Konsep Perkembangan Moral pada Manusia
Perkembangan sosial hampir sanggup dipastikan juga dengan perkembangan moral, alasannya perilaku moral pada umumnya merupakan unsur mendasar dalam tingkah laku sosial. Sebagai contoh, seorang individu hanya akan bisa berperilaku sosial dalam situasi sosial tertentu secara memadai apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diharapkan untuk situasi sosial tersebut. Sebagaimana seorang anak ketika dilahirkan nampak bagaikan tidak mempunyai moral (imoral), akan tetapi dalam diinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (orang tua, saudara dan sahabat sebaya), anak belajar memahami perihal sikap mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang jelek dan yang dihentikan dikerjakan.
Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagian struktur kepribadian insan menjadi tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irrasional atau tidak disadari. Egoadalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu sub sistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak mempunyai moralitas. Superego ialah strktur kepribadian yang terdiri atas aspek sosial yang berisikan sistem nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan “benar” dan “salahnya” sesuatu.
Menurut teori psikoanalisa klasik Sigmund Freud, semua orang mengalami konflik oedifus. Konflik ini akan menghasilkan pembentukan struktur kepribadian yang dinamakan Freud sebagai Superego. Ketika anak mengatasi konflik oedifus ini, maka perkembangan moral sudah dimulai. Salah satu alasan mengapa anak mengatasi konflik oedifus disebabkan lantaran adanya perasaan khawatir akan kehilangan kasih sayang orang bau tanah dan ketakutan akan dieksekusi lantaran keinginan secual mereka yang tidak sanggup diterima terhadap orang bau tanah yang berbeda jenis kelamin. Untuk menghindari kecemasan, menghindari hukuman, dan mempertahankan kasih sayang orang tua, bawah umur membentuk suatu superego dengan mengidentifikasikan diri dengan orang bau tanah yang sama jenis kelaminnya melalui penginternalisasian standar-standar benar dan salah terhadap orang tua.
Karena itu, sebagai sumber penginternalisasian individu insan dalam struktur superego ini yaitu ego-ideal atau yang dikenal dengan istilah kata hati (conscience). Sebab kata hati ini akan menggambarkan cuilan dalam atau kehidupan mental seseorang, peraturan-peraturan masyarakat, hukum, kode, etika, dan moral. Dan dikatakan oleh Freud, perkembangan superego secara khas akan menjadi tepat pada usia kira-kira 5 tahun. Ketika hal ini terjadi, maka bunyi hati akan terbentuk. Dengan pengertian bahwa pada usia sekitar 5 tahun, orang sudah sanggup menuntaskan pengembangan moralnya namun hal ini tetap kembali pada kemampuan individu itu masing-masing.
Berentetan dengan paparan sebelumnya terkait konsep moral dikatakan oleh desmita (2008) dalam bahasannya perihal teori mencar ilmu sosial yang melihat tingkah laku moral sebagai respons atas stimulus. Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman, dan peniruan dipakai untuk menjelaskan perilaku moral individu manusia. Sebagai contoh, bila anak diberi hadiah atas sikap yang sesuai dengan aturan dan kontrak sosial, mereka akan mengulangi sikap tersebut. Sebaliknya, bila mereka dhukum atas sikap yang tidak bermoral, maka sikap itu akan berkurang atau hilang.
