PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH
A. Ciri model pembelajaran berbasis masalah
Pembelajaran menurut masalah sanggup diartikan sebagai rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian dilema yang dihadapi secara ilmiah.
Menurut Sanjaya (2007), ada tiga ciri utama pembelajaran menurut masalah, yaitu:
1. Pembelajaran menurut dilema merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran, artinya dalam implementasinya ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan mahasiswa. Melalui pembelajaran menurut dilema mahasiswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan kesannya menyimpulkan.
2. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk merampungkan masalah. Pembelajaran menurut dilema menempatkan dilema sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa dilema maka mustahil ada proses pembelajaran.
3. Pemecahan dilema dilakukan dengan memakai pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan memakai metode ilmiah ialah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian dilema didasarkan pada data dan fakta yang jelas.
Demikian halnya Ibrahim (2000), mengemukakan ada empat ciri utama pembelajaran menurut masalah, yaitu:
1) Mengorientasikan mahasiswa kepada dilema autentik
Pada tahapan ini Dosen menyusun skenario yang sanggup menarik perhatian mahasiswa, sekaligus memunculkan dilema yang benar-benar nyata dilingkungan mahasiswa serta sanggup diselidiki oleh mahasiswa untuk menemukan jawabannya. Mengorientasikan mahasiswa kepada dilema yang autentik ini sanggup berupa cerita, penyajian fenomena tertentu, atau mendemonstrasikan suatu insiden yang mengandung munculnya permasalahan atau pertanyaan. Mendemonstrasikan kejadian-kejadian yang memunculkan konflik kognitif diyakini sangat baik untuk mengorientasikan mahasiswa kepada dilema ini.
2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin
Meskipun pembelajaran menurut masalah berpusat pada pelajaran tertentu, contohnya Kimia tetapi dilema yang dipilih benar-benar nyata supaya dalam pemecahannya mahasiswa sanggup meninjau dari banyak sekali mata pelajaran yang lain
3) Penyelidikan autentik
Pembelajaran menurut masalah mengharuskan mahasiswa melaksanakan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, menyusun hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi/data, melaksanakan percobaan, membuat inferensi, dan merumuskan simpulan
4) Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
Pembelajaran menurut masalah menuntut mahasiswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata dan memamerkan. Karya tersebut sanggup berupa rekaman debat, laporan, model fisik, video, dan acara komputer, dan lain-lain.
Sudjana (1991) mengemukakan bahwa model mengajar ini merupakan model yang mengandung kegiatan berguru mahasiswa cukup tinggi. Model ini sempurna dipakai untuk mengajarkan konsep dan prinsip. Aktivitas mahasiswa dimulai dengan mengidentifikasi masalah, kemudian mencari alternatif pemecahannya, menilai setiap alternatif pemecahan, dan menarik kesimpulan alternatif yang paling sempurna sebagai jawaban terhadap dilema tersebut.
B. Strategi dalam implemetasi pembelajaran berbasis masalah
Untuk mengimplementasikan pembelajaran menurut masalah, Dosen perlu menentukan materi pelajaran yang mempunyai permasalahan yang sanggup dipecahkan. Permasalahan tersebut bisa diambil dari buku teks atau dari sumber-sumber lain contohnya dari insiden yang terjadi dillingkungan sekitar, dari insiden dalam keluarga atau dari insiden kemasyarakatan.
Kriteria pemilihan materi pelajaran dalam pembelajaran menurut masalah sanggup dilakukan sebagai berikut:
1. Bahan pelajaran harus mengandung isu-isu yang bersifat konflik (conflik issue) yang bisa bersumber dari berita, rekaman video, dan yang lain
2. Bahan yang dipilih ialah materi yang bersifat familiar dengan mahasiswa, sehingga setiap mahasiswa sanggup mengikutinya dengan baik
3. Bahan yang dipilih merupakan materi yang berafiliasi dengan kepentingan orang banyak (universal) sehingga terasa manfaatnya
4. Bahan yang dipilih merupakan materi yang mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki oleh mahasiswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku
