sesuatu secara sungguh-sungguh. Sama halnya dengan filsafat, bahwa ilmu itu mengejar kebenaran,http://www.umin-abdilah.blogspot.com
 artinya ilmu pengetahuan berusaha untuk mencapai persesuaian antara pengetahuan dengan objeknya. Filsafat tidak mengingkari adanya wahyu, namun tidak mendasarkan penyelidikannya kepada wahyu, tetapi pada penyelidikannya sendiri, berdasarkan pikiran belaka.
Dalam sejarah filsafat biasanya filsafat Yunani disebutkan sebagai pangkal sejarah filsafat Barat.  Di tanah Yunani semenjak lama, sebelum permulaan tahun masehi, ali-ahli pikir mencoba menerka perihal adanya alam semesta. Mereka mencari tahu perihal apa yang menjadi asal mula alam semesta beserta isinya.
Pada periode ke-6 sebelum masehi (SM) bermunculan para pemikir yang kepercayaan yang bersifat rasional ini memungkinkan insan menyebarkan potensi dan budayanya dengan bebas, sekaligus sanggup menyebarkan pemikirannya untuk menghadapi dan memecahkan banyak sekali materi kehidupan alam dan kebijaksanaan pikiran.
Ahli pikir yang pertama kali muncul yakni Thales (±625-545 SM) yang berhasil menyebarkan geometri dan matematika, Socrates menyebarkan teori moral, Plato menyebarkan teori perihal ide, Aristoteles menyebarkan teori yang menyangkut dunia dan benda.
Baru pada periode ke-6 Masehi sudah mulai berubah, semenjak masa inilah didirikan sekolah-sekolah yang memberi pelajaran gramatika, dialektika, geometri, aritmatika, astronomi, dan musik. Keadaan yang demikian akan mendorong perkembangan pemikiran filsafat pada periode ke-13 yang ditandai dengan berdirinya universitas-universitas. Pada universitas inilah mereka mengabdikan dirinya untuk kemajuan ilmu dan agama. Di kalangan para jago pikir Islam, pada periode pertengahan ini, muncul pemikir-pemikir Islam kenamaan ibarat Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Bajjah, Ibn Tufail, Ibn Rusyd. Periode ini berlangsung tahun 850-1200, di mana pada masa itulah kejayaan Islam berlangsung dan ilmu pengetahuan berkembang pesat hingga runtuhnya kerajaan Islam di Granada Spanyol tahun 1492.
Masa berikutnya dikenal dengan masa periode modern. Pada masa periode modern ini pemikiran filsafat berhasil menempatkan insan pada daerah yang sentral dalam pandangan kehidupan, sehingga corak pemikirannya disebut antroposentris, yaitu corak pemikiran filsafat yang mendasarkan pada kebijaksanaan pikir dan pengalaman. Pemikiran filsafat diupayakan lebih bersifat praktis, artinya pemikiran filsafat diarahkan pada upaya insan semoga sanggup menguasai lingkungan alam dengan memakai banyak sekali inovasi ilmiah.
Rene Descartes (1596-1650) dianggap sebagai bapak filsafat modern yang berhasil melahirkan suatu konsep dari paerpaduan antara metode ilmu alam dengan ilmu niscaya ke dalam pemikiran filsafat.
Pada periode ke-18 perkembangan pemikiran filsafat mengarah pada filsafat ilmu pengetahuan, di mana pemikiran filsafat diisi dengan upaya insan untuk mencari kebenaran dan kenyataan. Tokohnya antara lain adadlah JJ. Rousseau (1722-1778).
http://www.umin-abdilah.blogspot.com
Di Jerman muncul pemikir populer berjulukan Immanuel Kant (1724-1804) yang mengupayakan semoga filsafat menjadi ilmu pengetahuan yang niscaya dan berguna, yaitu dengan cara membenarkan pengertian-pengertian yang terang dan bukti yang kuat. Pada periode ke-19 muncul tokoh-tokoh populer lainnya dari banyak sekali belahan dunia dengan pemikiran filsafatnya yang beragam, sehingga bisa membentuk suatu kepribadian tiap-tiap bangsa, mereka antara lain yakni Hegel (1770-1857), Karl Marx (1818-1883), August Comte (1798-1857), John Dewey (1858-1952).