B. Isu Moralitas di Sekolah dan di Masyarakat
Berurusan dengan kasus moral ialah cuilan yang sangat nyata dari kehidupan bagi individu, kelompok, dan bahkan seluruh masyarakat. Dikutif dari buku Psichology Education; Windoews on Classroom karya Paul Eggen & Kauchak bahwaselama perang dunia II, misalnya, Amerika Serikat dihadapkan dengan pilihan menjatuhkan bom atom atau menyerang Jepang dengan jutaan nyawa yang ada.Dan juga, bagaimana intervensi AS di Vietnam mengakibatkan adanya dilema moral bagi Amerika Serikat yang hanya baru-baru ini ia mulai terang menilai keterlibatannya di sana. Amerika Serikat pergi berperang dengan Irak, seperti untuk membebaskan Kuwait, namun pada kenyataannya untuk melindungi aliran minyak Timur Tengah. Dan Armedforces US yang memilikiActedas "pasukan penjaga perdamaian" di tempat bergejolak lain di dunia, menyerupai Haiti dan Bosnia. Semua konflik ini memaksa kita untuk mempertimbangkan pertanyaan: Haruskah Amerika Serikat menggunakan militernya untuk dijadikan sebagai "polisi" dunia?Pada tingkat individu, apa implikasi aturan yang membutuhkan sepeda motor untuk menggunakan helm dan penumpang kendaraan beroda empat menggunakan sabuk pengaman? Seberapa jauh pemerintah harus pergi dalam mengatur persoalan perilaku demi mencegah terjadinya pencederaan ataukah dengan melakukanpenyelamatan nyawa?Pada tingkat budaya, apa yang harus diajarkan di sekolah-sekolah? Kelompok kepentingan khusus, misalnya, telah bermerek beberapa literatur klasik budaya Amerika, menyerupai Huckleberry Finn, sebagai rasis atau bias gender. Di lain hal telah diserukan studi kreasionisme sebagai teori paralel dengan evolusi. Sekali lagi, di mana kita harus menarik benang merahnya? Masyarakat dan sekolah yang diciptakan oleh masyarakat yang mengalami pergulat dengan isu-isu moral.
Beberapa literatur klasik budaya ini berfokus pada kasus etika. Misalnya, Jean Valjean, tokoh utama dalam Victor Hugo Les Miserable, di mana Broadway musikal terkenal didasarkan, dihadapkan dengan pilihan makan makanan keluarganya dengan menjadi pencuri ataukah memungkinkan ia untuk pergi dalam keadaan lapar. Masalah adat juga telah umum dipakai dalam literatur dirancang untuk orang-orang muda. Misalnya, Charlotte di Web Charlotte dihadapkan dengan dilema menyelamatkan Wilbur yakni seekor babi yang membuatnya justru kehilangan hidupnya sendiri. Master bau tanah Yeller ini dihadapkan dengan masalah moral ketika kehilangan anjingnya setelah membiarkan ancaman kesehatan potensial dari penyakit rabies. Siswa umumnya mempelajari buku-buku menyerupai The Yearling dan A Tale of Two Cities bukan hanya lantaran mereka menyukai sastra yang baik tetapi juga lantaran mereka memperkenalkan masalah moral yang tanpa balasan yang jelas.
Dalam buku terlaris tentang Penutupan The American Mind, Alan Bloom (1987) mengkritik pendidikan tinggi di Amerika Serikat lantaran kurangnya keberanian dalam menangani isu-isu moral. Misalnya bagaimana penyikapan masalah kontemporer terkait penyalahgunaan narkoba, kehamilan remaja, dan kejahatan cukup umur yangtidak lepas dari perhelatan dilema moral. Ataukah bagaimana seharusnya sekolah merespon isu moralitas ini biar dampak penyebarannya tidak semakin menjadi-jadi dalam arti memungkin terjadinya penyebaran dampak jelek bagi yang lain sebagaimana timbulnya banyak sekali gejolak moralitas yang terjadi di kehidupan sosial kemasyarakatan yang nampak bagaikan hilangnya sikap moralitas yang sifatnya tidak manusiawi dan termasuk didalamnya seperti mengesampingkan rasa cinta akan kondisi alam kehidupan insan di dunia ini.