5. Bahan yang dipilih sesuai dengan minat mahasiswa sehingga setiap mahasiswa merasa perlu untuk mempelajarinya.
Selanjutnya Sanjaya (2007) menyatakan strategi pembelajaran dengan pemecahan masalah sanggup diterapkan: (1) manakala Dosen menginginkan supaya mahasiswa tidak hanya sekedar sanggup mengingat materi pelajaran, akan tetapi menguasai dan memahaminya secara penuh, (2) apabila Dosen bermaksud untuk mengembangkan keterampilan berpikir rasional mahasiswa, yaitu kemampuan menganalisis situasi, menerapkan pengetahuan yang mereka miliki dalam situasi baru, mengenal adanya perbedaan antara fakta dan pendapat, serta mengembangkan kemampuan dalam membuat judgement secara obyektif, (3) manakala Dosen menginginkan kemampuan mahasiswa untuk memecahkan dilema serta membuat tantangan intelektual mahasiswa, (4) jikalau Dosen mendorong mahasiswa untuk lebih bertanggungjawab dalam belajarnya, (5) jikalau Dosen ingin supaya mahasiswa memahami kekerabatan antara apa yang dipelajari dengan kenyataan dalam kehidupannya (hubungan antara teori dengan kenyataan).
Elliott (1996) mengemukakan ada empat strategi yang dipakai pada pembelajaran menurut masalah dalam kelas, yaitu:
1.Menganalisa kesulitan yang dialami setiap mahasiswa dalam memecahkan masalah. Ada 5 kesulitan yang selalu ditemukan pada diri mahasiswa: (1) kecerdasan mahasiswa, (2) motivasi mahasiswa, (3) informasi, (4) pengalaman mahasiswa, (5) kerangka pemikiran.
2. Selesaikan kesulitan/masalah mahasiswa.
3. Ajarkan secara pribadi kepada mahasiswa teknik pemecahan masalah.
4. Berikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memecahkan dilema pembelajaran.
Rumusan dilema dalam pembelajaran menurut masalah sangat penting, lantaran akan berafiliasi dengan kejelasan dan kesamaan persepsi perihal dilema dan berkaitan dengan data apa yang harus dikumpulkan untuk menyelesaikannya. Kemampuan yang diharapkan dari mahasiswa dalam langkah ini ialah mahasiswa sanggup menentukan prioritas masalah. Mahasiswa sanggup memanfaatkan pengetahuannya untuk mengkaji, merinci, dan menganalisis dilema sehingga pada kesannya muncul rumusan dilema yang jelas, spesifik, dan sanggup dipecahkan.
C. keunggulan dan juga kelemahan pembelajaran menurut masalah
Sebagai suatu strategi pembelajaran, pembelajaran menurut masalah mempunyai keunggulan dan juga kelemahan. Keunggulan yang dimaksud adalah: (1) merupakan teknik yang cukup anggun untuk lebih memahami isi pelajaran, (2) sanggup menantang kemampuan mahasiswa serta menunjukkan kepuasan untuk menemukan pengetahuan gres bagi mahasiswa, (3) sanggup meningkatkan kegiatan pembelajaran mahasiswa, (4) sanggup membantu mahasiswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami dilema dalam kehidupan nyata, (5) sanggup membantu mahasiswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan, (6) bisa menunjukkan kepada mahasiswa bahwa setiap mata pelajaran intinya merupakan cara berpikir, dan suatu yang harus dimengerti oleh mahasiswa bukan hanya sekedar berguru dari Dosen atau dari buku-buku saja, (7) dianggap lebih menyenangkan dan disukai mahasiswa, (8) sanggup mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru, (9) sanggup menunjukkan kesempatan pada mahasiswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata, (10) sanggup mengembangkan minat mahasiswa untuk secara terus-menerus berguru sekalipun berguru pada pendidikan formal telah berakhir.
Disamping keunggulan juga ada kelemahannya, di antaranya:
(1) manakala mahasiswa tidak mempunyai minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa dilema yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan enggan untuk mencoba, (2) keberhasilan taktik pembelajaran ini membutuhkan cukup waktu untuk persiapan, (3) tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan dilema yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan berguru apa yang mereka ingin pelajari.
D. Langkah-langkah pembelajaran menurut masalah
John Dewey dalam Sanjaya (2007) menjelaskan 6 langkah dalam pembelajaran berdasarkan masalah, yaitu:
1. Merumuskan masalah, yaitu langkah mahasiswa menentukan dilema yang dipecahkan.
2. Menganalisis masalah, yaitu langkah mahasiswa meninjau dilema secara kritis dari banyak sekali sudut pandang.
3. Merumuskan hipotesis, yaitu langkah mahasiswa merumuskan banyak sekali kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
4. Mengumpulkan data, yaitu langkah mahasiswa mencari dan menggambarkan informasi yang diharapkan untuk pemecahan masalah.