Yang terakhir, pembabakan sejarah filsafat ini yakni apa yang dikenal dengan filsafat remaja ini. Filsafat remaja ini atau filsafat periode ke-20, yang juga disebut filsafat kontemporer. Ciri khas pemikiran filsafat kontemporer yakni desentralisasi insan lantaran pemikiran filsafat periode ke-20 ini memberi perhatian yang khusus kepada bidang bahasa dan etika sosial. Dalam bidang bahasa terdapat pokok-pokok masalah, yaitu arti kata-kata dan arti pernyataan-pernyataan. Masalah ini muncul lantaran realitas kini ini banyak bermunculan banyak sekali istilah yang cara pemakaiannya sering tidak dipikirkan secara mendalam, sehingga menjadikan tafsiran yang berbeda-beda (bermakna ganda). Bidang etika sosial memuat pokok-pokok kasus apakah yang semestinya kita lakukan di dalam masyarakat remaja ini.
Kemudian pada awal periode ke-20 ini timbul aliran-aliran kefilsafatan ibarat neo-helenisme, neo-positivisme, kritik ilmu, dan rasionalisme. Sementara itu pada simpulan periode ke-20 muncul aliran kefilsafatan yang lebih sanggup memperlihatkan corak pemikiran remaja ini, ibarat filsafat analitik, filsafat eksistensi, strukturalisme, dan kritik sosial.[12]

D.     Hal-hal yang Mendorong Orang Berfilsafat
Ada tiga hal yang mendorong insan untuk berfilsafat, yaitu sebagai berikut:
1.       Keheranan
Banyak filsuf memperlihatkan rasa heran (dalam bahasa Yunani thaumasia) sebagai asal filsafat. Plato misalnya, mengatakan: “Mata kita memberi pengamatan bintang-bintang, matahari, dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan untuk menyelidiki. Dari penyelidikan ini berasal filsafat.
2.       Kesangsian
Filsuf-filsuf lain, ibarat Augustinus (254-430 M) dan Rene Descartes (1596-1650 M) memperlihatkan kesangsian sebagai sumber utama pemikiran. Manusia heran, tetapi kemudian ia ragu-ragu. Apakah ia tidak ditipu oleh pancaindranya kalau ia heran? Apakah kita tidak hanya melihat yang ingin kita lihat? Di mana sanggup ditemukan kepastian? Karena dunia ia penuh dengan banyak sekali pendapat, keyakinan, dan interpretasi.
3.       Kesadaran Akan Keterbatasan
Manusia mulai berfilsafat bila ia menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah terutama bila dibandingkan dengan alam sekelilingnya. Manusia merasa bahwa ia sangat terbatas dan terikat terutama pada waktu mengalami penderitaan atau kegagalan. Dengan kesadaran akan keterbatasan dirinya, insan mulai berfilsafat. Ia mulai memikirkan bahwa di luar insan yang terbatas niscaya ada sesuatu yang tidak terbatas.[13]
4.       Kebutuhan
Perut yakni organ insan yang membutuhkan asupan berupa masakan dan minuman. Pun begitu dengan otak manusia, otak insan pun membutuhkan hal-hal yang diperlukan otak untuk asupan berupa pengetahuan semoga mendapat kepuasan batin, terutama pengetahuan filsafat yang merupakan pokok asupan untuk sebuah otak manusia. Sebab itulah insan selalu terdorong untuk berfilsafat dan terus berfilsafat tiada hentinya hingga otak itu terhenti baik karna mati jiwa raganya ataupun tidak berfungsi secara khusus dalam artian lupa ingatan (amnesia), mengalami kegilaan, ataupun tertidur sesaat.