Dengan melihat timbulnya perhelatan dari banyak sekali isu moral yang terjadi, baik di sekolah maupun di masyarakat sorang penulis buku terlaris Educating for Character yakni Thomas Lickona sekaligus sebagai seorang psikolog perkembangan di State University of New York menyerupai diungkapkan dalam bukunya perihal Character Matters, Lickonamemperlihatkan bagaimana citra moral yang dialami oleh kebanyakan generasi muda ketika ini termasuk didalamnya bagaimana penawaran Lickona dalam mengelola lingkungan moral biar menghasilkan lingkungan yang wajar, masuk akal dalam arti terlepas dari isu moral yang bisa menimbulakan kemiringan etika, tingkah laku ataupun perlakuan seorang individu terhadap diri, sesamanya dan juga lingkungannya. Dikatakan bahwa:
Pada generasi sebelumnya, keberadaan keluarga sudah ada di dalam konteks masyarakat yang lebih luas yang mendukung nilai-nilai yang orang bau tanah coba ajarkan ke anak mereka.
Tak usang kemudian. Saat ini, melawan pada lingkungan sosial, dalam cuilan besar dari penciptaan media dan budaya pasar ialah pertempuran yang tidak pernah berakhir. Wartawan Amy Welborn berkomentar perihal bagaimana pasar semakin bertujuan untuk menjadikan hasrat secual pada anak. “Anda melihat di rak pakaian anak perempuan mulai dari usia tujuh tahun terdapat kesulitan dalam menemukan pakaian yang tidak mencerminkan pakaian perempuan nakal”.
Kerusakan secual terhadap anak ini bisa dibilang serangan paling berbahaya pada kepolosan dan abjad mereka, tetapi budaya media membungkus nilai-nilai mereka dengan cara lain juga. Banyak orang tuanya yang tertekan oleh seberapa materialistisnya bawah umur mereka, tidak pernah puas dengan apa yang mereka miliki. Semakin banyak perjaka mencari harga diri dan identitas mereka dengan pakaian ataukah dengan kendaraan yang bermerek dan modernitas.
Saya (Lickona) sarankan sebagai pedoman yang spesifik yang sanggup dilakukan orang bau tanah untuk mencoba mengelola lingkungan media untuk mengontrol acara TV, film, musik, video game, dan internet. Sebagai aturan dasar: bagaimana cara orang bau tanah biar anak sanggup meminta izin untuk menyaksikan setiap acara acara TV tertentu, video games, item yang akan diunduh dari internet, dll. Dan perlu dipahami bahwa kehadiran media bagi kehidupian anak bukanlah suatu hak asasi melainkan sebagai bentuk hak istimewa bagi anak.
Bagaimana pun, sama pentingnya mengambil pendekatan pendidikan yang berupaya menjelaskan keberadaan moral kita untuk sesuatu, dari pada sekedar melarang. Jika kita hanya melarang anak untuk menyaksikan acara acara TV, film, atau CD tanpa menciptakan alasan moral yang terang kenapa kita melakukannya, justru yang timbul kita hanya akan menciptakan kebencian pada bawah umur kita, bukan pengembangan hati nurani dari pengendalian internal.
Mengambil pendekatan pendidikan digambarkan oleh seorang ibu yang mempunyai putrid usia 14 tahun, Kylene, yang terus mengganggunya untuk sanggup menonton serial komedi “Friends” yang ketika itu tengah popular, dengan mencolek pinggulnya ketika tidur. Kyelen menyampaikan semua teman-temannya di sekolah menontonnya, dan beliau merasa “benar-benar ketinggalan zaman” lantaran beliau tidak menontonnya. Ibunya menyampaikan “maaf” tapi beliau tidak menyetujui nilai-nilai dalam acara itu.
Kylene tidak mau berhenti. Akhirnya ibunya berkata, “Oke, mari kita menonton satu episode bersama-sama”. Beberapa menit menonton serial itu, sang ibu berkata, “Biarkan ibu memberitahumu mengapa ibu bermasalah dengan apa yang gres saja laki-laki itu katakana ke sahabat wanitanya”. Pada selesai acara, Kylene berkata, “Baiklah, Bu, saya mengerti” dan itulah terakhir dari beliau merengek perihal Friends. Standar moral telah disampaikan, dengan konkret.