5. Pengujian hipotesis, yaitu langkah mahasiswa mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan.
6. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah mahasiswa menggambarkan rekomendasi yang sanggup dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.
Selanjutnya David Johnson and Johnson dalam Sanjaya (2007) mengemukakan ada lima langkah dalam pembelajaran menurut dilema melalui kegiatan kelompok, yaitu:
1. Mendefinisikan masalah, yaitu merumuskan dilema dari insiden tertentu yang mengandung isu konflik, sampai mahasiswa menjadi terang dilema apa yang akan dikaji. Dalam kegiatan ini Dosen bisa meminta pendapat dan klarifikasi mahasiswa perihal isu-isu hangat yang menarik untuk dipecahkan
2. Mendiagnosis masalah, yaitu menentukan sebab-sebab terjadinya masalah, serta menganalisis banyak sekali faktor baik faktor yang bisa menghambat maupun faktor yang sanggup mendukung dalam penyelesaian masalah. Kegiatan ini bisa dilakukan dalam diskusi kelompok kecil, sehingga pada kesannya mahasiswa sanggup menDosentkan tindakan-tindakan prioritas yang sanggup dilakukan sesuai dengan jenis penghambat yang diperkirakan.
3. Merumuskan alternatif strategi, yaitu menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan melalui diskusi kelas. Pada tahapan ini setiap mahasiswa didorong untuk berpikir mengemukakan pendapat dan argumentasi perihal kemungkinan setiap tindakan yang sanggup dilakukan.
4. Menentukan dan menerapkan taktik pilihan, yaitu pengambilan keputusan perihal taktik mana yang sanggup dilakukan.
5. Melakukan evaluasi, baik penilaian proses maupun penilaian hasil.
6. Evaluasi proses ialah penilaian terhadap seluruh kegiatan pelaksanaan kegiatan; sedangkan penilaian hasil ialah penilaian terhadap tanggapan dari penerapan taktik yang diterapkan.
Menurut Ibrahim (2000) mengemukakan ada lima tahap langkah- langkah dalam pembelajaran menurut masalah sebagai berikut:
1. Orientasi mahasiswa kepada masalah. Pada tahapan ini kegiatan Dosen menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi, atau dongeng untuk memunculkan masalah, memotivasi mahasiswa untuk telibat dalam pemecahan dilema yang dipilihnya.
2. Mengorganisasi mahasiswa untuk belajar. Pada tahapan ini, Dosen membentu mahasiswa mendefinisikan dan mengorganisasikan kiprah berguru yang berafiliasi dengan dilema tersebut.
3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok. Pada tahapan ini, Dosen mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapat klarifikasi dan pemecahan masalah
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Pada tahapan ini, Dosen membantu mahasiswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai menyerupai laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk menyebarkan kiprah dengan temannya
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Pada tahapan ini, Dosen membantu mahasiswa untuk melaksanakan refleksi atau penilaian terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction/PBI) merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu mahasiswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri perihal dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks.
Arends (dalam Upu, 2004) menyatakan bahwa pembelajaran menurut masalah merupakan suatu pembelajaran dimana mahasiswa menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inquiry dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Model pembelajaran ini mengacu pada model pembelajaran yang lain menyerupai Pembelajaran menurut proyek (Project-based instruction), Pembelajaran menurut pengalaman (Experience-based instruction), berguru otentik (Authentic learning), dan pembelajaran bermakna (Anchored instruction).
Pada pembelajaran ini, Dosen berperan untuk mengajukan permasalahan atau pertanyaan, menunjukkan dorongan, motivasi, menyediakan materi asuh dan kemudahan yang diperlukan. Selain itu, Dosen menunjukkan scaffolding berupa dukungan dalam upaya meningkatkan kemampuan inquiry dan perkembangan intelektual mahasiswa.