5.       Tuntutan Hidup
Hidup ini sangat menuntut insan semoga menjadi insan yang baik, bijaksana, dan sukses. Dengan berfilsafatlah setiap insan sanggup menjawab tuntutan hidupnya dan menjadi insan yang bijaksana, dipandang baik, mempunyai kharisma yang tinggi dan disegani oleh masyarakat, juga sanggup menuntaskan masalah-masalah hidup dengan cara penyelesaian yang baik.
6.    Tuntutan Masyarakat  http://www.umin-abdilah.blogspot.com
Setiap mahluk hidup mempunyai kebutuhan-kebutuhan untuk dirinya tersendiri, namun satu individu yang berkumpul menjadi satu dalam satu wilayah atau biasa disebut masyarakat, maka masyarakatpun membutuhkan suatu kebutuhan untuk kepuasan bersama. Termasuk berfilsafat, masyarakat terdorong untuk berfilsafat semoga kebutuhan masyarakat dalam satu wilayah itu terpenuhi semoga mereka nyaman kondusif dan puas dalam hidup bermasyarakat,  lantaran dengan berfilsafat sanggup membuat kehidupan bermasyarakat menjadi lebih baik. Termasuk bernegara yang baik, Negara yang baik niscaya mempunyai falsafah yang baik. Walaupun tidak semua Negara yang mempunyai falsafah yang baik akan menjadi Negara yang baik, tapi niscaya Negara yang baik mempunyai falsafah yang baik.
7.       Tuntutan zaman
Semakin tuanya bumi ini semakin canggihnya tekhnologi dan semakin hingar bingarnya manusia, seseorang menjadi lebih terdorong berfilsafat untuk menyesuaikan dirinya dengan zaman yang semakin elite ini, semoga otak insan selalu ter-Upgrade dan tidak ketinggalan zaman dalam berfikir.
8.       Persaingan Antar Filsuf di Dunia
Berjuta fisuf-filsuf di dunia yang terkemuka, telah mengutarakan apa yang ada di dalam pikiranya kepada para penduduk dunia, dengan pandangannya, pendapatnya, dan filsafatnya, para filsuf menjadi popular, diakui keilmuannya, disegani oleh masyarakat dunia, dipandang sebagai orang yang tinggi kedudukannya dan kebijaksanaanya. Hal inilah yang menjadikan semangat dari seorang filsuf lainnya untuk berlomba menjadi yang terbaik di mata masyarakat dunia dengan falsafahnya. Dan persaingan ini akan terus berlanjut dan tiada hentinya hingga berakhirnya kehidupan di bumi ini.
9.    Menjadi Pemenang
Seseorang mengerahkan kemampuannya untuk menjadi yang terbaik di antara pesaing lain yang baik (best of the best), seseorang pemenang tidak dipungkiri lagi ialah orang yang telah menata hidupnya, berpikir sekeras mungkin, membuat prisip-prinsip hidup yang baik semoga menjadi yang terbaik, berlatih, mengasah kemampuan sekian lamanya tentu harus mempunyai filsafat yang berpengaruh semoga tetap melaksanakan mekanisme sebelum menjadi seorang pemenang.

E.      Metode Berpikir dalam Filsafat
Kata metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan meta (ialah menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (ialah jalan, perjalanan, cara, arah). Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak berdasarkan sistem hukum tertentu.
Runes dalam Dictionary of Philosophy menguraikan sepanjang sejarah filsafat telah dikembangkan dejumlah metode-metode filsafat yang berbeda dengan cukup jelas. Yang paling penting sanggup disusun berdasarkan garis historis sedikitnya ada 10 metode, yaitu:
1.       Metode Kritis: Socrates, Plato
Metode kritis yakni cara kerja atau bertindak yang bersifat analitis. Metode ini dilakukan dengan cara melaui percakapan-percakapan (dialog). Dengan cara percakapan atau obrolan tersebut, Socrates menemukan suatu cara berpikir induksi, yaitu berdasarkan beberapa pengetahuan mengenai masalah-masalah khusus memperoleh kesimpulan pengetahuan yang bersifat umum.[14]
2.       Metode Intuitif: Plotinus, Bergson
Dengan jalan instrospeksi intuitif, dan dengan pemakaian simbol-simbol diusahakan pencucian intelektual (bersama dengan persucian moral), sehingga tercapai suatu penerangan pikiran.