Mengelola lingkungan moral saat ini juga berarti membutuhkan tingkat pengawasan yang lebih tinggi dibandingkan pada masa lalu. Seorang ibu dari gadis berumur 11 dan 6 tahun, tidak tahu orang bau tanah lainnya yang bisa beliau percaya, ia mengatakan: “Teman-teman anak saya tiba ke rumah kami hampir setiap hari. Mereka merasa kondusif di sini, tetapi saya tidak mengizinkan anak perempuan saya untuk pergi ke rumah anak yang lain, mungkin menyerupai terdengar keras. Saya tidak tahu bahasa apa yang akan dipakai di sana, apa yang ditayangkan di TV atau VCD, apakah akan ada p0rn*grafi di meja kopi, atau siapa tau ia punya pacar di sana.
Kata seorang ibu kepada anak perempuannya yang berusia 16 tahun yang akan pergi ke pesta (yang orang bau tanah tuan rumah akan mengawasi): “saya akan menelpon untuk mengecek apakah kamu berada di sana. Jika kamu tidak berada di sana, saya akan memberitahu polisi dan melaporkan kamu sebagai anak hilang”. Putrinya berkata, “Ibu tidak akan melaksanakan hal itu”. Ibu berkata, “saya akan melakukannya”.
Orang bau tanah yang bersusah payah untuk mengawasi anak mereka, sanggup mengambil hati dari apa yang ditunjukkan pada penelitian bahwa orang bau tanah yang turun tangan berarti mereka yang tetapkan aturan dan harapan; mengetahui kegiatan sahabat dan sikap bawah umur mereka; serta memonitor mereka sesuai dengan tingkatan usianya.
Oleh alasannya itu sebagai bentuk argumentasi Thomas Lickona menyikapi isu moral yang terjadi, disebutkan ada banyak hal yang sanggup dilakukan untuk mengatasi isu moralitas sebagai bentuk pencegahan sekaligus untuk menyembuhkan banyak sekali kasus isu moralitas yang terjadi di sekolah maupun di masyarakat, secara garis besar dipaparkan menyerupai berikut ini:
1. Di mana pun proses pendidikan itu berlangsung sudah sepatutnya pengembangan abjad dijadikan sebagai prioritas utama yang diawali dengan kepedulian berperilaku disiplin berkarakter.
2. Melibatkan orang bau tanah dalam perencanaan acara pendidikan abjad anak
3. Meningkatkan semua arus komunikasi positif antara sekolah dan rumah perihal kasus perkembangan anak
4. Gunakan ikatan serasi untuk memperbaiki sikap anak
5. Sebutkan kebajikan yang dibutuhkan untuk menjadi anak yang baik
6. Ajarkan pentingnya tujuan hidup yang baik serta kasus keunggulan dan integritas dan berlaku adil
7. Ajarkan sekan anak bisa bertanggung jawab atas tindakannya
8. Membantu anak mencar ilmu dari kesalahan dan membantunya dalam menciptakan planning perubahan sikap yang mengarah pada perbaikan diri
C. Deskripsi Perkembangan Moral Menurut Teori Kognitif Piaget dan Teori Kohlberg
Dipublikasikan oleh Piaget dalam teori kognitifnya yang berdasarkan hasil kajian pengamatannya bahwa intinya pengembangan moral melibatkan prinsip-prinsip dan proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang diabadikan dalam teorinya perihal perkembangan intelektual, bagi Piaget, perkembangan moral digambarkan melalui aturan permainan. Karena itu, hakikat moralitas ialah kecenderungan untuk mendapatkan dan menaati sistem peraturan. Berdasarkan hasil observasinya terhadap aturan-aturan permainan yang dipakai bawah umur tentang moralitas sanggup dibedakan menjadi atas dua tahap, yaitu tahap heteronomous morality dan autonomous morality (Seifer & Huffnung (1994) dalam Desmita (2008)).
