Artikel ini saya tulis di ruang tunggu stasiun kereta api Cirebon. Saya sedang menunggu Argo Bromo Anggrek menuju Surabaya yang gres akan datang 1 jam lagi. Saya ke Surabaya hendak mengisi Training of Coach (TOC) SAGUDISTRO (Satu Guru Satu Digital Storytelling).
Tapi artikel ini tidak akan membahas mengenai kereta api maupun SAGUDISTRO. Insya Allah besok bahasan mengenai SAGUDISTRO akan ditulis. Kali ini saya akan bercerita mengenai fenomena angkutan online di tempat saya.
Saya lahir dan tinggal di Kabupaten Majalengka. Berada di sebelah barat Cirebon. Dahulu Majalengka tidak begitu dikenal. Konon orang Majalengka yang merantau ke kota jikalau ditanya darimana berasal, lebih suka menjawab dari Cirebon. Majalengka ialah kota kecil nan sepi. Angkutan dari dan ke Majalengka termasuk jarang.
Namun sekarang kondisinya berbeda. Majalengka bermetamorfosa menuju kota yang ramai. Apalagi sejak bandara internasional dibangun dan banyak pabrik berdiri.
Berbagai hal yang menjadi tren di kota-kota besar, tak usang kemudian jadi tren pula di Majalengka. Termasuk angkutan online semisal Grab dan Gojek.
Dulu jikalau saya hendak ke stasiun Cirebon, butuh waktu sekitar 2 jam, naik angkutan umum minibus, yang biasa disebut “elf”. Sering sekali berhenti untuk menaikturunkan penumpang, malah kadang ngetem (diam dalam waktu usang menunggu penumpang penuh). Terkadang diturunkan di tengah jalan untuk dipindahkan ke kendaraan beroda empat lain (istilahnya “diover”). Belum lagi baju berair alasannya ialah keringat, alasannya ialah udara Cirebon yang memang panas.
Alhamdulillah sekarang tidak lagi. Sudah ada angkutan online. Tinggal buka aplikasi, pilih mau naik motor atau mobil, tentukan tujuan, kemudian klik pesan. Nyaman, apalagi kendaraan beroda empat yang hampir niscaya semua ber AC. Cepat, alasannya ialah sekarang hanya butuh waktu satu jam. Kalau soal harga memang lebih mahal dibandingkan naik elf. Tapi dengan segala kelebihan itu, worth it lah. Tak terbayangkan sebelumnya, rumah saya yang di pelosok dapat dijangkau angkutan online.
Namun ada rasa kasihan kepada para penyedia jasa angkutan umum konvensional. Bukan mustahil suatu ketika akan benar-benar tersisih oleh angkutan online. Kalau sudah begini, rasanya tidak salah-salah amat jika mereka melaksanakan agresi demo. Karena jikalau sudah urusan perut, insan cenderung nekat.
Maka “bola” ada di tangan pemerintah selaku regulator. Bagaimana caranya semoga kenyamanan penumpang tetap terjamin, namun awak angkutan juga sejahtera. Saya bermimpi (sekali lagi ini hanya mimpi) jikalau suatu ketika semua angkutan umum konvensional diganti ber AC dan ada jaminan dari pemerintah untuk mendapat penghasilan minimal (ada batas bawah), sehingga para pengemudi angkutan umum konvensional tidak lagi harus ngetem atau kejar-kejaran dengan pengemudi lain. Kenyamanan penumpang pun terjamin. Semoga.
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
EmoticonEmoticon