Arends (dalam Upu, 2004) juga mengemukakan lima langkah utama dalam penggunaan PBI. Langkah-langkah tersebut sanggup dilihat pada tabel berikut:
Fase | Tingkah Laku Dosen |
Fase-1 Orientasi Mahasiswa kepada masalah | Dosen menjelaskan tujuan pembelajaran (atau indikator hasil belajar), memotivasi mahasiswa terlibat pada kegiatan pemecahan dilema yang dipilihnya |
Fase-2 Mengorganisasi mahasiswa untuk berguru | Dosen membantu mahasiswa mendefinisikan dan mengorgani-sasikan kiprah berguru yang berhu-bungan dengan dilema tersebut |
Fase-3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok | Dosen mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapat klarifikasi dan pemecahan masalah |
Fase-4 Mengembangkan dan manyajikan hasil karya | Dosen membantu mahasiswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai menyerupai laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk menyebarkan kiprah dengan temannya |
Fase-5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah | Dosen membantu mahasiswa untuk melaksanakan refleksi atau penilaian terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan |
Menurut Krajcik, et.al, & Slavin, et.al dalam Arends dalam Upu (2004), karakteristik dari pembelajaran menurut masalah adalah:
(1) Pengajuan pertanyaan atau masalah, (2) Keterkaitan dengan disiplin ilmu lain (interdisciplinary focus), (3) penyelidikan otentik (Authentic investigation), (4) Menghasilkan hasil karya dan memamerkannya (production of artifacts and exhibits), dan (5) Kolaborasi (collaboration).
PBI bahu-membahu didesain bukan untuk membantu Dosen memberikan sejumlah informasi (materi pelajaran) kepada mahasiswa. Untuk memberikan informasi sanggup dipakai model pengajaran pribadi (direct instruction) dan metode ceramah. Tujuan utama pengembangan PBI ialah untuk membantu mahasiswa mengembangkan proses berpikirnya; berguru secara cukup umur melalui pengalaman yang mengakibatkan mahasiswa mandiri. Menurut Arends (dalam Upu, 2004), ada 3 tujuan utama dari PBI, yaitu:
1. Mengembangkan kemampuan berpikir mahasiswa dan kemampuan memecahkan masalah
2. Mendewasakan mahasiswa melalui peniruan
3. Membuat mahasiswa lebih mandiri.
Menurut peneliti, menerapkan model pembelajaran berbasis masalah pada pembelajaran Kimia sanggup menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh mahasiswa sehingga sanggup lebih membuka pemikiran mahasiswa dan memberi kesempatan untuk lebih berkreasi.
E. Teori-teori yang terkait dengan pembelajaran menurut masalah
Menurut Ibrahim (2000), pembelajaran menurut masalah dilandasi oleh tiga pikiran ahli, yaitu:
a. John Dewey dan kelas demokrasi
John Dewey mengemukakan pandangan bahwa sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahan dilema yang ada dalam kehidupan nyata. Beliau menganjurkan supaya Dosen memberi dorongan kepada mahasiswanya terlibat dalam proyek atau tugas-tugas berorientasi dilema dan membantu mereka menyidik masalahnya.
b. Piaget, Vygotsky dan konstruktivisme
Piaget menjelaskan bahwa anak kecil mempunyai rasa ingin tahu bawaan dan secara terus-menerus berusaha memahami dunia sekitarnya. Rasa ingin tahu ini ialah memotivasi mereka untuk aktif membangun pemahaman mereka perihal lingkungan yang mereka hayati.
Pandangan lain, yaitu kontruktivis-kognitif sama halnya dengan Piaget mengemukakan bahwa mahasiswa segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan tidak statis, tetapi secara terus menerus tumbuh dan berubah pada dikala mahasiswa menghadapi pengalaman gres yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka. Menurut Piaget, pedagogik yang baik harus melibatkan pemberian anak dengan situasi-situasi dimana anak itu berdikari melaksanakan eksperimen, dalam arti yang paling luas dari istilah itu mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, memanipulasi simbol-simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang beliau temukan pada suatu dikala dengan apa yang mereka temukan pada dikala yang lain, membandingkan temuannya dengan temuan mahasiswa yang lain.
Piaget lebih menekankan proses berguru pada aspek tahapan perkembangan intelektual. Sementara Vygotsky lebih menekankan kepada aspek sosial pembelajaran. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan sahabat lain membantu terbentuknya ilham gres dan memperkaya perkembangan intelektual mahasiswa.
Ide kunci yang berkembang dari ilham Vygotsky ialah konsep perihal zone of proximal development. Menurut Vygotsky, mahasiswa memiliki dua tingkat perkembangan, yaitu tingkat perkembangan konkret dan tingkat perkembangan potensial.