Heteronomous morality atau Morality of constraint ialah tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 6 hingga 9 tahun. Dalam tahap berpikir ini, bawah umur menghormati ketentuan-ketentuan suatu permaianan sebagai sesuatu yang bersifat suci dan tidak sanggup diubah, lantaran berasal dari otoritas yang dihormatinya. Anak-anak pada masa ini yakin akan keadilan immanen, yaitu suatu konsep bahwa bila suatu aturan dilanggar, hokum akan segera dijatuhkan. Mereka percaya bahwa pelanggaran diasosiasikan secara otomatis dengan sanksi dan setiap pelanggaran akan dieksekusi sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan seorang anak dengan mengabaikan apakah kesalahan itu disengaja atau kebetulan.
Sedangkan, Autonomous morality atau morality of cooperation ialah tahap perkembangan moral yang terjadi pada bawah umur usia kira-kira 9 hingga 12 tahun. Pada tahap ini anak mulai sadar bahwa aturan dan sanksi merupakan ciptaan insan dan dalam menerapkan suatu sanksi atas suatu tindakan harus mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya. Bagi bawah umur dalam tahap peraturan-peraturan hanyalah kasus kenyamanan dan kontrak sosial yang telah disetujui bersama, sehingga mereka mendapatkan dan mengakui perubahan berdasarkan kesepakatan. Dalam tahap ini, anak juga meninggalkan penghormatan sepihak kepada otoritas dan menyebarkan penghormatan kepada sahabat sebayanya. Mereka nampak membandel kepada otoritas serta lebih menaati peraturan kelompok sebaya atau pimpinannya.
Hampir sejalan dengan Teori Piaget, perkembangan moral sebagaimana yang digagaskan dalam Teori Kohlberg merupakan perluasan, modifikasi, dan redefinisi atas Teori Piaget. Teori ini didasarkan atas analisisnya teerhadap hasil wawancara dengan anak laki-laki usia 10 hingga 16 tahun yang dihadaapkan paa suatu dilema moral, di mana mereka harus menentukan antara tindakan menaati peraturan atau memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang bertentangan dengan peraturan.
Berdasarkan pertimbangan yang diberikan atas pertanyaan kasus dilematis yang dihadapi seseorang, Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga tingkatan (level), yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap (stage). Kohlberg oke dengan Piaget yang menjelaskan bahwa bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari pengalaman. Tetapi, tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari acara impulsif dari anak-anak. Anak-anak memang berkembang melalui interaksi sosial, namun interaksi ini mempunyai corak khusus, di mana faktor pribadi yaitu aktivitas-aktivitas anak ikut berperan.
Hal penting lainnya dari teori perkembangan Kohlberg ialah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang akan dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral seseorang, akan semakin terlihat moralitasnya yang lebih mantap dan bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya.