3.       Metode Skolastik: Aristoteles, Thomas Aquinas, Filsafat Abad Pertengahan
Bersifat sintesis-deduktif. Dengan bertitik tolak dari definisi-definisi atau prinsip-prinsip yang terang dengan sendirinya, ditarik kesimpulan-kesimpulan.
4.       Metode Geometris: Rene Descartes dan Pengikutnya
Melalui analisis mengenai hal-hal kompleks, dicapai intuisi akan hakikat-hakikat sederhana (ide terang dan berbeda yang lain), dari hakikat-hakikat itu dideduksikan secara matematis segala pengertian lainnya.
5.       Metode Empiris: Hobbes, Locke, Berkeley, David Hume
Hanya pengalamanlah yang menyajikan pengertian benar, maka semua pengertian (ide-ide) dalam introspeksi dibandingkan dengan cerapan-cerapan (impresi) dan kemusian disusun bersama secara geometris.
6.       Metode Transendental: Immanuel Kant, Neo-Skolastik
Bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu, dengan jalan analisis diselidiki syarat-syarat apriori bagi pengertian sedemikian.
7.       Metode Fenomenologis: Husserl, Eksistensialisme
Dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction), refleksi atas fenomin dalam kesadaran mencapai penglihatan hakikat-hakikat murni.
8.       Metode Dialektis: Hegel, Marx
Dengan jalan mengikuti dinamik pikiran atau alam sendiri, berdasarkan triade tesis, antiiesis, sintesis dicapai hakikat kenyataan.
9.       Metode Neo-positivistis
Kenyataan dipahami berdasarkan hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturan-aturan ibarat berlaku pada ilmu pengetahuan positif (eksakta).
10.   Metode Analitika Bahasa: Wittgenstein
Dengan jalan analisi pemakaian bahasa sehari-hari ditentukan sah atau tidaknya ucapan-ucapan filisof.[15]



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Filsafat yakni cinta akan hikmah. Hikmah itu yakni benda yang hilang bagi orang mukmin, ia memungutnya dimana ia berjumpa. Dengan menambah kata cinta pada kata pesan yang tersirat maka jelaslah bagi kita bahwa yang diusahakan oleh filosof itu ialah hikmah. Filsafat pendidikan yaitu pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam bidang pengalaman kemanusiaan yang disebut pendidikan. Maka filsafat pendidikan berusaha mengecam proses pendidikan dan berusaha untuk menjelaskan dan menunjukan supaya pengalaman kemanusiaan ini sesuai dengan kehidupan baru.
Filsafat pendidikan Islam yaitu kegiatan pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan sesuai dengan aliran agama Islam pada umumnya. Dari segi lain filsafat pendidikan sanggup membentuk asas yang sanggup ditentukan pandangan pengkajian yang umum dan yang khas. Kurikulum perlu dibuat, kaidah-kaidah pengajaran dipilih antara yang digunakan di sekolah-sekolah, sekolah guru, universitas dan institute-institut. Begitu juga dengan kebijaksanaan cara-cara pelaksanaan yang ingin diikuti dalam mengajar dan dalam usaha menuntaskan masalah-masalah belajar.




[1] Surajino, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), hlm. 3.
[2] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 1-15.
[3] A. Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), hlm. 2-5.
[4] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 15.
[5] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat , (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), hlm. 46.
[6] Surajino, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), hlm. 7-9.
[7] Prasetya, Filsafat Pendidikan untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 32.
[8] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 39.
[9] Surajino, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), hlm. 7-9.
[10] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 42.
[11] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 16.
[12] A. Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), hlm. 30-35.
[13] Surajino, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), hlm. 16.
[14] A. Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), hlm. 13.
[15] Surajino, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), hlm. 10.

Sumber http://umin-abdilah.blogspot.com


EmoticonEmoticon