Tingkat perkembangan konkret didefinisikan sebagai pemungsian intelektual individu dikala ini dan kemampuan untuk berguru sesuatu yang khusus atas kemampuannya sendiri. Tingkat perkembangan potensial didefinisikan sebagai tingkat seseorang individu sanggup memfungsikan atau sanggup mencapai tingkat tertentu dengan pinjaman orang lain menyerupai Dosen, orang tua, atau sahabat sejawat yang mempunyai kemampuan lebih tinggi.
Zona diantara tingkat perkembangan konkret dan tingkat kemampuan potensial disebut zona perkembangan terdekat (zona of proximal development). Zona perkembangan terdekat ialah perkembangan kemampuan seseorang sedikit diatas perkembangan seseorang dikala ini.
Selain itu Vygotsky juga yakin bahwa fungsi mental lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut. Ide Vygotsky ini memerlukan pentingnya interaksi sosial di dalam belajar. Dengan interaksi sosial yang terjadi antara mahasiswa dengan Dosen, atau sejawat yang lebih mampu, beliau akan bergerak dari kemampuan dikala ini menuju ke zona perkembangan terdekatnya.
c. Bruner dan pembelajaran penemuan
Teori pendukung penting yang dikemukakan oleh Bruner terhadap pembelajaran menurut masalah ialah pembelajaran penemuan. Pembelajaran inovasi ialah suatu model pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu mahasiswa memahami struktur/ide kunci dari suatu disiplin ilmu. Bruner yakin pentingnya mahasiswa terlibat di dalam pembelajaran dan beliau meyakini bahwa pembelajaran yang terjadi bahu-membahu melalui inovasi pribadi. Menurut Bruner tujuan pendidikan tidak hanya meningkatkan banyaknya pengetahuan mahasiswa tetapi juga membuat kemungkinan-kemungkinan untuk inovasi mahasiswa. Pembelajaran ini diterapkan dalam sains dan ilmu sosial, dikenal dengan kebijaksanaan sehat induktif dan proses inkuiri yang merupakan ciri metode ilmiah.
Konsep lain dari Bruner ialah scaffolding yang didefinisikan sebagai proses seseorang mahasiswa dibantu merampungkan dilema tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui pinjaman dari seorang Dosen atau orang lain yang mempunyai kemampuan lebih. Konsep scaffolding Bruner menyerupai dengan konsep zona perkembangan bersahabat Vygotsky.
Pembelajaran inovasi mempunyai kaitan intelektual dengan pembelajaran berbasis masalah, yaitu pada kedua model ini Dosen menekankan keterlibatan mahasiswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan dari pada deduktif, dan mahasiswa menemukan dan mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri.
Perbedaan yang terdapat di antara pembelajaran inovasi dengan pembelajaran menurut dilema ialah pada masalahnya. Pada pembelajaran penemuan, dilema atau pertanyaan yang akan dijawab oleh mahasiswa sebagian besar menurut disiplin (akademik), penyelidikan mahasiswa berlangsung di bawah bimbingan Dosen terbatas di dalam lingkup kelas. Sedangkan pada pembelajaran berbasis dilema pembelajaran dimulai dari dilema yang autentik (sehari-hari), dari kehidupan nyata dan bermakna. Mahasiswa mempunyai kesempatan untuk melaksanakan penyelidikan di dalam maupun di luar sekolah sejauh itu diharapkan untuk memecahkan masalah. Karena masalahnya bersifat nyata, seringkali membutuhkan penyelidikan antar disiplin ilmu.
Pembelajaran konstruktivistik membantu mahasiswa menginternalisasikan dan mentransformasikan informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan gres yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru. Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang sanggup diungkapkan kembali atau apa yang sanggup diulang oleh mahasiswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan dengan cara menjawab soal-soal tes (sebagai sikap imitasi), melainkan pada apa yang sanggup dihasilkan mahasiswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Teori berguru konstruktivistik yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran akan menunjukkan sumbangan besar dalam membentuk insan yang kreatif, produktif, dan mandiri.
ARTIKEL TERKAIT : Model Pembelajaran Somatic Auditory Visual Intelectual (SAVI)
PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH
Sumber http://www.rijal09.com
EmoticonEmoticon