TABEL
Tingkat dan Tahap Perkembangan Moral Menurut Kohlber
TINGKAT (LEVELS) | TAHAP (STAGES) |
1. Prakonvesional Moralitas Pada level ini anaka mengenal moralitas berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan, yaitu menyenangkan (hadiah) atau menyakitkan (hukuman). Anak tidak melanggar aturan lantaran takut akan ancaman sanksi dari otoritas. 2. Konvesional Suatu perbuatan dinilai baik oleh anak apabila mematuhi cita-cita otoritas atau kelompok sebaya. 3. Pasca-Konvensional Pada level ini aturan dan institusi dari masyarakat tidak dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi diharapkan sebagai subjek. Anak menaati aturan untuk menghindari sanksi kata hati. | 1. Orientasi Kepatuhan dan Hukuman Pemahaman anak perihal baik dan jelek ditentukan oleh otoritas. Kepatuhan terhadap aturan ialah untuk menghindari sanksi dari otoritas. 2. Orientasi Hedonistik-Instrumental Suatu perbuatan dinilai baik apabila fungsi instrument untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan diri. 3. Orientasi Anak yang Baik Tindakan berorientasi padda orang lain. Suatu perbuatan dinilai baik apabila menyenangkan bagi orang lain. 4. Orientasi Keteraturan dan Otoritas Perilaku yang dinilai baik ialah menunaikan kewajiban, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban sosial. 5. Orientasi Kontrol Sosial-Legalistik Ada semacam perjanjian antara dirinya dan lingkungan sosialnya. Perbuatan dinilai baik apabila sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. 6. Orientasi Kata Hati Kebenaran ditentukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip adat universal yang bersifat abnormal dan penghormatan terhadap martabat manusia. |
D. Perkembangan Moral Melalui Interaksi antara Sesama
Sesuai hasil penelitian pada pekerjaan Kohlberg menyampaikan bahwa perkembangan moral sanggup ditingkatkan melaluidiskusi kelasyang dapat memungkinkan siswamemeriksapemikiranmoral merekasendiri danmembandingkannya denganorang lain(Oser, 1986). Interaksiantara rekan-rekansangatefektifkarena mendorongmereka untuk aktif mencari tahu dan menganalisiskedudukan dari perilaku moral yang berbeda-beda(Kruger, 1992). Berdasarkan paparanataucara yang lebihkompleksdalam berpikir tentangdilema moral yang sanggup membantu siswadalam mengevaluasi kembalipemikiran mereka sendiridan termasukmembandingkannya dengan orang lain. Maka diramu beberapa panduan terkait studi efektiftentangdilema moralsebagaimana berikut ini:
1.Fokus pada konflik moral yang sifatnya konkritdan dengan perbedaancara dalam menyikapinya
2. Mendorongsiswauntuk mempertimbangkancara pandang orang lain
3.Mintalah siswauntuk menciptakan berbagai pilihan yang sifatnya personaldalam merespondilemadanberupaya untuk membenarkanpilihan tersebut
4.Menganalisisperbedaan dari tindakansebagai akhir dari latihan dengan membahas kelebihan dankekurangannya masing-masing.
Selain itu, dalam konteks batasan moral, terhadap penafsiran KaryaKohlbergini mengingatkan kita bahwa dari sekian banyak yanggurulakukandi sekolahdidasarkan padakeputusan moral. Ketikagurumenekankan siswa rasa tanggung jawab, dan membuataturanyang dapat mencegahsiswa daritindakan yang bahagia mengejeksatu sama lain, menekankanpersoalan industridan kejujuranadvokat, merekasesungguhnya mengajarkan perihal persoalanetika. Sebagaimana undang-undang yangberlaku untuksekolah-sekolahjugamempromosikannilai-nilai ini. Misalnya, hukum publik, yang mengharuskansiswa dengandengan tanpa pengecualianmenekankan bahwa pembelajaran yangditempatkan dilingkunganterbataspaling tidakmungkin,sebab hal ini didasarkan padamasalah etika.
1.Fokus pada konflik moral yang sifatnya konkritdan dengan perbedaancara dalam menyikapinya
2. Mendorongsiswauntuk mempertimbangkancara pandang orang lain
3.Mintalah siswauntuk menciptakan berbagai pilihan yang sifatnya personaldalam merespondilemadanberupaya untuk membenarkanpilihan tersebut
4.Menganalisisperbedaan dari tindakansebagai akhir dari latihan dengan membahas kelebihan dankekurangannya masing-masing.
Selain itu, dalam konteks batasan moral, terhadap penafsiran KaryaKohlbergini mengingatkan kita bahwa dari sekian banyak yanggurulakukandi sekolahdidasarkan padakeputusan moral. Ketikagurumenekankan siswa rasa tanggung jawab, dan membuataturanyang dapat mencegahsiswa daritindakan yang bahagia mengejeksatu sama lain, menekankanpersoalan industridan kejujuranadvokat, merekasesungguhnya mengajarkan perihal persoalanetika. Sebagaimana undang-undang yangberlaku untuksekolah-sekolahjugamempromosikannilai-nilai ini. Misalnya, hukum publik, yang mengharuskansiswa dengandengan tanpa pengecualianmenekankan bahwa pembelajaran yangditempatkan dilingkunganterbataspaling tidakmungkin,sebab hal ini didasarkan padamasalah etika.
Argumentasi yang mengatakan bahwa sekolah tidak harus mengajarkan moral yang naif. Sebab nilai akan muncul dengan sendirinya setiap kali seorang guru mengajarkan satu topik sebagai ganti dari yang lain sementara moral mencerminkan nilai-nilai individu yang sesuai dengan kelompok budayanya.
E. Keterkaitan antara Perkembangan Sosial dengan Pribadi Menurut Erikson
Dalam teoripsikososial Erikson, sebagai suatu upayauntuk mengintegrasikan perkembangan kepribadiandan sosial, didasarkanpada perkiraan bahwasetiap orang yang menyebarkan diritiada lain sebagai suatu respon terhadapapa yang sudah menjadi kebutuhannya. Lebih lanjut dia menyarankanbahwa perkembangan yang berlangsung secarabertahap, masing-masing ditandai denganadanya suatu tantanganpsikososial, yang dia sebutkan dengan istilahmasa krisis/gawat.
MenurutErikson, resolusipositifterhadapmasa krisisdari hasilsetiap tahapannyacenderunguntukmenimbulkan kepercayaan, perasaanotonom, kemauan untukmengambil inisiatif, dansebagainya, yang berlangsung kira- kira mulai dariperiodetahun kelahiran sampaimasa usia sekolah dasar. Resolusi initerusmengalami masa krisisyang membuat orangmeninggalkan identitastetapnya, seperti kemampuanuntuk mencapaikeintiman,keinginanuntukmenghasilkan, dan terakhirrasaintegritas sebagaiakhirkehidupanyang mendekati. Sebagai guruterhadap siswanya, seyogyanyaharus menjagatantanganperkembangandalam pikiran danstrukturruang kelas sertaterhadap interaksinya dengansiswanya untukmemfasilitasi pertumbuhanmereka di tempat tersebut.
MenurutErikson, resolusipositifterhadapmasa krisisdari hasilsetiap tahapannyacenderunguntukmenimbulkan kepercayaan, perasaanotonom, kemauan untukmengambil inisiatif, dansebagainya, yang berlangsung kira- kira mulai dariperiodetahun kelahiran sampaimasa usia sekolah dasar. Resolusi initerusmengalami masa krisisyang membuat orangmeninggalkan identitastetapnya, seperti kemampuanuntuk mencapaikeintiman,keinginanuntukmenghasilkan, dan terakhirrasaintegritas sebagaiakhirkehidupanyang mendekati. Sebagai guruterhadap siswanya, seyogyanyaharus menjagatantanganperkembangandalam pikiran danstrukturruang kelas sertaterhadap interaksinya dengansiswanya untukmemfasilitasi pertumbuhanmereka di tempat tersebut.
F. Perkembangan Moralitas, Tanggung Jawab Sosial, serta Kontrol Diri
Meski Piaget diidentifikasi sebagai pencetus perkembangan kognitif, namundalam perjalanan karir pengamatannya ia serius mengkaji masalahperkembanganmoral.Dia menyarankanbahwa individuyang maju sebagai akibatmoralitasecternalnya, di manaaturanyang ditegakkan olehfigur otoritas, maupun moralitas yangotonom, di mana merekaakan memandang bahwa moralitas sebagaihal yang sifatnya rasional danmemiliki kekerabatan yang timbal balik.
LawrenceKohlbergdalam mengembangkanteorinya perihal perkembangan moral, sebetulnya dipengaruhiolehkaryaPiaget. Dipersentasikan oleh Kohlbergbahwaorangyang mengalami dilema moral yangambigu terhadap masalah yang membutuhkan keputusanmoral danatas dasartanggapan mereka terhadapdilema tersebut, akan dengan sendirinya mereka mengembangkan sistemklasifikasi untukkeputusan moralyang dihadapinya untuk kemudian difokuskan padakonsekuensiyang mengacu pada diri mereka sendiri. Pada tingkatanetikayang sifatnya konvensional, penalaran moral masyarakatberfokus padakonsekuensibagi orang lain, sedangkanpada tingkatanetikayang berlangsung selama pascakonvensional, penalaran moral ini didasarkan pada prinsipKohlbergyang menyatakan bahwapenalaranyang secara konvensionaldiperlukanpemikiranyang sifatnya operasional konkretsementarapenalaranpascakonvensionaldiperlukanpemikiran yang sifatnya operasionalformal.
Guru sanggup mempromosikan perkembangan moral dikelas merekamelalui berbagai cara. Ketika merekamenjelaskan danmenerapkan sistemmanajemen mereka, merekaharus menekankantanggung jawab kepada setiap individudan membangun kepedulianfungsionalnyaterhadapaturanyang telah dirancang untukmelindungi hak-hakorang lain. Siswaharus didorong untukberpikir tentangtopik-topik sepertikejujuran danmenghormati orang lainsehubungan dengankonsekuensinyabagi orang lainyang menunjangprinsip-prinsip dasarsebagai bentuk penghormatannya kepada manusia lainnya. Dan sebagai guruyang menjalin interaksi dengansiswa, merekaharus mengakuibahwa pengaruhnya sanggup dijadikansebagai model perandalam mendorong perkembangan moral siswa mereka.
LawrenceKohlbergdalam mengembangkanteorinya perihal perkembangan moral, sebetulnya dipengaruhiolehkaryaPiaget. Dipersentasikan oleh Kohlbergbahwaorangyang mengalami dilema moral yangambigu terhadap masalah yang membutuhkan keputusanmoral danatas dasartanggapan mereka terhadapdilema tersebut, akan dengan sendirinya mereka mengembangkan sistemklasifikasi untukkeputusan moralyang dihadapinya untuk kemudian difokuskan padakonsekuensiyang mengacu pada diri mereka sendiri. Pada tingkatanetikayang sifatnya konvensional, penalaran moral masyarakatberfokus padakonsekuensibagi orang lain, sedangkanpada tingkatanetikayang berlangsung selama pascakonvensional, penalaran moral ini didasarkan pada prinsipKohlbergyang menyatakan bahwapenalaranyang secara konvensionaldiperlukanpemikiranyang sifatnya operasional konkretsementarapenalaranpascakonvensionaldiperlukanpemikiran yang sifatnya operasionalformal.
Guru sanggup mempromosikan perkembangan moral dikelas merekamelalui berbagai cara. Ketika merekamenjelaskan danmenerapkan sistemmanajemen mereka, merekaharus menekankantanggung jawab kepada setiap individudan membangun kepedulianfungsionalnyaterhadapaturanyang telah dirancang untukmelindungi hak-hakorang lain. Siswaharus didorong untukberpikir tentangtopik-topik sepertikejujuran danmenghormati orang lainsehubungan dengankonsekuensinyabagi orang lainyang menunjangprinsip-prinsip dasarsebagai bentuk penghormatannya kepada manusia lainnya. Dan sebagai guruyang menjalin interaksi dengansiswa, merekaharus mengakuibahwa pengaruhnya sanggup dijadikansebagai model perandalam mendorong perkembangan moral siswa mereka.
Sumber http://www.rijal09.com
EmoticonEmoticon